Karena yang penting adalah lulus ujian, cara cepat dan fokus hafalan rumus justru terkadang lebih membantu. Namun, bukan berarti attitude seperti itu dapat dimaklumi ada...
Hilangnya batas antara waktu kerja dan waktu luang serta kelonggaran dalam regulasi ketenagakerjaan tidak berdampak baik pada keseimbangan hidup yang diharapkan pekerja lepas.
Sudahkah kita belajar banyak mengenai hak dan perlindungan anak sebelum berkunjung? Adakah kode etik yang kita tanda tangani terlebih dahulu? Adakah sosialisasi dari pihak panti asuhan terkait kebijakan perlindungan anak mereka?
(nyaris) tiada harapan dari Merah Putih. Sekarat sudah mengetuk pintu. Putus asa juga sudah menyapa. Satu tempat di luar nalar antara sekarat dan putus asa adalah harapan memang benar adanya.
Kita kehilangan ruang eksplorasi dan imajinasi dalam kelas matematika. Padahal, itu sangat vital bagi kemampuan berpikir kita. Kita dicekoki untuk menghafal banyak rumus dan diminta untuk dapat menyelesaikan soal secara benar dalam waktu terbatas, tanpa peduli bagaimana kita bisa mengeksplanasi jawaban dengan argumentasi.
Terbatasnya ilmu pengetahuan dalam menjangkau keberadaan Tuhan malah telah menegaskan bahwa sifat keilahian adalah murni, suci, kekal, dan tidak tunduk pada hukum-hukum yang ada di dalam ruang dan waktu.
Penggalan liriknya, “Selamat Jalan Bagimu//Lepas Keluh Kesahmu//Kau Bajingan Tua Korban Jumawa Manusia,” menambah getir perasaan bahwa manusia dapat menjadi serigala pembunuh bagi manusia lainnya atas nama keadilan semu nan jumawa.
Kita harus memastikan dulu kalau lawan bicara mengerti, seolah kita tidak bisa membaca konteks, gestur dan mimik wajah, energi timbal balik, atau respon-respon non-verbal lainnya. Pokoknya, dia harus menjawab dulu baru kita mengerti.
Bagaimana cara mengukur kemampuan komunikasi seseorang hanya dari CV atau profil LinkedIn-nya? Apakah soft skills yang diutamakan itu benar-benar dimiliki, atau hanya jargon untuk mempermanis profil?