Jadi jelas, antara sarjana dan SMA pada perdebatan tersebut sama-sama hanya sekadar mengejar tujuan pragmatis bernama “citra sosial”, bukan jangka panjang.
Yang ingin sejarawan bela saat mengkritisi NH itu siapa? Bukannya NH dikritik supaya kita melindungi ruang interpretasi publik agar tidak jatuh pada narasi pseudohistori? Lha, kok, publiknya ikut diserang dan dianggap tidak tahu apa-apa dan perlu belajar lagi?
Saya dan kawan-kawan saya yang sedang menyelesaikan kuliah di Ilmu Sejarah cukup dibuat risih dengan aksi Neo Historia di media sosial. Masalahnya, nggak hanya soal tidak bertanggung jawabnya mereka, tapi juga soal bagaimana mereka menyajikan dan mengkomodifikasi sejarah.