Sebagai arek Mojokerto nyel, saya merasa onde-onde nasibnya cukup miris. Ia udah kayak identitas semu dari Kota Mojokerto yang hanya ada di Wikipedia. Lho, kok, bisa?
Saya heran jika ada orang yang bilang ingin kembali ke masa Hindia Belanda cuman karena vibes-nya yang nostalgic banget. Masak, iya, kalian rindu sama mantan kalian yang toksiknya nggak ketulungan itu, sih?
Bagaimana memahami keberpihakan media atau bias pemberitaan dalam meliput konflik pelanggaran hak asasi manusia (HAM)? Apakah prinsip netral jurnalistik relevan untuk diterapkan kala terjadi kesenjangan dalam konflik itu sendiri?
Nah, karena saya sudah paham betul tabiat wakil-wakil rakyat kita yang lebih senang dicarikan solusi daripada menerima kritikan, maka izinkan saya memberikan sedikit masukan kepada pemerintah terkait opsi-opsi untuk menggantikan fungsi gedung DPR yang nantinya akan ditinggalkan.
Ada hal-hal lain yang juga punya dampak signifikan pada sejarah kepahlawanan kota Surabaya. Hal-hal ini terkait dengan kehidupan masyarakat kota saat itu yang nampaknya masih sering luput dari pembahasan.
Lagu-lagu dangdut menyimpan paradoks: makin ambyar, makin joget. Tak peduli seberapa pedih dan perih syairnya, joget adalah jalan satu-satunya. Orang seolah-olah digoyangkan oleh kenikmatan rasa sakit pada lirik musik dangdut.
Saya yakin beberapa orang, dan mungkin termasuk kita pun, pasti merasa aneh jika berpikir ada idola cantik yang kentut atau buang air besar. Selama ini, mereka dilihat sebagai wujud yang sempurna tanpa cacat dan cela.