Sebagai arek Mojokerto nyel, saya merasa onde-onde nasibnya cukup miris. Ia udah kayak identitas semu dari Kota Mojokerto yang hanya ada di Wikipedia. Lho, kok, bisa?
Klub-klub alternatif bisa menjadi ruang untuk menjalankan ide dan gagasan yang mereka punya, mengkampanyekan nilai-nilai yang dipercaya, dan menciptakan lingkungan yang inklusif.
Saya tidak bilang buang jauh-jauh naturalisasi. Yang saya sayangkan adalah pola pikir pragmatis, yaitu menjadikan naturalisasi sebagai prioritas utama dari segala rantai pengembangan sepak bola. Pokoknya juara, tapi tanggung jawab kompetisi nanti-nanti.
Sebenarnya cukup sulit mengukur kualitas sebuah karya musik karena pada akhirnya semua akan kembali pada selera pendengarnya. Sementara itu, selera pendengar tidak bisa disalahkan. Tapi, bisa diarahkan, kok.Â
Meskipun punya bukti keberhasilan, program naturalisasi ini sendiri masih menimbulkan berbagai perdebatan, baik di antara permerhati sepak bola nasional, mantan penggawa timnas, serta para fans.
Paling bikin saya kesal adalah para mahasiswa itu tidak tahu caranya memancing. Yaa tau sih mungkin pengalaman pertama, tapi setidaknya ngerti dikit-dikit lah tentang dunia permancingan.Â