Indonesia 2045: Kuning Belum Tentu Emas

Indonesia 2045: Kuning Belum Tentu Emas

Indonesia 2045: Kuning Belum Tentu Emas
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Yang menjadi permasalahan lain adalah bagaimana keberhasilan Indonesia emas ini diukur. Konon, ketika era itu telah tercapai, GDP indonesia akan berada pada posisi lima besar dunia. Sayangnya, GDP tinggi tidak berarti masyarakat menjadi sejahtera

Purwoto, bukan nama sebenarnya, merasa jengah pada hidupnya yang begitu-begitu saja. Kondisi ekonomi tetap saja pas-pasan meski kerja sudah bagai kuda arab. Biaya kuliah plus uang saku yang dulu dikeluarkan orang tuanya untuknya semasa muda dulu belum balik modal. Ditambah lagi kini ada anak-istri yang juga perlu makan.

Saking putus asanya, Purwoto dengan gelar sarjananya terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik. Gaji UMR ditambah uang makan dan transport, lumayan lah. Meskipun dia selalu bertanya dalam hati, bukankah UMR itu dihitung dari biaya hidup satu orang? Lalu, bagaimana dengan anak istrinya? Apa mereka tidak punya hak untuk rekreasi? Tapi yaa namanya wong cilik. Kalau sudah kepepet, dapat sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali.

Celakanya, setelah bulan keempat, kontrak Purwoto tidak diperpanjang. Alasannya, perusahaan tidak ingin memberlakukan kontrak kerja tetap kepadanya. Sistem rolling lebih menguntungkan karena akan mengurangi kewajiban-kewajiban perusahaan.

Toh, pekerja kasar seperti Purwoto gampang dicari di negara dengan pasokan tentara cadangan pekerja yang melimpah. Buang yang satu, cari yang lain. Segampang itu.

Di dalam keputusasaan, nasihat terbaik kadang datang dari kawan yang mabuk. Dari situlah Purwoto kemudian mendapat secercah harapan. Sembari teler kawannya menyampaikan harapan.

Konon, Jepang membutuhkan pekerja seperti Purwoto. Gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan. Hanya perlu kursus melalui suatu lembaga penyalur, dia sudah bisa berangkat ke negeri sakura menjadi operator mesin industri. Menurut perhitungannya, penghasilannya lebih dari cukup untuk biaya hidup di sana.

Bahkan dia bisa mengirim sebagian untuk anak istrinya di rumah. Dalam benaknya, setelah lima tahun dia akan punya cukup tabungan untuk buka warung kelontong di depan rumah orang tuanya. Maklum, dia sendiri belum punya rumah. Di zaman seperti ini, hanya dalam mimpi di siang bolong orang-orang seperti Purwoto bisa beli rumah.

Lamunannya tidak berhenti di sana. Dari pencariannya di google dan berbagai akun media sosial, peluang yang sama juga ada di banyak tempat lain. Australia, Korea, Prancis, Jerman, Inggris, dan banyak negara maju lainnya membutuhkan orang-orang seperti Purwoto.

Apalagi, di sana pekerja betul-betul dimanusiakan. Dilindungi hak-haknya untuk berserikat bahkan melakukan mogok. Dilindungi oleh asuransi yang jika digunakan, dia tidak akan dinomorduakan oleh fasilitas-fasilitas kesehatan.

Maka begitulah, Purwoto menanti keberangkatannya ke Jepang minggu depan. Dengan sumringah dia terus membayangkan akan dapat membiayai anaknya hingga kuliah.

Bonus demografi jadi sumber pendorong utama peningkatan ekonomi 2045?

Sementara pesawat pria Kudus itu tinggal landas, para “cenayang” bergunjing di Senayan. Tentang 2045 yang konon akan menjadi Indonesia emas. Tentu saja itu prediksi. Prediksi tidak bisa dipercaya begitu saja. Harus jelas ukurannya. Kalau tidak, prediksi itu tak ubahnya seperti ramalan Jayabaya atau Nostradamus.

Katanya, bonus demografi akan menjadi sumber pendorong utama peningkatan ekonomi di 2045. Seperti yang pernah juga terjadi di Cina sejak 1980-an. Artinya, dengan jumlah penduduk yang besar seperti di Cina dulu, sistem upah murah mungkin akan diterapkan di Indonesia untuk menekan biaya produksi. Sehingga, produk Indonesia punya daya saing global.

Masalahnya, situasi saat ini barangkali akan berbeda dengan Cina 30 tahun yang lalu. Sepeti Purwoto, perasingan tenaga kerja akan menjadi isu global. Krisis tenaga kerja telah terjadi di banyak negara maju setidaknya dalam dua tahun terakhir.

Dengan minimnya jaminan kesejahteraan pekerja di Indonesia, para pekerja akan semakin memiliki banyak opsi untuk bekerja di luar negeri. Dan di banyak negara, persyaratan izin kerja semakin dipermudah. Inggris, misalnya, sedang mengalami krisis tenaga logistik pasca diberlakukannya Brexit. Sedangkan negara dengan pertumbuhan penduduk minus seperti Jepang, Jerman, Korea, atau Prancis membutuhkan jutaan tenaga kerja setiap tahun untuk menggantikan orang-orang yang pensiun.

Di sisi lain, lebih dari 60% populasi dunia tinggal di perkotaan. Di kota tidak berlaku istilah banyak anak banyak rezeki. Umumnya, penduduk urban memiliki tidak lebih dari satu anak atau tidak sama sekali. Inilah sebabnya, menurut proyeksi pertumbuhan penduduk global dalam The Guardian “World ‘population bomb’ may never go off as feared, finds study”, mengapa populasi dunia akan mencapai puncaknya pada 2040, lalu terus mengalami penurunan setelahnya.

Padahal dalam kapitalisme, ekonomi harus terus tumbuh. Industri dan kapitalnya harus terus berputar. Maka, di tengah penurunan populasi itu, solusi harus dicari agar produksi terus berjalan. Dan seperti yang semakin terlihat saat ini, migrasi penduduk bisa jadi semakin masif.

Sehingga, sekadar peraturan yang menawarkan kenyamanan bagi investor tentu saja tidak cukup. Perlu ada tawaran menarik pula agar bonus demografi itu tidak pindah ke negara lain.

Lalu, yang menjadi permasalahan lain adalah bagaimana keberhasilan Indonesia emas ini diukur. Konon, ketika era itu telah tercapai, GDP indonesia akan berada pada posisi lima besar dunia. Sayangnya, GDP tinggi tidak berarti masyarakat menjadi sejahtera.

Masalah GDP tidak berhenti sampai di situ. GDP berbicara tentang produktivitas. Ibarat memproduksi roti di dapur, biaya produksi tidak hanya terletak pada bahan baku dan peralatan. Namun juga di dinding yang menghitam oleh jelaga, atau kesehatan paru-paru karena banyak menghirup asap.

Hal-hal tersebut menjadi faktor yang harusnya juga dihitung sebagai biaya yang mengurangi profit. Seperti ongkos untuk mengecat ulang dapur supaya tetap higienis atau ongkos periksa ke dokter supaya sehat dan bisa tetap memasak.

Perhitungan inilah yang menghilang dari GDP. Ide ini pernah dilontarkan seorang profesor dari Australia sekitar 10 tahun yang lalu. Bahwa GDP harus menghitung ekosistem yang rusak karena produktivitas itu sendiri. Terlebih ekonomi Indonesia, seperti juga di Australia, sangat bergantung pada eksploitasi alam.

Jika kita masih menganggap alam sebagai sumber kekayaan kita, maka kita harus menghitung pula kekayaan yang hilang untuk menghasilkan kekayaan yang lain tadi.

Memang dalam pemeringkatan GDP di dunia, model penghitungan seperti ini belum diberlakukan. Namun, jika suatu saat ini diterapkan di tengah semakin tingginya kesadaran lingkungan di dunia, masihkah Indonesia diperhitungkan ekonominya? Sedangkan tambang-tambang masih menyisakan lubang galian dan perkebunan-perkebunan terus membunuh hutan.

Kuning belum tentu emas!

Siang itu di lobi sebuah hotel bintang tiga di Jakarta. Hanya selemparan batu dari Istana Negara. Teriakan demonstran menolak Omnibus law masih menggema. Di TV seberang resepsionis, Al Jazeera disiarkan. Di sela-sela acara stasiun berita dari Qatar ini, sebuah iklan “Let’s be part of Indonesia’s growth and progress. Invest Indonesia, NOW” berdurasi 30 detik ditayangkan. Menyimpulkan: Invest in Indonesia Now.

Maka itu, setiap kali terdengar Indonesia Emas diucapkan politisi, benak saya terngiang cerita tentang sosok saudagar di Kota S yang hidup di tahun 60-an. Setiap ada orang yang menjual perhiasan palsu kepadanya, dengan logat umumnya orang kampung arab dia berkata: “bukan emas, bukan perak. Ini tembaga campur tai.”

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis
sdk-men-placeholder

Mikail Gibran

Perokok aktif. Pernah jadi pegiat persma.
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Janji Basi & Dangkal Atasi Pengangguran Gen Z Ibu Kota

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel