“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” -Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945-
Siapa tak pernah tahu gaya pidato Mas Koesno? Bahkan, tanpa ada fasilitas youtube di dunia maya sekalipun, orang-orang era 80-90-an masih bisa membayangkan bagaimana gagahnya bapak proklamator bangsa itu saat berpidato. Suara lantang, lugas, artikulasi jelas dan tata bahasa sulit dimengerti, setidaknya itu yang saya bisa nilai dari Mas Koesno saat sedang menyampaikan pidatonya di hadapan massa.
Boleh jadi, gaya pidatonya itu yang membuat masyarakat selalu ingat dengan bung satu ini. Ya, gaya pidato, bukan isi dari pidatonya. Karena bila pesan di dalam pidato Mas Koesno yang selalu diingat masyarakat, mungkin sekilas dari apa yang ia ungkapkan seperti dalam kutipan pidatonya di atas, lebih memiliki makna dalam mengisi tetek bengek dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang mulai terasa linu.
Kutipan yang saya maksud, adalah kutipan mengenai Pancasila. Suatu objek, sekaligus subjek (ga ada ojek, becek) yang konon dipercaya sebagai pandangan hidup, dasar dan ideologi dasar negara bangsa Indonesia. Kata Kaelan, suatu rumusan tentang kepribadian bangsa yang mampu bersaing dengan isme-isme kelas dunia.
Barangkali saya boleh nilai, bahwa saat ini Pancasila sudah menjadi sebuah mitos. Bukan karena alasan rumit seperti terjadinya bom Sarinah Tamrin, perang sepersekawanan antar Jessica dan Mirna, atau munculnya media-media tak berkualitas seperti sediksi.com, melainkan lebih sederhana daripada itu.
Mitos tentang ideologi ini, bisa disetarakan dengan mitos kebenaran akan keberadaan burung Garuda di Indonesia. Meskipun mitos yang saya maksud disini tak seburuk mitos Pancasila pada masa orde baru, namun bukan berarti pula mitos ini tak patut mendapat perhatian. Karena tanpa adanya mitos ini, Pancasila akan terus dianggap @poconggg yang cuma bisa terkenal waktu dia belum menunjukkan identitasnya.
Mitos, mitos dan mitos terus dari tadi, memangnya mitos semacam apa yang saya maksud dari tadi? Untuk para pembaca, mohon bersabar sejenak. Sebelum membahas mitos tentang Pancasila, mari kita bahas dulu berbagai referensi yang mengupas (tak sampai) tuntas Pancasila itu sendiri.
Seperti yang diulas Tempo edisi khusus hari kemerdekaan tahun 2014, bahwa buku karangan Nugroho Notosusanto berjudul Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara yang terbit di sekitaran tahun 1980-an, dicetak sebanyak 13.500 eksemplar dan dijual dengan harga Rp 500. Pada buku itu juga, Tempo mengulas kontroversi keterlibatan M. Yamin dalam proses perumusan Pancasila.
Pada banyak literatur buku, Pancasila disebut-sebut sebagai kristalisasi dari nilai-nilai yang sudah berabad-abad ada di tanah air. Bahkan, sampai ada yang merumuskan konsep mengenai Filsafat Pancasila. Yang terbaru, setidaknya yang saya tahu, abang Yudi Latif merumuskan konsep tentang Revolusi Pancasila.
Di ranah ilmiah, sebuah penelitian dilakukan untuk membuat alat ukur seberapa Pancasilais-kah mahasiswa di Jakarta. Tapi, referensi yang dipakai adalah hal yang taraf ke-ilmiah-annya masih gonjang-ganjing, yakni 36 butir Pancasila atau bisa dibaca alat yang digunakan orde baru untuk mensakralkan Pancasila dan tak memiliki landasan ilmiah yang kuat. Uniknya, si peneliti malah berbangga ria dengan hal tersebut dan lucunya, penelitian itu saya jadikan referensi utama untuk skripsi saya yang masih proses.
Masih banyak lagi literatur-literatur Pancasila yang beredar di dunia nyata, maupun maya. Namun, fakta Sediksi mengatakan bahwa buku Manifesto Komunis dan Tetralogi Buru masih lebih banyak terjual daripada buku Bangkitlah Pancasila karangan senior saya di Omek yang baru terbit tahun lalu, terlepas dari siapa penerbitnya. Kanda, aku promosiin tuh bukunya, ingat persenannya ya..
Nah, berbagai sumber mengenai Pancasila yang telah saya paparkan di atas memiliki keterhubungan yang bahasa statistiknya, sangat “signifikan”. Bahwasanya, orang-orang Indonesia yang telah mengkaji Pancasila dari berbagai sudut pandang, belum bisa menandingi taraf kekerenan dari Julian Assange pake “A”, pendiri Wikileaks. Itulah mitos Pancasila yang saya maksud dalam artikel ini.
Minimal saya sendiri, belum pernah mengetahui ada orang Indonesia yang ma(mp)u membawa ideologi Pancasila sejauh Assange pake “A” membawa ideologi sosialisme libertarian alias anarkisme menjadi gerakan cypherpunk. Cypherpunk ini, adalah sebuah gerakan di dunia sistem informasi, menggunakan pemrograman tingkat dewa dan bertujuan untuk memberikan ruang privasi bagi individu dalam berselancar di dunia maya.
Teknik komputasi yang mereka gunakan adalah kriptologi. Sebagai gambaran umum saja, bahwa kriptologi itu dalam dunia sistem jaringan, merupakan penggunaan bahasa pengkodean atau enkripsi, untuk melindungi pengguna internet dari orang lain. Pada konteks cypherpunk di AS ini, orang lain yang dimaksud adalah pemerintah AS.
Selama ini, kode-kode enkripsi dipegang oleh pemerintah. Hal ini memberikan celah yang membuat individu tidak bebas dalam berselancar di dunia maya. Dengan menciptakan kode enkripsi sendiri, maka individu tak perlu bergantung ke pemerintah.
Para anggota chyperpunk berkeyakinan bahwa kebebasan berinternet dimiliki oleh setiap orang, sehingga negara tak berhak mengakses informasi individu yang ada di ruang privasinya. Semangat ala-ala anarkisme ini mereka lakukan juga dengan cara membongkar rahasia negara, sampai FBI. Dengan cara itu, ia yakin bahwa negara akan runtuh dengan sendirinya, sesuai dengan tujuan utama anarkisme.
Tak banyak literasi Indonesia yang membahas tentang cypherpunk. Namun, beberapa sumber menyebutkan bahwa bibit-bibit chyperpunk lahir pada tahun 1990-an. Memang terbilang masih muda, tapi seandainya saat bibit-bibit baru chyperpunk tumbuh saya sudah dewasa, bisa dipastikan saya masih belum bisa mengoperasikan internet.
Di sinilah kesenjangan antara masyarakat Indonesia dengan AS tampak jelas. Anarkisme dan Pancasila itu sama-sama ideologi, namun keduanya menjelma dalam bentuk yang jauh sangat berbeda. Assange pake “A”, menunjukan ide kreatifnya dengan melibatkan jati diri anarkisnya ke dalam cypherpunk. Sedangkan Pancasila? Hmm, mungkin kita lain kali bisa membuat bahasa pemograman ulayat dimana simbol-simbolnya bergambar variasi garuda dengan pose lagi eek, makan, pacaran, atau garap skripsi.
Sampai pada pembahasan ini, akhirnya saya merumuskan beberapa ide untuk menjadikan ideologi asli Indonesia ini selangkah lebih maju. Di antaranya, mengumpulkan koin agar Assange pake “A” mau datang ke Indonesia dan membuat Tagar #koin4ssange (“4” bisa dibaca “for” dan juga “A”). Atau biar lebih simpel, kita buat petisi bertuliskan “Om Sange, Pancasila Butuh Kamu Om!” lalu ditandatangani oleh orang-orang Indonesia. Itu pasti efektif, inikan Indonesia!