Menciptakan Kemewahan Keripik Singkong di Kursi Bioskop

Menciptakan Kemewahan Keripik Singkong di Kursi Bioskop

Kripik Singkong
Kripik Singkong

Kenapa tidak keripik singkong saja yang menjadi makanan ringan bioskop di Indonesia?

Seandainya ada pertanyaan semacam ini, “makanan apa yang paling identik dengan bioskop?” Maka, 99,16583251 persen saya yakin, jawaban dari kebanyakan orang menuju pada satu makanan asal Amerika yang berbahan dasar jagung: Popcorn.

Anda tidak perlu berpikir keras, bagaimana saya mendapatkan prosentase dari keyakinan atas jawaban saya. Sebab, saya mendapatkan angka tersebut lantaran jari-jari saya tengah bergerak otomatis untuk mengetik deretan tombol angka di keyboard komputer. Sepenuhnya, prosentase tersebut saya dapat atas kehendak Hyang Mahakece, di luar campur tangan saya sebagai manusia tanpa perasaan, eh, belum berperasaan.

Yang perlu dipertanyakan adalah, kenapa kok jawabannya harus selalu Popcorn? Ya karena, berdasarkan pengalaman saya menonton film di bioskop, makanan ringan yang ditawarkan oleh petugas di sana selalu itu. Saya jarang melihat mbak-mbak di bioskop yang rok panjangnya memiliki belahan sampai ke paha itu, menawarkan jajanan lain seperti gulali, tahu bulat, atau bahkan pisang goreng.

Itu belum termasuk alasan pengawasan ketat dari pengelola bioskop yang melarang penonton membawa makanan dari luar. Meski saya sendiri sering menyembunyikan makanan ringan lain dalam jaket, sudah jadi peraturan bioskop kalau pengawas akan selalu memeriksa tas penonton sebelum mereka diperbolehkan masuk ke studio.

Ketertarikan antara popcorn dan bioskop memang sudah terjadi sejak awal abad ke-20 di Amerika. Saat masa-masa krisis ekonomi, bioskop di Amerika menilai popcorn adalah solusi untuk mempertebal dompet para pengelola bioskop. Padahal, sebelum itu para pengelola bioskop meremehkan makanan ringan yang mulai ada sejak tahun 1800-an ini. Bioskop menawarkan nuansa mewah bagi para penikmat bioskop. Sedangkan popcorn, makanan yang jauh dari kata mewah, karena saat itu dijual murah meriah.

Lebih-lebih, popcorn dapat menyebabkan lantai dan kursi di bioskop kotor. Sampah-sampah dari popcorn, menurut para pengelola bioskop saat itu, mengurangi kesan mewah dalam bioskop. Sehingga, pelarangan makan ketika nonton digencarkan di semua bioskop yang ada di Amerika. Lalu kenapa setelah dihindari, sekarang popcorn malah menjadi teman nonton di bioskop?

Jawabannya, Anda bisa cari sendiri di Kanjeng Gusti Pangeran Muda Google bin Larry Page dan Sergey Brin. Tulis saja kata kunci “popcorn dan bioskop”, nanti akan Anda temukan jawabannya. Lagipula di tulisan ini, bukan ingin mengulas sejarah popcorn. Saya malah ingin menyatakan dukungan saya terhadap keripik singkong.

Dukungan ini muncul ketika satu minggu penuh saya habiskan waktu untuk menyelesaikan serial Game of Throne dari mulai season 1 sampai 6. Karena saya menonton di komputer kontrakan, saya sulit mencari popcorn. Terlebih kontrakan saya berada di pelosok desa di bilangan Kabupaten Malang. Hanya ada keripik singkong yang di jual di toko dekat kontrakan. Keripik singkong ini yang menjadi teman nonton saya dalam satu minggu terakhir.

Saat itulah saya mengingat tentang sejarah popcorn masuk bioskop. Menurut saya, keripik singkong tidak ada bedanya dengan popcorn. Mereka sama-sama makanan ringan, mudah dibawa, serta mudah diproduksi. Bahkan bahan dasar makanan ini, lebih mudah didapatkan. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki kebon singkong. Terlepas dari itu milik warga atau milik korporasi. Data dari BPS tahun 2014, produksi singkong Indonesia mencapai 23,7 juta ton per tahun.

Sedangkan popcorn? Bahan dasar popcorn berasal dari jagung khusus, bukan jagung manis atau jagung sayur yang biasa digunakan untuk sayur asem. Hanya dijual di swalayan dan harganya mahal.

Soal rasa? Anda boleh datang ke kontrakan saya kapan saja. Saya akan traktir keripik singkong bila Anda minta. Ditambah secangkir kopi wes. Tidak perlu menunggu saya gajian. Harga keripik singkong di sini cuma Rp 2.500 per bungkus dengan berat bersih 100 gram. Uang pecahan Rp 100, Rp 200 dan Rp 500 di Botol Air Mineral bekas kapasitas 1,5 Liter yang ada di kontrakan saya, bisa digunakan untuk membeli lebih dari 20 bungkus keripik singkong.

Saya jamin, Anda ketagihan. Gibran, Ali, Bli, Coy dan Yan, sudah mencoba dan ketagihan dengan keripik singkong produksi rumahan berlabel “Keripik Singkong Maju Jaya” ini. Cuma Ely saja yang belum mencoba. Kasihan.

Dengan alasan ini, saya berpendapat, kenapa tidak keripik singkong saja yang menjadi makanan ringan bioskop di Indonesia? Seandainya ada anggapan, keripik singkong kurang mewah, maka apa bedanya dengan popcorn yang dulu juga dianggap kurang mewah? Bakal menyisakan sampah di dalam bioskop, bukankah alasan pengelola bioskop dulu melarang popcorn juga seperti itu?

Satu-satunya alasan yang masuk akal kenapa keripik singkong tidak bisa masuk ke bioskop adalah alat produksi. Popcorn mulai gencar diproduksi setelah Charles Cretor menemukan alat produksi popcorn dengan mobilitas tinggi pada tahun 1885. Sedangkan Keripik Singkong Maju Jaya, masih menggunakan cara tradisional.

Namun, alat produksi tidak akan menjadi masalah jika pengelola bioskop mau sedikit membagi keuntungan kepada para pengusaha keripik singkong rumahan. Bekerja sama dengan mereka, justru bisa menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, khususnya yang tinggal di desa. Bahkan, kesempatan tenaga kerja jadi semakin terbuka lebar. Alangkah indahnya, bila bioskop di Indonesia bisa membantu masyarakat untuk mengagumi keripik singkong dan meningkatkan martabatnya, menjadi makanan mewah.

Bayangkan saja, bila secara nasional produksi tahunan singkong di Indonesia ada 23,7 juta ton, maka setengah dari produksi tersebut bisa menghasilkan 11,85 miliar bungkus keripik singkong dengan berat bersih 100 gram. Baru akan habis ketika dalam satu tahun bioskop Indonesia menayangkan film sekelas Ada Apa Dengan Cinta 2 yang mengundang 3.665.509 penonton sebanyak 3.233 kali. Rwarbyasah!!

Untuk itu, bila saya diperkenankan untuk berlagak bijak, cukup sudah bangsa ini dibuai oleh kemewahan-kemewahan yang diciptakan orang lain. Bila masih mampu menciptakan kemewahan sendiri, kenapa tidak? Seperti popcorn yang dulu diremehkan kini bisa menjadi makanan mewah. Kenapa keripik singkong tidak? Setidaknya, anggaplah makanan ini mewah. Minimal, dengan diam-diam menyembunyikan keripik singkong saat mau masuk studio. Ups.

Editor: Elyvia Inayah
Penulis
Muhamad Erza Wansyah

Muhamad Erza Wansyah

Terlanjur lulus dari jurusan psikologi di Universitas Brawijaya. Pengen punya kerajaan bawah laut.
Opini Terkait
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Sialnya, Bernadya Tidak Sedang Adu Mekanik
Izinkan Kami Juara AFF Walau Hanya Sekali Saja
Untungnya, Bernadya Menulis Lagu Ini

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel