Untuk mencarinya, saya meminta pendapat kawan-kawan saya.
Biasanya, pada akhir tahun, beberapa media massa mengumumkan daftar karya populer terbaik selama setahun. Daftar itu bisa meliputi judul buku, film, musik, naskah teater atau lain sebagainya. Namun, saat pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia sepanjang 2020, hampir semua industri hiburan mati suri.
Kemudian, kondisi ini membuat kita mengenal kata-kata tertentu yang relatif asing menjadi bagian dari penggunaan sehari-hari kita, termasuk kata ‘pandemi’. Jargon ilmiah dan kosakata teknologi tidak lagi menjadi milik para hipster-kutu buku.
‘Lockdown’ menjadi kata yang dinobatkan sebagai kata tahun ini oleh Collins Dictionary, Oxford English Dictionary. Situs kamus bahasa Inggris ini tidak hanya memilih satu kata untuk mewakili 2020. Tahun yang mengubah bagaimana kita hidup, bekerja, makan, bercakap-cakap dan berkomunikasi.
‘Lockdown’ ada dalam daftar bersama ‘Working Remote’, ‘WFH’, ‘TikToker’ dan ‘Quarantine’. Selain ‘Lockdown’, Google Trends mencatat kata ‘Ghosting’, ‘Gabut’ dan ‘Rebahan’ menjadi kata kunci yang sering dicari netizen Indonesia selama 2020.
Menjadi ‘positif’ telah kehilangan statusnya sebagai kata yang menunjukkan rasa bahagia. Memakai ‘masker’ tak lagi untuk menyembunyikan identitas, bak pahlawan super. Dan, bukankah terlalu terburu-buru untuk mengklaim ‘vaksin’ sebagai obat paling mujarab? Badan kesehatan dunia menyebut perlu berbulan-bulan untuk mencapai ‘herd immunity’.
‘Social distancing’ membuat kita harus memakai ‘Discord’ untuk berkomunikasi dengan massa. Biar gak ‘gabut’, kita ajak teman-teman untuk main ‘Among Us’.2020 memaksa kita lebih banyak berada di dunia maya alih-alih di dunia nyata.
Dalam skenario kenormalan baru, saya meminta kawan-kawan saya untuk memilih satu kata yang mempresentasikan ‘tahun yang hilang’ ini;
Adina Iffah Izdihar
2020 itu roller coaster banget sih, asli! tapi kalo roller coaster di Dunia Fantasi masih bisa diliat ya, ini enggak! Ibaratnya lu diajak naik wahana sama teman , terus mata lu ditutup serta disuruh pegangan kenceng-kenceng. Dhilalah, lu naik rolller coaster! Dan lu cuma bisa pasrah. Literally pasrah .
Gue terbiasa gak nyari kerjaan. Ada peluang kerja jangka pendek, biasanya sebagai pekerja lepas, gue dapetin tanpa usaha keras. Tapi, kala pandemi menerpa, semua proyek yang gue ikuti ditunda semua. Jadilah gue jobless. Mau pulang ke Jakarta gabisa, terpaksa gue nyari kerjaan di Jogja.
Gue gak enak hati mau minta duit ke bokap, setelah gue dengar proyek bokap juga terhenti karena pandemi. Gue gak dapat kerjaan, sampai gue kepikiran buat bunuh diri. Sampai sebegitunya gue putus asa. Sebelum melangkah lebih jauh, gue nelpon nyokap. Katanya, gue perlu deket lagi sama Tuhan. Semenjak itu, gue mulai memasrahkan nasib ke Tuhan.
Akhirnya, gue mulai garap satu proyek–kerjaan yang belum tahu juga ada duitnya atau enggak. Gue mikir nothing to lose. Dapat duit alhamdulillah, enggak juga gapapa, terpenting gue gak rebahan mulu di kamar.
Singkat cerita, ternyata gue dijadikan pekerja tetap di proyek itu. Alhamdulilah lagi, gue digaji. Tapi, gue tetap cari pekerjaan sampingan sebagai pekerja lepas.
Menuju 2021, gue punya cukup kerjaan yang sesuai sama kuliah gue dan (insya Allah) gue kuasain (kerjaan itu). Berakhirlah sudah, 2020!
Fajar Dwi Ariffandhi
Dari sekian banyak macam doa dan ucapan selamat, tahun ini saya paling sering mendapat pesan, “jaga kesehatan, ya!”, “Semoga sehat selalu kamu dan keluarga”. Kita jadi lebih perhatian terhadap kesehatan diri dan orang di sekitar kita. Ini jauh lebih baik ketimbang menunggu perhatian negara lewat bansos.
Thonthowi Yusuf
Belakangan, aku sering mengganti kata ‘oke’ dengan ‘baik’ atau ‘bhaiik’ sebagai respon atas pengetahuan yang baru aku ketahui. Hal ini menjadi bentuk nrimoku pada banyak kejadian di 2020 yang di luar nalar berpikir kemanusiaan. Aku tak habis pikir, kok bisa-bisanya sih, para elite politik di negeri ini memanfaatkan pandemi untuk kepentingannya sendiri?
Sudah layanan kesehatan publik tak karuan, memakan banyak korban, mereka masih ngotot aja nerusin UU Minerba dan Ciptakerja. Terakhir, si Menteri Sosial korupsi–eh, ketutupan sama kasus FPI dan reshuffle menteri!
Kabar-kabar buruk itu kian lama menguras emosi. Maka, sebaiknya aku mulai menerima pelbagai kondisi ini. Sedikit menepi. Kemudian mulai melepas segala kesedihan dan depresi. Dengan begitu, aku dapat menjaga dan merawat kesehatan mentalku dan orang-orang yang aku sayang. Kata seorang kawan, yang kulakukan ini semacam ‘radical softness’.
Ruhaeni Intan
Makin ke sini makin banyak yang sadar sama kesehatan mental. Ada kelebihan dan kekurangannya, sih. Kelebihannya, jadi makin banyak yang aware; ada yang berani memeriksakan diri ke ahli, ada yang pelan-pelan belajar mencari tahu masalah dirinya, ada yang jadi lebih berhati-hati menjaga tingkah laku dan ucapannya. Kekurangannya, tentu saja karena isu ini jadi komoditas. Ini mungkin risiko~
Kata burnout jadi sering banget aku lihat di medsos selama 2020. Senang karena akhirnya ada instrumen untuk mengungkapkan kondisi yang lebih dari sekadar stres tapi juga bukan depresi.
Aristayanu Bagus
2020 dibuka dengan cemas dan berakhir dengan menyebalkan. Tapi, setidaknya aku belajar medium baru untuk bertemu orang. Walaupun, itu membuatku sebal lagi: adanya ketidakbolehan merayakan pertemuan. Skin to skin.
Pokoknya, 2020 menyebalkan banget!
Misbah Tamarin
2020 itu kudefinisikan sebagai ‘Lockdownload’. Artinya, mengunci diri tanpa logistik adalah mengunduh kematian. (Pesan ditujukan kepada pemerintah setempat).
Triana Yuniasari
Di 2020 aku sering kompromi dengan banyak hal. Banyak rencana yang udah aku bikin, tak kesampaian. Kesel, tapi mau gimana lagi coba?
Kalo kamu, apa satu kata terbaik yang dapat kamu pilih untuk menggambarkan 2020?