Bagaimana cara Anda mengenalkan diri pada orang lain? Dengan menyebut dari mana asal suku Anda? Apakah status kesukuan Anda menentukan siapa sebenarnya diri Anda? Apakah statis suku Anda menentukan peran dan sumbangsih Anda pada masyarakat? Apakah suku Anda membentuk pandangan orang tentang bagaimana cara mereka memandang diri Anda?
Pertanyaan-pertanyaan di atas jelas akan menelurkan jawaban yang berbeda-beda pada tiap orang. Tapi mari saya ceritakan bagaimana darah suku (separuh) Madura saya membuat saya pernah berada di posisi sulit (lebay sih!). Saya membagi cerita ini menjadi dua: menjadi laki-laki di Madura dan menjadi laki-laki Madura.
Menjadi Laki-laki di Madura
Jamak diketahui, bahwasanya ada 2 jenis Madura di dunia ini. Madura swasta dan Madura negeri. Madura swasta biasanya merujuk pada orang-orang Madura yang hidup dan tumbuh besar di daerah sekitar tapal kuda (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi). Sedangkan Madura negeri mengacu pada orang Madura yang hidup dan besar di pulau Madura, Sama-sama Madura dan berbahasa Madura, hanya beda wilayah saja.
Suatu ketika teman saya, seorang laki-laki Madura swasta, menikah dengan gadis Madura negeri. Sehabis menikah, pasangan ini menetap di rumah sang istri, di salah satu kabupaten pulau Madura. Tapi tak lama kemudian, mereka pindah keluar Madura. Apa pasal? Si suami tak betah. Profesinya sebagai content creator (buzzer, uhuk) mengharuskan ia menghadap laptop sepanjang hari atau kadang sampai malam. Seringkali bahkan ia bangun kesiangan. Mertuanya, keluarganya, dan juga tetangga-tetangganya menganggap si suami adalah laki-laki pemalas. “Reng lakek mak tedung maloloh! Alakoh, Cong!” (Laki-laki kok tidur melulu! Kerja, Cong!) Ketika ia bercerita pada saya, ia menggerutu, “E-commerce tak akan berkembang di Madura.”
Saya memafhumi kekesalannya. Sebab saya punya pengalaman yang kurang lebih sama dengannya. Dua minggu tak keluar rumah untuk menulis 90 halaman cerita fiksi dan digunjing oleh keluarga sendiri sebagai pemalas. Di lingkungan Madura, ada anggapan bahwa laki-laki itu harus keluar rumah saat pagi datang. Laki-laki yang mendekam di rumah dianggap bukan laki-laki. Di sisi lain, saya juga memahami ada alasan kultural Madura sebagai masyarakat agrikultur (tegalan) yang melatarbelakangi anggapan itu. Tapi malas saya jabarkan di sini. Saya tak mau tulisan ini sok intelek. Biasa saja. Seperti obrolan santai di warung kopi Omah Diksi yang kini tiada. Lagipula, bukankah ini portal opini santai?
Lain lagi dengan ibu saya. Ia menganggap laki-laki Madura yang baik adalah laki-laki yang keluar rumah pagi-pagi dengan sepatu di kakinya. Persetan sepatu jenis apa, mau sepatu lari kek, sepatu boot kek, sepatu bola kek, sepatu Aladin kek, atau bahkan sepatu kuda, pokoknya bersepatu. Perkara mau keluar kemana, tidak masalah. Asal jangan di rumah dan kelihatan menganggur di mata tetangga. Seringkali ia membandingkan saya dengan kakak ipar saya yang bekerja sebagai guru honorer. Apalah saya ini yang gemar berkolor dan nongkrong di warkop mencari wifi pagi-pagi. Bagi ibu saya, laki-laki itu ditakar kualitasnya berdasar apa pekerjaannya. Rasa-rasanya ingin saya debat ibu saya sendiri dengan beberapa pertanyaan: “Apakah pekerjaan saya menentukan dan menggambarkan secara utuh siapa sebenarnya diri saya? Apakah pekerjaan saya menentukan seberapa besar peran dan sumbangsih saya pada masyarakat? Apakah pekerjaan saya membentuk pandangan masyarakat tentang bagaimana cara mereka memandang diri saya? Jika iya, masyarakat yang mana?”
Tapi saya urungkan niat saya mendebat itu. Takut durhaka. Saya memilih keluar dan merantau keluar Madura. Bukan maksud saya untuk mengatakan Madura adalah tempat yang buruk. Sampai detik ini saya masih menganggap Madura sebagai rumah terbaik dan tempat paling nyaman untuk pulang, tapi bukan tempat yang tepat bagi saya untuk berkembang. Silahkan jika anda mengatakan saya individualis, liberalis, sifilis, hepatitis dan istilah lain yang berakhiran -is. Saya tak peduli. Saya punya 2 keping uang 500an, satu untuk tutup kuping kanan dan satu untuk kuping kiri.
Menjadi Laki-laki Madura
Saya tidak menyukai stereotipe tentang orang Madura di antara teman-teman saya yang non-Madura. Selama kuliah di Malang, jika Idul Adha tiba, beberapa teman akan menelpon saya dan meminta saya datang ke tempat acara bakar sate. “Hei Madura! Sini! Kita butuh orang yang ahli di dunia persatean”. Meski berkali-kali saya katakan bahwa di Madura daratan sendiri tak ada sate Madura, mereka tetap mengulang hal yang sama dari tahun ke tahun. Dipikirnya semua orang Madura ahli dalam mengurus daging dan bara arang. Sialnya, stereotipe itu semakin diperkuat oleh teman-teman saya yang asli Madura sendiri di perantauan. Semacam ada anggapan di antara mereka bahwa laki-laki Madura haruslah bisa menyate dan mengurus hal-hal terkait bakar-bakar daging. “Kalau kau tak bisa menjaga bara api dengan panas konstan, sebaiknya kau pindah KTP” (ngomong-ngomong, saya sudah pindah KTP). Itu anggapan yang konyol. Sama konyolnya dengan cerita tentang ngadatnya proyek jembatan Suramadu dikarenakan besinya dicolong orang Madura. Lah, Anda tahu sendiri pemerintah kalau punya proyek durasi pengerjaannya bagaimana? Yang nggak beres pemerintah dan kontraktornya, kok ya orang Madura yang disalahkan. Demikianlah pengalaman saya menjalani hidup sebagai laki-laki Madura. Mengapa tidak saya bahas mengenai ‘perempuan Madura’ atau sekalian menjadi ‘manusia Madura’ saja agar lebih universal? Sederhana saja, saya tak punya pengalaman menjadi perempuan atau menjadi perempuan Madura. Kenapa saya tak observasi teman-teman perempuan Madura dan menuliskannya? Jelas akan bias. Biarkan perempuan Madura yang menyuarakan suaranya sendiri. Tak perlu diwakili kaum laki-laki.