Oktober lalu, satu peristiwa menarik perhatian saya ketika penyiar TV One mengenakan atribut bendera Palestina saat memberitakan aksi bela Palestina.
Kala itu, Wakil Ketua Dewan Pers, Agung Dharmajaya, mengomentari tindakan ini sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik karena dinilai menciptakan kesan tidak netral dan tidak berimbang.
Namun, pernyataan ini kemudian diralat. Pasalnya, atribut sang penyiar ternyata tidak ada kaitannya dengan karya jurnalistik.
Peristiwa ini lantas menarik perhatian serta memicu reaksi pro-kontra di dunia maya. Agung sendiri berdalih, “… ekspresi keberpihakan terhadap kemanusiaan boleh dilakukan seorang jurnalis, asalkan tetap berpegang pada prinsip-prinsip jurnalistik.” Setelah pernyataan tersebut dilontarkan, ketegangan pun mereda.
Mayoritas suara dan kebijakan pemerintah Indonesia sendiri secara bulat menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Hal ini salah satunya terimplementasikan pada berita-berita di tanah air yang condong mendukung Palestina.
Misal, dari penelitian yang dilakukan oleh Arrosyid dan Halwat (2021), Ibrahim & Linh (2019), dan Suwarno & Sahayu (2020) terlihat adanya kecenderungan media di Indonesia dalam memberikan representasi yang lebih menguntungkan atau lebih memihak kepada Palestina dibandingkan kepada Israel.
Representasi lebih positif terhadap Palestina dan kritis terhadap Israel tampak menjadi pola umum. Bisa jadi karena faktor-faktor seperti ideologi redaksi, kebijakan luar negeri, dan kepentingan pembaca dalam menentukan bias tersebut.
Melalui fenomena ini, saya ingin mengurai lebih jauh terkait bagaimana memahami keberpihakan media atau bias pemberitaan dalam meliput konflik pelanggaran hak asasi manusia (HAM)? Apakah prinsip netral jurnalistik, seperti menurut Agung, relevan untuk diterapkan kala terjadi kesenjangan dalam konflik itu sendiri?
Cara Media Mengonstruksi Realitas
Media pemberitaan, sepanjang sejarahnya, menjadi salah satu elemen penting dalam berbagai konflik kemanusiaan. Peran media yang besar di masyarakat, terutama di situasi krisis, dapat digunakan untuk memengaruhi opini publik, memperkuat dukungan, sekaligus mengubah persepsi dari pihak-pihak yang terlibat.
Untuk memahami bagaimana media mampu mengubah persepsi publik ialah dengan memahami konsep pembingkaian atau framing. Sederhananya, pembingkaian media merupakan metode yang digunakan untuk menghasilkan dan menafsirkan wacana berita.
Wacana berita menyajikan informasi terkait konflik dalam suatu konteks tertentu melalui proses internal media dengan ‘memilih’ aspek-aspek mana yang perlu diunggulkan, ditonjolkan, disorot, atau bahkan dikurangi.
Bila mengacu pada implementasi media digital, aspek tersebut bisa berupa judul, format grafis, tipografi, foto, video, gambar, kartun, tabel, teks, tautan, dan sebagainya (Panayotova & Rizova, 2021).
Maka, ketika masyarakat terpapar berita yang telah di-framing, mereka akan cenderung mempertimbangkan aspek-aspek yang disajikan, yang mana berpotensi memengaruhi pandangan, opini, serta keputusan terkait konflik.
Karenanya, framing berperan penting dalam memengaruhi cara manusia membuat keputusan dan kesimpulan. Hasilnya bisa sangat berbeda tergantung pada kerangka yang digunakan, seperti dapat memengaruhi pandangan tentang siapa yang benar dan salah (Kahneman & Tversky, 2000).
Sebagai contoh, melalui istilah populer dalam dunia jurnalisme, bahwa, “Dunia akan terlihat berbeda bagi orang yang berbeda berdasarkan peta yang digambar oleh jurnalis, editor, dan penerbit surat kabar yang mereka baca.”
Apabila bias jurnalis yang berasal dari ‘pandangan partisan’ bisa dihindari oleh kode etik profesional jurnalis, editor yang memonitor pekerjaan mereka, dan nilai-nilai bisnis perusahaan tempat mereka bekerja, tidak demikian dengan bias media. Bias media akan sulit untuk dihindari karena praktik bias telah dilembagakan di dalam perusahaan media (Bennett, 2006).
Pasalnya, dalam koridor media, ketika jurnalis melaporkan atau memotret hasil temuan mereka, masih ada editor yang berperan menyeleksi aspek mana saja yang patut untuk dikedepankan sesuai dengan akar ideologi media. Akar ideologi ini boleh jadi alasan mengapa terdapat perbedaan pemberitaan mengenai konflik Israel-Palestina.
Ideologi media atau serangkaian keyakinan sejatinya adalah nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang membentuk cara media melihat dan melaporkan berita. Ia terdiri dari pedoman editorial, kebijakan perusahaan, serta sikap untuk merespons perbedaan preferensi dan ekspektasi audiens setempat.
Sehingga, dapat dipahami bahwa bias pada media di Indonesia bisa terjadi dikarenakan pertimbangan atas pandangan dan preferensi audiens lokal serta nilai-nilai setempat yang disesuaikan dengan kebijakan editorial.
Pentingkah Menjaga Netralitas saat Melaporkan Konflik Kemanusiaan?
Memang, objektivitas adalah landasan dalam jurnalisme. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua Dewan Pers yang menuntut pentingnya sikap netral dan berimbang, baik media maupun jurnalis, dalam menyajikan suatu peristiwa.
Meski ketidakberpihakan dan objektivitas merupakan persyaratan penting untuk menjaga peran media di tengah masyarakat, ada anggapan di kalangan peneliti bahwa sebetulnya konsep praktik jurnalistik yang dianggap ‘konvensional’ ini justru menjadi penyebab kegagalan peran media, terutama saat meliput situasi konflik (Afaghani & Rubenstein, 2011).
Alasan pertama karena idealisme netral dapat memunculkan situasi di mana pelanggaran hak asasi manusia atau tindakan kekerasan yang salah tetap disajikan setara sehingga menjadi alat untuk menjustifikasi ketidakadilan.
Contohnya, ketika perang saudara di Bosnia (1992-1995), reporter BBC, Martin Bell, menyatakan bahwa ia keluar dari posisi netralitas. Bagi Bell, jurnalisme objektif tidak dapat menangkap kompleksitas konflik Bosnia. Karenanya, ia memilih bersikap jujur bahwa ia mendukung pihak yang tertindas.
Alasan kedua karena netralisme dapat mengurangi konteks terkait sejarah serta asal-usul konflik, yang dapat berujung pada kurangnya pemahaman masyarakat terkait konflik.
Menurut cendekiawan AS, Michael Parenti, apa yang disebut sebagai objektivitas adalah penerimaan realitas sosial yang dibentuk oleh kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat.
Sedangkan, profesor studi komunikasi dan profesor antropologi, Mark Pedelty, menegaskan bahwa “etika jurnalisme yang jujur berada di antara jurnalisme objektif dan propaganda.”
Bagi Pedelty, jurnalis yang mengklaim objektivitas cenderung menyangkal subjektivitas mereka, bukan malah mengakui dan menantangnya secara kritis. Padahal, alih-alih memberikan pemahaman yang mendalam, objektivitas cenderung mengurangi kerumitan dan menghindari kontradiksi (McLaughlin, 2016).
Di sini, konsep ketidakberpihakan dan objektivitas yang sering dianggap sebagai prasyarat penting dalam menjaga peran media sebenarnya dapat menjadi hambatan, terutama dalam konteks liputan konflik.
Oleh karena itu, untuk meresapi kompleksitas ini, media seharusnya menggunakan istilah-istilah yang jelas saat melaporkan, dan menghindari terminologi-terminologi yang digunakan oleh pihak penguasa atau pemerintah secara semena-mena.
Sebagai upaya untuk menggemakan kembali ‘jurnalisme yang adil’ lahirlah konsep jurnalisme perdamaian, jurnalisme pembangunan perdamaian, dan jurnalisme advokasi (Afaghani & Rubenstein, 2011; McLaughlin, 2016; Peace Journalism, the Israeli-Palestinian Conflict, the German Press and the German Public, n.d.; Safty, 1991).
Lahirnya konsep jurnalisme di atas datang dari persoalan di mana objektivitas media menyebabkan kurangnya wawasan jurnalis terhadap HAM. Hal ini sendiri dikarenakan kekhawatiran para jurnalis tersebut bahwa pemahaman terkait HAM akan mempengaruhi cara mereka dalam memberitakan konflik.
Padahal, dengan memahami secara komprehensif kompleksitas isu-isu pelanggaran hak asasi manusia media dapat menerapkan prinsip adil ke dalam laporan mereka; bahwa mereka memiliki peran moral untuk membangun situasi yang lebih adil kepada pihak-pihak yang tertindas.