Janji Basi & Dangkal Atasi Pengangguran Gen Z Ibu Kota

Janji Basi & Dangkal Atasi Pengangguran Gen Z Ibu Kota

Janji Basi & Dangkal Atasi Pengangguran Gen Z Ibu Kota
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Berfokus pada solusi-solusi yang dangkal dan berulang layaknya peningkatan keterampilan, penyesuaian kurikulum pendidikan sambil mengglorifikasi literasi digital anak muda, apalagi pemberian bantuan materi, rasanya tidak akan membuat situasi berubah menjadi lebih baik.

Debat Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta resmi terselenggara pada 6 Oktober 2024 lalu. Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, yakni Ridwan Kamil-Suswono, Dharma Pongrekun-Kun Wardana, dan Pramono Anung-Rano Karno saling bertemu untuk mengadu gagasan dan program.

Pada debat tersebut, problematika generasi Z menjadi salah satu isu yang didiskusikan dan mendapatkan sesinya tersendiri. Di sesi ini, pembawa acara mengajukan pertanyaan berikut: “Apa solusi Anda dalam mengatasi problem lapangan pekerjaan untuk anak muda di Jakarta?”.

Merespon pertanyaan dari pembawa acara, tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pun menyampaikan pemahaman dan tawaran programnya masing-masing.

Pembahasan tersebut tentu saja tidak muncul begitu saja dari ruang hampa. Sulitnya mengakses lapangan pekerjaan memang menjadi masalah yang dihadapi anak-anak muda di Indonesia selama ini, terlebih lagi di Jakarta.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), 22,25% dari kelompok muda (15-24 tahun) di Indonesia berada dalam kondisi tidak bekerja atau memiliki akses pelatihan.

Jika merujuk pada data terakhir jumlah penduduk sampai Juni 2024, jumlah warga Indonesia dari kelompok usia tersebut mencapai hampir 45 juta orang. Artinya, ada hampir 10 juta generasi Z yang menganggur.

Selain itu, berdasarkan data BPS lainnya terkait tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, terdapat 7,48% masyarakat dari kelompok usia 25-29 tahun yang tidak memiliki pekerjaan. Dengan kata lain, masih ada sebanyak 1,7 juta warga Indonesia dari kelahiran 1995 sampai 1999 yang menganggur.

Lalu, bagaimana dengan DKI Jakarta sendiri? Menurut data Profil Pengangguran Provinsi DKI Jakarta tahun 2023, lebih dari 350 ribu penduduk angkatan kerja di ibu kota tidak memiliki pekerjaan, dengan lebih dari 70 persen di antaranya berasal dari kelompok usia 15-29 tahun. Artinya, terdapat kurang lebih 250 ribuan generasi Z di Jakarta yang menganggur.

Sebagai generasi Z yang sempat terkena PHK dan dekat dengan ibu kota, saya akan mencoba menilai: sejauh mana janji-janji program mereka relevan dengan masalah ketenagakerjaan yang dialami anak muda?

Perspektif Amal yang Masih Mendominasi

Berdasarkan tayangan debat Pilkada DKI Jakarta, sekilas nampaknya masih terdapat calon gubernur dan wakil gubernur yang terjebak pada perspektif amal (charity-based) untuk menangani ledakan anak muda pengangguran di ibu kota. Hal ini bisa dilihat dari beberapa program yang tidak jauh-jauh dari pemberian bantuan materi.

Pasangan Ridwan Kamil-Suswono misalnya, menjanjikan dana kekuatan sosial selama 3 bulan kepada anak muda yang mengalami pemutusan hubungan kerja; dan pemberian modal bagi generasi Z yang bersedia menjadi wirausahawan.

Yang paling menarik perhatian, Ridwan Kamil mengatakan juga akan menggratiskan co-working space dan kopi untuk memfasilitasi anak-anak muda yang katanya suka bekerja secara work from anywhere.

Sebenarnya tidak ada yang salah soal program-program charity based seperti itu. Solusi tersebut memang sekilas terdengar paling mudah, ringkas, dan realistis. Apabila ditempatkan sebagai program jangka pendek, strategi ini mungkin masih relevan.

Namun, jika hal ini malah mendapatkan fokus paling besar, rasanya pemberian bantuan hanya menghasilkan manfaat tidak berkelanjutan dan membuat para pencari kerja mengalami ketergantungan.

Serupa dengan bantuan sosial atau makan siang gratis, bukan tidak mungkin pemberian bantuan materi kepada penganggur muda akan memberikan semacam efek candu bagi para penerima manfaat.

Selain tak menyentuh akar persoalan, pendekatan ini juga bisa melahirkan masalah baru seperti bantuan yang tidak tepat sasaran, kemungkinan korupsi, serta penyalahgunaan bantuan untuk konsumsi beresiko seperti judi online.

Pemberdayaan yang Tidak Memberdayakan

Untungnya tidak seluruh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur menitikberatkan pada pendekatan charity. Di dalam debat Pilkada DKI Jakarta, masih ditemukan para calon kepala daerah yang memilih pendekatan lebih strategis, seperti pemberdayaan masyarakat.

Misalnya pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang berjanji akan menyediakan balai latihan kerja modern. Penegasan kata “modern” dimaksudkan bahwa tema-tema pelatihan yang dipilih nantinya tidak akan melulu terkait teknik mesin dan elektronik, tetapi juga bidang-bidang lain yang saat ini sedang banyak dibutuhkan oleh industri digital.

Pelatihan desain dan animasi pun disebut-sebut. Kemudian, pasangan Ridwan Kamil-Suswono juga menyampaikan soal fasilitas inkubasi untuk mendorong para anak muda menjadi wirausahawan.

Sekilas, tawaran-tawaran tersebut terdengar lebih menjanjikan secara jangka panjang apabila dibandingkan dengan pemberian bantuan materi.

Namun, disadari maupun tidak, sebenarnya hal ini masih menunjukkan bahwa para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta masih terkungkung pada mitos skill missmatch.

Konsep skill missmatch pada intinya menyakini bahwa satu-satunya penyebab pengangguran adalah ketidakcocokan antara kebutuhan industri dengan kompetensi masyarakat.

Dalam hal ini, para pencari kerja dianggap tidak punya keterampilan yang cukup atau memiliki keahlian yang berbeda dengan apa yang dicari pemilik modal—dan dengan demikian dianggap wajar kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Dalam sebuah artikel di The Conversation, seorang peneliti sosiologi mengatakan bahwa konsep skill match, walaupun terdengar lebih masuk akal, tidak sepenuhnya menjelaskan isu pengangguran. Menurutnya, narasi tunggal skill missmatch sangat bermasalah karena cenderung membebankan masalah pengangguran di pundak para pencari kerja.

Alih-alih memperbaiki masalah-masalah struktural yang menyebabkan pengangguran, konsep ini malah menuntut masyarakat untuk terus meningkatkan keterampilan dan berani berwirausaha.

Pemerintah sering kali lupa bahwa terdapat persoalan dimensi gender, ras, agama, dan kelas yang membuat tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menambah skill maupun menjadi pengusaha.

Persoalan dimensi kelas, misalnya, bisa mencuat dari tawaran program balai latihan kerja modern yang menekankan pada pekerjaan digital.

Janji ini mungkin terdengar relevan. Sebab, jika melihat situs Pusat Pelatihan Kerja Daerah (PPKD) Jakarta Pusat misalnya, pelatihan yang selama ini difasilitasi tidak jauh-jauh dari teknik komputer dan otomotif, atau bidang domestik, seperti tata boga, tata busana, dan perhotelan. Pelatihan digital seputar desain dan animasi mungkin akan memberikan nafas baru.

Hanya saja, sekali lagi, kesempatan tersebut belum tentu dapat diakses oleh semua lapisan. Bagaimana dengan para anak muda yang berasal dari daerah terpinggirkan atau kelompok pendidikan rendah?

Jangankan memiliki ketertarikan mengenai dunia digital; pernah belajar soal menggunakan komputer pun belum tentu. Alih-alih ikut memperoleh manfaat, bukan tidak mungkin mereka justru akan semakin terpinggirkan dan mendapatkan stigma sebagai sumber daya manusia rendahan.

Menambah Beban Lembaga Pendidikan & Menormalisasi Tenaga Kerja Murah

Sebagai sebuah efek lanjutan, narasi tunggal skill mismatch juga semakin menambah beban institusi pendidikan. Kampus dan sekolah kejuruan diberikan semacam tanggungjawab untuk mempersiapkan lulusan yang siap terjun ke pasar kerja.

Menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan industri serta memperbanyak magang atau praktek kerja sering kali menjadi jalan yang dipilih. Logika seperti ini juga tercermin pada sejumlah program yang ditawarkan oleh para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Misalnya pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang mengatakan akan mengintegrasikan pendidikan dengan kebutuhan industri. Hal ini salah satunya dilakukan lewat memberikan ruang bagi institusi pendidikan dan pemilik modal untuk saling “berkoodinasi secara melekat”.

Selain itu, pasangan Pramono Anung-Rano Karno juga menjanjikan lebih banyak akses kerja magang di kantor-kantor gubernur dan Badan Usaha Miliki Daerah (BUMD).

Namun, masih mengutip artikel yang sama dari The Conversation, strategi semacam ini bisa berujung pada dua kemungkinan: membantu para siswa/i dan mahasiswa/i mendapatkan kemampuan baru yang berguna di lapangan kerja; atau justru menjebak mereka pada praktik kerja murah atau bahkan tanpa upah yang dinormalisasikan.

Lebih Baik Fokus pada Masalah Struktural

Tingginya angka pengangguran muda merupakan persoalan struktural yang luas, mengakar, dan dipelihara oleh sistem. Berfokus pada solusi-solusi yang dangkal dan berulang layaknya peningkatan keterampilan, penyesuaian kurikulum pendidikan sambil mengglorifikasi literasi digital anak muda, apalagi pemberian bantuan materi, rasanya tidak akan membuat situasi berubah menjadi lebih baik.

Strategi-strategi tersebut mungkin masih bisa diterapkan untuk mempertahankan capaian-capaian program yang telah dilakukan sebelumnya.

Namun, akan lebih baik jika pemerintah daerah juga memperbaiki kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan diskrimintif yang selama ini membuat gen Z kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Sebagai contoh, selama ini gen Z dihadapkan dengan terbatasnya pilihan peluang pekerjaan yang layak. Informasi lowongan pekerjaan yang beredar sering kali mensyaratkan kualifikasi yang terlalu berat dengan manfaat yang minim.

Perusahaan gemar menuntut pekerja muda memiliki banyak pengalaman dan mampu menanggung job desk berlapis, tetapi hanya menjanjikan upah minimum tanpa jaminan sosial atau kesehatan. Belum lagi, lingkungan kerja yang toksik dan ketidakpastian karier karena PHK yang bisa terjadi kapan saja.

Tulisan ini ingin menantang calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta selanjutnya. Jika memang memiliki komitmen untuk menyelamatkan generasi Z dari jebakan pengangguran, siapapun yang nanti memimpin harapannya berani memperbaiki iklim pasar kerja yang tidak sehat tersebut.

Bukannya malah bersama dengan pemilik modal fokus menyalahkan generasi Z sebagai para pencari kerja yang malas mengambil kesempatan, lemah mental, atau minim keterampilan.

Penulis

Nobertus Mario Baskoro

Sering banyak ide, tapi lebih sering mager menulis.
Opini Terkait
Menyoal Stigma PNS, Benarkah Realitasnya Demikian?
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel