Pertarungan ‘Buah Tangan’ Brownies Tempe & Malang Strudel

Pertarungan ‘Buah Tangan’ Brownies Tempe & Malang Strudel

Brownies
Brownies

Mungkin Anda juga tidak tahu kalau Malang punya Brownies Tempe, karena sudah lama terkontaminasi makanan ideal menurut foto artis macam Malang Strudel itu.

Tulisan Intan F. Ilham di Kompasiana berjudul Maraknya Kuliner (Tidak Khas) Daerah Buatan para Artis menggegerkan sendi-sendi otot dalam hati dan otak saya. Saya merasakan kegelisahan yang sama dengannya. For your quick information, akhir-akhir ini para artis Ibukota banyak menebar benih bisnis buah tangan di beberapa kota seperti Malang Strudel, Jogja Schrummy, Medan Napoleon, Surabaya Snow Cake dan Makassar Baklave. Mungkin, ini upaya mereka agar tidak miskin ketika penonton sudah muak melihat laku mereka di televisi atau sengaja bertaubat dari rezeki yang didapat dari umbar kemesraan di sinetron.

Saat kuliah di Malang, saya sering mampir beli Malang Strudel untuk buah tangan setiap kali mudik. Saya akui rasanya memang enak, namun (bagi saya) harganya mahal. Sekardus Malang Strudel dihargai 45.000 rupiah dengan ukuran roti tak seberapa besar. Namun, pesona Teuku Wisnu Malang Strudel ini malah menarik banyak pembeli baik dari dalam atau luar kota.

Gerai Malang Strudel yang awalnya hanya satu dua, kini sudah menjamah pengkolan-pengkolan strategis di Kota Malang bahkan sampai Batu. Asumsi pertama saya, para pelancong bosan membawakan keripik, singkong, buah apel setelah rekreasi dari Malang & Batu. Sehingga mereka tertarik membeli kebaruan dari makanan itu. Asumsi kedua, para pelancong memiliki tingkat melek teknologi tinggi, sehingga tahu jenis makanan daerah hanya lewat akun Instagram para artis.

Suatu hari menjelang lebaran, saya mampir di Gerai Malang Strudel pinggir jalan raya Singosari. Dan kagetnya, saya tidak mendapati strudel di tempatnya. Ludes. Pembeli sampai rela antri, menunggu pasokan strudel yang masih dalam perjalanan diselingi gontok-gontokan dengan pembeli lain karena merasa datang duluan. Akibat kondisi lebai itu, saya putuskan batal beli strudel dan sebagai pengganti saya beli semangka untuk buah tangan orang tua di rumah.

Pasca lebaran,  saya tidak berniat membeli Malang Strudel lagi. Saya bosan membeli roti yang dikomersialkan Teuku Wisnu itu karena memang sudah terlalu sering. Sengaja mencari makanan khas Kota Malang selain buah apel, susu murni, madu, keripik apel, keripik nangka, dan keripik tempe untuk oleh-oleh selanjutnya.

Akhirnya, saya mendapat rekomendasi dari teman untuk beli Brownies Tempe. Sempat terkejut dengan rekomendasi teman saya, karena olahan tempe terkenal di Kota Malang seingat saya hanya keripik tempe di daerah Sanan. Mungkin Anda juga tidak akan tahu kalau Malang punya Brownies Tempe, karena sudah lama terkontaminasi makanan ideal menurut foto-foto artis. Didorong rasa penasaran, berangkatlah saya mencari Brownies Tempe yang alamatnya saya minta dari Eyang Google.

Penunjuk peta milik Eyang Google mengarahkan saya ke Jalan Ciliwung Gang II No. 2, Blimbing, Kota Malang. Sempat kesasar, akhirnya saya menemukan gerai oleh-oleh di dalam gang dan posisinya di tengah-tengah rumah warga. Gerai itu sepi, mungkin karena saya datang saat hari dan jam kerja. Di sanalah saya membeli Brownies Tempe dengan harga 23 ribu rupiah saja! harganya cm separuh harga Malang Strudel! (Harga sewaktu-waktu bisa berubah)

Soal rasa, bagi lidah orang perfeksionis, Brownies Tempe tidak menarik dibanding Malang Strudel yang menawarkan isi buah-buahan dicampur coklat, keju, dan susu. Dominasi rasa legit dan gurih mengalahkan Brownies Tempe yang rasanya ala kadarnya, tidak cenderung manis, tapi gurih, namun tak ada rasa tempenya. Mungkin Bu Noer, si penjual Brownies Tempe sudah memikirkan, tak akan layak jual bila roti buatannya berasa tempe goreng atau tempe godog.

Setelah Malang Strudel makin merajela, saya ragu penjualan Brownies Tempe bisa melonjak. Meski Brownies Tempe berusaha mengambil istilah asing untuk makanannya, pembeli sudah bosan dengan istilah “brownies” yang sudah out of date. Pembeli lebih tertarik dengan istilah baru yang susah dihapal seperti strudel, schrummy, baklave, snow cake, dan napoleon, meski tak mengerti maknanya. Ah, kelas menengah memang hobi membeli nama.

Persoalan lokasi juga makin menghimpit bisnis Brownies Tempe karya Bu Noer yang juga bukanlah seorang artis. Bagaimana mungkin Brownies Tempe yang berada di gang mampu mengalahkan Malang Strudel yang keleleran di jalan-jalan kota. Kurangnya nilai strategis dari lokasi dan identitas dari Brownies Tempe membuat Malang Strudel tetap menjadi juara trending topic pencarian makanan khas Kota Malang lewat Eyang Google.

Selain itu, kesenjangan teknologi yang makin mengorbitkan Malang Strudel. Saya pikir, minimal Bu Noer harus belajar Instagram bila tak mampu membuat website, buat tagar #oleholehkotamalang agar tak kalah dengan unggahan promo Malang Strudel. Sebab yang saya dapatkan, Bu Noer hanya punya blog yang terakhir diperbarui tahun 2011. Duh ibu, mana ada generasi milenial yang mendeteksi keusangan informasi.

Saya sepakat dengan Intan bila nama berbagai oleh-oleh besutan artis itu bisa mengikis oleh-oleh khas daerah yang sebenarnya. Nama oleh-oleh ala artis itu tidak mencerminkan daerah tempatnya menggali keberuntungan. Sehingga mereka menggunakan tagline seperti “Jogja Schrummy, Kini Oleh-oleh Jogja Bukan Hanya Bakpia”, “Malang Strudel Oleh-oleh Kota Malang, “ Makassar Baklave Te’nena Makassar”.

Itu semata untuk meyakinkan identitas mereka bahwa nama-nama yang sulit dilafalkan tersebut adalah nama makanan untuk buah tangan bukan nama pahlawan apalagi nama lembaga les-lesan. Upaya pengalihan branding oleh-oleh khas daerah oleh para artis ini seperti sikap Rangga pada Cinta. Jahat. Bagaimana seorang Dude Herlino tega mengalihkan perhatian jika oleh-oleh Jogja tak hanya Bakpia, agar orang mau mampir ke gerainya. Tak bisakah ia menyewa pembimbing bisnis yang lebih bijak?

Selain soal khas daerah, saya juga mengkhawatirkan masa depan perekonomian rakyat. Usaha Brownies Tempe termasuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 merupakan, kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dengan dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

UKM tidak akan bisa digempur inflasi atau moneter, karena perputaran hasilnya yang tidak menjangkau dunia. Bila Indonesia sudah mencapai titik perekonomian terendah, UKM akan baik-baik saja, malah mereka lebih memiliki potensi berkembang. Fakta ini yang tentu tak bisa dicapai Malang Strudel yang termasuk bisnis waralaba. Bisnis waralaba lebih terikat, tidak semandiri UKM. Geraknya tak bisa dipastikan memberi keuntungan secara signifikan atau tidak bagi negara.

Waralaba Malang Strudel yang awalnya diciptakan Teuku Wisnu membuat anggota keluarga dan teman dekatnya ‘ngiler’ untuk membuat waralaba oleh-oleh di daerah-daerah lain. Campur tangan Illahi memberi kelaris-manisan di gerai Teuku Wisnu coba diperebutkan oleh mereka. Alhasil, sekeluarga dan sekerabat sepakat bermain monopoli pada usaha panganan daerah. Memperkaya diri jelas menjadi tujuan akhir.

Lihat saja Malang Strudel dipegang Teuku Wisnu-Shireen Sungkar, Jogja Schrummy dikelola Dude Herlino-Alyssa, Medan Napoleon dan Surabaya Snow Cake disetir Irwansyah-Zaskya Sungkar dan Makassar Baklave dimiliki Irfan Hakim. Bila di antara mereka berniat taubat dari dunia kebohongan drama televisi, itu juga tidak menjamin bisnis mereka baik di mata Islam. Ah, mungkin panutan mereka bukan Muhammad yang gemar hidup sederhana lagi tapi berganti ke Habib Rizieq, habib pemilik Rubicon.

Namun, saya tidak mungkin mengharamkan Anda makan strudel karena Teuku Wisnu sudah capek minta LPPOM MUI memberi stempel halal. Simpulannya, sebagai warga negara yang tidak bertugas memperkaya sebagian golongan dan mengabaikan bisnis tetangga samping rumah, saya menghimbau agar media sosial Anda dipakai untuk mempromosikan usaha mereka. Imbangilah foto-foto makanan di kafe, mall, dan waralaba hits di Instagram Anda dengan foto-foto bukti membeli Brownies Tempe sebagai makanan karya UKM.

Masih ingat kan dengan kakek penjual nasi uduk di Jalan Rawamangun, Jakarta yang tiba-tiba diserbu pembeli, pasca seseorang membuat status tentangnya di Facebook? Saya pikir, begitulah media sosial bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Bukan merepost aktivitas lapor-melapor yang kini jadi kesibukan Habib Rizieq yang pernah memboikot Sari Roti, tapi tak pernah mencicipi Brownies Tempe. Kasian.

Akhirnya, pesan saya, selingilah aktivitas naik gunung, sowan pantai, atau jelajah alam lain dengan berkunjung ke UKM, bila Anda merasa menjangkau makanan UKM butuh waktu dan usaha. Belilah produk UKM, agar jika saja Indonesia kembali mengalami krisis moneter seperti saat 1998, rakyat masih bisa makan karena usaha mandirinya. Bila krisis moneter menurut Anda tidak akan terjadi dan Anda bandel bakal sering beli strudel, Anda berarti lupa jika Teuku Wisnu & Habib Rizieq tidak menyelamatkan kita dari keterpurukan. Salam.

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis

Elyvia Inayah

Pernah jadi wartawan. Skripsinya sudah selesai. Basecamp sementara di Yogyakarta. Cah paling ayu di sediksi.
Opini Terkait
Salah Kaprah Perihal Matematika
Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Sialnya, Bernadya Tidak Sedang Adu Mekanik
Izinkan Kami Juara AFF Walau Hanya Sekali Saja
Untungnya, Bernadya Menulis Lagu Ini

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel