Saya dari dulu hobi mengamati model penamaan tipe manusia terutama dari ilmu arkeologis. Barangkali itu paralel dengan saya yang kemudian hobi menonton berkali-kali pelem dokumenter bertema kehidupan prasejarah dan selalu membayangkan betapa serunya hidup saat itu.
Namun sayangnya, ilmu ini berbau evolusi sebagaimana yang disebutkan ilmuwan kontroversial bernama Harun Yahya a k a Adnan Hoca. Konon ada campur tangan rahasia dari Nosam, Itanimulli yang kata Hoca, ilmu ini memiliki daya rusak mahadahsyat terhadap umat dan berpotensi mencampakkan Anda ke azab yang paling memilukan.
Tapi hey! lewat model penamaan ini saya mengenali banyak sekali perkembangan fisik manusia mulai dari Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Sapiens dan -us, -is lainnya. Belum dengan pelbagai Homo-homo lain mulai dari Homo Economicus, Homo Ludens, hingga Homo Hierarchicus.
Welnu, seiring pergantian umur bumi, umat manusia semakin berkembang, manusia juga turut berubah, tangan dan kaki mulai disesuaikan dengan perjalanan alam semesta. Mulai dari cara mencari makan dan menjalani keseharian dan so pasti! Bentuk fisik manusia semakin berubah. Dus, ukuran tengkorak pun ikut berkembang. Tangan mulai bisa menggenggam, tubuh semakin tegap.
Amboi! Selang jutaan tahun kemudian saya mendapati kenyataan, manusia sekarang sudah terbiasa dengan touchscreen. Lihatlah ketika pagi menjelang, hidup mereka diatur lewat sejumlah notifikasi dan cara mereka berbincang barangkali diatur oleh timeline terkini. Tangan mereka halus-halus. Ya mau gimana lagi? Tiap hari berurusan dengan touchscreen saja. Bandingkan dengan tangan kaum koeli yang kesehariaannya pacul. Kasar dengan urat yang menjalar kemana-mana.
Daur hidup orang diatur dari melek hingga merem berdasarkan fitur sign-in dan sign-out. Ku pikir, hebat sekali manusia sekarang. Selain itu, bentuk tulang punggung mereka, berikut tulang lehernya sedikit demi sedikit menunduk sepadan dengan keseharian mereka: berinteraksi dengan gawai.
Akhir-akhir ini saya malah memperhatikan ada “sempalan baru” dari perkembangan jenis manusia. Bukan sekali dua kali, saya mendapati persebaran berita bohong atau hoax yang berada di tingkat tertinggi perbincangan dan yang menebar berita tersebut nyaris semua kalangan usia. Dari pemuda/i harapan (baca: tanggungan) bangsa atau yang “lagi masa puber” ipoleksosbudhankam sampai ibu-ibu sosialita.
Gejala ini setali tiga uang dengan awak berita yang tentunya hobi mengambil sisi-sisi “menarik” dan rentan tergelincir dengan hoax. Apalagi publik masa kini doyan “digesek-gesekin” isu SARA. Coba urutkan dari berita konflik negeri “sini” dan negeri “sana”.
Menjelang pemilu, mobilisasi masa, pro-kontra ini-itu, terseliplah kelompok yang sanggup meniup gelembung sabun berita hoax seantero jagad. Setara dengan kecepatan cahaya dan stamina super hingga larut malam untuk berbincang hal yang itu-itu aja, patgulipat komen sana-sini, ganyang habis buat yang ga sepakat, dan sembari pukul-pukul kaleng teriak-teriak hoax sebagai panglima!
Sadar bahwa praktik sehari-hari sebelas duabelas dengan jagad digital, kelompok manusia ini insyaf betul bagaimana kalau praktik dan nalar dibentuk oleh hoax pula. Menyelip diantara 130 juta warga medsos, proses menjadi manusia ini sangat mudah, buang nalar, pilih berita yang mengaduk sentimen, tidak perlu baca sampai habis beritanya, hanya judul, lantas share! Untuk kemampuan inderawi dibutuhkan mata yang terampil dan jempol yang jumpalitan di linimasa. Mudah sekali!
Bersyukurlah atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, barangsiapa yang sumpek memperhatikan timeline yang dirajai oleh hoax maka setidaknya ia masuk dalam kaum yang waras. Dus, saya curiga, jangan-jangan mereka ini hoax sejak dalam pikiran, atau malah keberadaan mereka justru hoax meskipun kenampakan fisiknya dideklarasikan sebagai bagian hingar bingar modernisasi yang konon katanya rasional.
Sejak kelahiran manusia ini maka tata pergaulan turut dijebol dan dibangun, jangan heran kosakata unfriend, unfollow dan block bukanlah masalah besar. Bukankah mereka punya bayangan masyarakat ideal ialah masyarakat adil dan makmur berdasarkan hoax serta menjalankan hoax secara murni dan konsekuen zonder kaum waras? En toch, jangan dipikir manusia ini hanya milih kelompok tertentu, ia sanggup ada dan berlipat ganda melintasi bangsa, agama, atau ideologi politik tertentu. Poin ini yang paling mengkuatirkan, saat jumlah mereka membesar dan memungkinkan bikin populasi kaum waras diambang kepunahan alias ludes .
Terakhir, kadang-kadang saya cemas ngebayangkeun lagu anak-anak tiba-tiba berubah, saat hoax sudah jadi kebiasaan dan diamini di alam bawah sadar, direproduksi terus-terusan, kemudian menjalar kemana-mana dan bagian dari keseharian dari aki-aki hingga anak bau kencur. Kira-kira begini bayangan saya tentang Lagu Bangun Pagi versi anak-anak pada masa “Age of Hoax”.
“…Bangun pagi kuperiksa timeline
Tidak lupa me-ngeklik notif
Habis itu ku-pencet share
Menolong menebar hoax
*Bener enggak ora urus!..”*
Oh ya, ucapkan selamat datang pada manusia bernama Homo Hoax-ensis perkembangan mutakhir dari Homo Gadgetensis!