Bagaimana Penggemar K-Pop Bergerak Menyikapi Situasi Sosial

Bagaimana Penggemar K-Pop Bergerak Menyikapi Situasi Sosial

K-POP, Aktivisme Sosial
Ilustrasi: Ahmad Yani Ali R.

Dan kini kita tahu ketika K-Pop tidak berhenti bernyanyi dan menari, penggemarnya melangkah ke jalur yang mungkin tidak diduga banyak orang: aktivisme sosial.

Dunia mendadak berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik dari lagu Gangnam Style. Orang-orang memperhatikan bagaimana Park Jae Sang atau PSY berjoget dengan gerakan seolah sedang menunggang kuda. Gerakannya tidak begitu dan dalam sekejap orang-orang mulai menirunya. Tidak cuma seorang, belasan hingga puluhan orang tiba-tiba menari Gangnam Style bersamaan di jalan-jalan kota-kota besar.

Awalnya, lagu itu barangkali agak asing di telinga pendengar musik, tapi kita tahu, orang-orang mudah mengingat nada-nada yang rancak dan bertenaga. PSY menyanyi dalam bahasa Korea dan sedikit bahasa Inggris. Ketika lagunya meledak di pasaran, ia tidak lagi muda tapi ia menari sama lincahnya dengan remaja-remaja belasan tahun. Gangnam Style menjadi begitu tenar dan orang-orang akan mengingat dalam kepala mereka masing-masing: gelombang musik Korea Selatan tak bisa diremehkan.

PSY tidak memahami bagaimana lagunya jadi begitu fenomenal. Beberapa rekor tiba-tiba ia pecahkan. Berkat lagu itu, pemerintah Korea Selatan mengganjarnya dengan penghargaan Cultural Merit. Itu bukan sembarang penghargaan. Korea Selatan tidak main-main memberi dukungan pada mereka yang berjasa mengangkat kebudayaan dan perekonomian nasional.

Kini kita mengenal gelombang besar itu sebagai Korean Pop (K-Pop). K-Pop memadukan dunia olah suara dan gerak tubuh dengan racikan yang tepat. Dengan iringan musik, seorang artis bernyanyi dan menari. Dan kini kita tahu ketika K-Pop tidak berhenti bernyanyi dan menari, penggemarnya melangkah ke jalur yang mungkin tidak diduga banyak orang: aktivisme sosial.

Baca juga: Daripada Xenophobia, yang Dialami Jisoo Lebih Mendekati Glottophobia

Sekilas Tentang K-Pop

Dalam episode tentang K-Pop, dokumenter Explained menyebut K-Pop mulai diminati masyarakat ketika Boygroup Seo Taiji and Boys tampil di layar kaca. Seo Taiji and Boys disukai masyarakat Korea karena kepiawaiannya bernyanyi dan menari dengan menggunakan kostum-kostum yang menarik dan ikonik.

Kendati populer dan disukai banyak orang, kehadiran mereka tidak mulus-mulus amat. Ada lagu mereka yang dilarang oleh pemerintah karena dianggap menyinggung pemerintah.

Setelah Seo Taiji and Boys pensiun dari dunia hiburan, musik pop Korea tidak lantas berhenti berkembang. Salah satu personilnya Yang Hyunsuk kemudian menjadi pionir dalam menciptakan budaya K-pop.

Yang Hyunsuk mendirikan agensi YG Entertainment yang kemudian menjadi satu dari tiga agensi besar K-Pop. Dua agensi lainnya yakni: SM Entertainment yang didirikan Lee Soo Man, dan JYP Entertainment didirikan Park Jin Young. Ketiga agensi tersebut kemudian dikenal dengan The Big Three. Mereka menaungi grup-grup yang berhasil secara domestik maupun internasonal.

Kendati demikian, banyak agensi lain yang punya sumbangsih sama besarnya dengan the big three. Agensi-agensi tersebut memperkenalkan K-Pop pada pasar yang lebih luas, dan membuat roda perekonomian Korea Selatan yang seret berputar lebih kencang.

Kita tahu saat ini K-Pop menggejala nyaris di banyak tempat. Bak cendawan di musim hujan, komunitas penggemarnya berkembang. Penggemar K-Pop tidak lagi ke mana-mana tapi sudah ada di mana-mana. Tumbuhnya komunitas penggemar juga berarti bertambahnya pemasukan bagi industri. Ini lah yang membuat industri musik Korea Selatan tak bisa dipandang sebelah mata.

K-Pop datang ibarat gelombang ombak. Pelan-pelan mengikis rintangan kebudayaan. Ketika semua rintangan berhasil mereka kikis, orang-orang di seluruh dunia segera tahu bahwa gelombang budaya pop Korea Selatan akan segera tiba di pantai-pantai mereka. BTS, TXT, Exo, 2NE1 hingga Blackpink adalah sedikit contoh dari banyak grup K-Pop yang berhasil memperoleh ketenaran.

Biasanya, satu grup K-Pop terdiri dari 5 orang atau lebih dengan pembagian peran masing-masing. Peran tersebut antara lain: leader, dancer, visual, vocal, producer, rapper hingga maknae atau yang paling muda dalam grup. Tugas tiap peran tentu berbeda, dan satu orang bisa memegang lebih dari satu peran.

Kim Namjoon di BTS, misalnya, berperan sebagai leader, rapper sekaligus producer. Sementara di girl group Blackpink Lisa memainkan peran sebagai rapper, dancer dan maknae. Peran-peran tersebut merepresentasikan beragam aliran musik yang bisa digunakan dalam lagu-lagu mereka, hip-hop atau pop-rock, misalnya.

Idola-idola K-Pop diterima dengan baik oleh penggemarnya karena interaksi yang baik terbangun di antara keduanya. Idola dan penggemar sering berinteraksi melalui berbagai platform media sosial. Interaksi semacam ini memungkinkan sang idola terasa akrab dengan keseharian penggemar. Tidak mengherankan jika penggemar K-Pop dikenal loyal dan militan.

Tidak hanya media sosial yang sudah mapan, mereka juga berinteraksi lewat ruang-ruang lainnya seperti Fancafe. Platform Vlive malah memungkinkan sang idola untuk melakukan siaran langsung. Agensi BigHit bahkan membuat platform media sosialnya sendiri. Ini belum menghitung konten-konten yang diproduksi oleh agensi, televisi ataupun yang diproduksi secara mandiri.

Beberapa idola K-Pop juga dikenal dermawan dan tidak menutup mata atas situasi sosial yang sedang terjadi. BTS mendonasikan satu juta dolar AS untuk gerakan Black Lives Matter. Interaksi yang terjadi antara idola dan penggemarnya memungkinkan donasi bertambah besar. Jumlah serupa kemudian didonasikan ARMY penggemar BTS pada gerakan anti-rasisme yang menguat di Amerika Serikat tersebut.

Selama pandemi, beberapa bantuan yang berarti diberikan idol K-Pop maupun penggemarnya pada mereka yang rentan karena pandemi. BTS dan ARMY menggalang donasi penanganan Covid-19 melalui mekanisme crowdfunding.

Hal-hal ini tampak kecil belaka. Siapa pun bisa mengumpulkan donasi bagi orang-orang yang membutuhkan. Tapi apa yang penggemar K-Pop lakukan tidak lagi bisa dianggap kecil. Bentuk-bentuk aktivisme sosial yang dilakukan oleh idola dan penggemar K-Pop kemudian membuat mereka lebih besar dari sekadar penikmat musik.

K-popers Bersikap dan Meramaikan Dunia Maya

Jika belakangan ini Anda mengikuti perbincangan di media sosial, tidak perlu heran soal militansi K-popers. Mereka beberapa kali memperoleh perhatian warganet. Mereka aktif berinteraksi dan berjejaring di media sosial sebagaimana pemuda-pemudi lainnya. Tagar perbincangan mereka nyaris tak pernah absen dari trending topic Twitter. Interaksi di dunia maya itu menandai cara mereka mendefinisikan dan mengekspresikan diri.

Mereka tidak sedang mencari perhatian sebagaimana BuzzerRp memacak topik mereka di ruang-ruang maya. Penggemar K-Pop bergerak dengan kesadaran yang organik mengenai situasi sosial yang terjadi di dunia nyata.

Di tengah arus gerakan sosial, kita bisa melihat bagaimana penggemar K-Pop dipandang menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Dalam konteks menutup peluang perundungan pada idolanya, penggemar K-Pop lazim melakukan apa yang disebut bersih-bersih kolom pencarian atau cleaning search bar. Tujuannya, membersihkan kolom pencarian dari kabar tak sedap yang dialamatkan pada mereka punya idola.

Cara ini bekerja dengan menggelontor media sosial dengan hal-hal yang mereka sukai. Sasarannya, kita tahu, kolom pencarian bersih dari hal-hal yang bisa membikin mereka cemas. Tagar yang mereka gunakan kerap menjadi trending di dunia maya. Saya tidak tahu apakah trending atau tidak bisa menjadi tolok ukur dampak kampanye. Tapi setidaknya, apa yang mereka lakukan memiliki nilai dalam perubahan.

Cara tersebut kemudian mereka terapkan untuk turut menyampaikan gagasan yang mereka pandang perlu. Dunia sedang dan terus berubah, dan mereka tidak ingin tertinggal.

Berdekatan dengan menggemanya tuntutan anti-rasisme, penggemar K-Pop memboikot kampanye petahana presiden AS Donald Trump. Dunia mengenal Trump sebagai sosok yang kerap membikin pernyataan rasis pada orang-orang kulit berwarna. Dua kontribusi penting idola dan penggemar K-Pop dalam isu ini penting untuk dicatat.

Di Indonesia yang dekat ini, mereka baru saja berhadap-hadapan jempol-dengan-jempol dengan buzzerRp. Tagar #BintangEmonBestBoy trending ketika Bintang Emon dirisak oleh buzzerRp mengenai kritiknya pada penanganan Covid-19. Dan belakangan ini mereka bereaksi soal Omnibus Law dengan cara yang mereka pandang sesuai karakter mereka.

Kita patut berharap tak ada pembunuhan karakter untuk mereka lewat komentar merendahkan seperti: siapa dalang dan aktor intelektual di balik penggemar K-Pop.

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis

Anatasia Anjani

Sarjana komunikasi yang menekuni dunia tulis menulis di berbagai situs media nasional. You can recognize me by my signature voice.
Opini Terkait
Kenapa, sih, Cancel Culture Sulit Diterapin di Indonesia?
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Konten Rhenald Kasali Seputar Gen Z: Minim Ilmu, Banyak Sesatnya!

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel