“Widih.. Sang Pangeran Buaya Darat, Eh Buaya Buntung telah datang”, seloroh seorang gadis biang gosip.
“Loh. Pangeran kok buntung?”, tanya salah satu temannya.
“Hiiii. Mending sama Cu Patkai daripada sama buaya”, komentar temannya yang lain.
“Sssst!!! Tampan kok buat mengoleksi mantan!”, ucap sang gadis biang gosip.
***
Kutipan percakapan di atas saya dapatkan dari teman-teman mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi kota besar Indonesia dan mungkin saja juga terjadi di beberapa perguruan tinggi yang lain. Eka Kurniawan pernah menyebut Cantik itu Luka, baiklah Saya menyetujuinya. Dengan ini, saya (sebut saja Eko Kurniawati) ingin menyatakan bahwa Tampan itu Juga Luka. Jika kalian tak percaya, cukuplah kisah Yusuf yang dipenjara karena ketampanannya yang memporak porandakan hati Zulaikha sebagai penyumpal keraguan kalian.
Menginjak usia 20 tahun ke atas, seseorang akan rentan mengalami kebingungan, kebimbangan, hingga kegalaluan. Periode seperti ini lazim disebut dengan quarter-life crisis. Di antara kebingungan saat periode itu adalah pusing menyikapi stigma negatif tentang lelaki berwajah tampan biasanya doyan memainkan perasaan perempuan. Beberapa lelaki yang merasa tampan ⸻entah karena penuturan emak-nya atau memang pengakuan teman-temannya⸻ justru merasa insecure ketika hendak mendekati seorang gadis, sebab stigma negatif tersebut.
Ada yang khawatir jika usaha PDKT-nya hanya dianggap candaan atau sekadar pelampiasan keinginan yang nanti pada akhirnya akan tiba di titik habis manis sepah dibuang. Ada juga yang cemas bila usaha keseriusannya dicurigai sebagai wujud laki-laki yang ingin menebar jala, lalu gadis pujaan hati yang diidam-idamkan sejak lama akan membuat siasat balik dengan cara seolah-olah menerima dengan tangan terbuka, padahal menyiapkan amunisi untuk membuat luka yang lebih menganga. Pada akhirnya, lelaki dengan periode quarter-life crisis seperti ini hanya bisa menikmati senja dengan tatapan kosong dan kembali ke atas kasur dengan hati yang masih saja kosong.
Atas dasar hal inilah, kalian yang merasa tidak dianugerahi ketampanan dan ingin mendapatkannya, sebaiknya hentikan keinginan itu. Percayalah, kalian tak akan kuat, biar Yusuf saja. Ketampanan seringdisandingkan dengan kehidupan yang dikelilingi dengan banyak perempuan, meskipun lelaki-lelaki penganut aliran homoisme juga rentan mengelilingi. Asumsi tersebut menggiring opini publik untuk menyatakan bahwa lelaki tampan itu Penggoda Wanita, Penimbun Mantan, Perusak spesies gadis-gadis polos, bahkan masyhur dengan sebutan Buaya Darat.
“Wahai Para Netizen yang Maha Benar dengan segala cuitan-nya”, ketahuilah, cuitan itu memberikan dampak terhadapan tekanan psikologis. Sadarkah kalian? Lelaki-lekaki tampan yang supel dan ramah pada semua gadis itu, kini telah diblacklist dari daftar lelaki yang layak dinikahi. Mereka dianggap mempermainkan wanita dan gemar memberikan harapan palsu. Mental mereka terganggu karena takut burung yang telah dipelihara sejak kecil tidak bisa mengepakkan sayap-sayapnya. Bukankah itu dampak yang mengerikan?
Pertanyaan besarnya: benarkah mereka Penggoda Wanita? Penimbun Mantan? Biang Kerok kepunahan gadis-gadis polos?
Pernahkah Kalian, wahai netizen yang terhormat, benar-benar memahami arti dari ‘menggoda’, ‘menimbun’, dan ‘menghabiskan’?
Apakah penawaran bantuan untuk mengajaknya berboncengan agar seorang gadis tidak terlambat mengikuti perkuliahan adalah sebuah bentuk godaan? Lalu bagaimana dengan anjuran agama tentang “sebaik-baik manusia adalah yang berguna terhadap sesamanya?
Apakah mencintai seorang gadis itu harus dibatasi, sehingga jatuh cinta berkali-kali adalah sebuah kezaliman di era industri 4.0? Apakah jatuh cinta benar-benar bisa dibatasi? Bukankah pepatah mengatakan satu di antara kedalaman yang tak bisa diukur adalah kedalaman hati? Lalu bagaimana cara membatasinya?
Apakah membahagiakan perempuan menyebabkan kepunahan kaum hawa? Bukankah Lelaki Mulia adalah yang memuliakan Perempuan? Jika pada akhirnya bergelar “Mantan”, setidaknya Mantan juga pernah dibahagiakan, bukan?
Belum lagi, Lelaki-lelaki Tampan juga sering dikaitkan dengan profesi Pembina asrama putri karena chat di handphone dianggap hanya dipenuhi oleh chat-chat gadis. Namun, chat yang dipenuhi pesan dari sesama laki-laki dianggap lelaki hombreng. Lagi-lagi hal ini mengingatkan dengan Mutiara hikmah yang pernah disampaikan oleh Cu Patkai, yakni “Tampan oh Tampan, Penderitaannya tiada akhir”.
Penyebutan Buaya terhadap lelaki yang bergonta-ganti pasangan sepertinya juga perlu diluruskan. Jika materi ilmu pengetahuan alam tentang fauna masih utuh di ingatan, maka fakta yang perlu disadari adalah buaya merupakan hewan monogami. Buaya adalah hewan yang menikah hanya sekali selama hidupnya. Bukankah seharusnya lelaki buaya darat adalah semiotis dari lelaki yang sangat setia terhadap pasangannya?
Tiada hal tanpa konsekuensi. Sebaik apapun dan seburuk apapun, dua-duanya memiliki konsekuensi. Sebagian orang akan mengatakan bahwa penderitaan lebih rentan terjadi kepada pemilik wajah yang kurang tampan, tetapi ada sisi baiknya juga, yakni dianggap sebagai lelaki yang tidak mungkin selingkuh karena tidak akan ada yang mau menjadi selingkuhannya. Sebagian sisanya juga memiliki opini bahwa ketampanan juga penderitaan yang mematikan. Menjadi lelaki tampan berarti menjadi lelaki yang siap menerima anggapan sebagai pemilik bakat playboy. Hal ini tentu saja menyiksa, meskipun tetap saja bagi Dilan yang menyiksa adalah rindu.
Harapanku, teruntuk maha benar netizen dengan segala remahan-nya, ketampanan yang dianggap anugerah terkadang bisa menjadi fitnah dan itu bisa menyiksa jiwa & raga pemiliknya. Percayalah, pekerjaan seperti menimbun mantan tidak hanya bisa dilakukan oleh lelaki-lelaki yang tampan, tetapi juga bisa dilakukan oleh lelaki-lelaki dengan muka pas-pasan. Kalian tahu mengapa? Karena Aku lelaki dengan muka pas-pasan dan Aku Penimbun Mantan.