Riska Damayanti

Efek Wajah Sinis di Masa Quarter Life Crisis

Coba bayangkan. Ada orang di posisi krisis, dimana memang sudah dicap sejak dulu kalau di usianya itu bakalan mengalami kondisi begitu—terkesan seperti kutukan. Sudah terseok-seok dan kepayahan bangkit, ternyata ada pula bonus tak terduga. Orang itu, mengecap situasi pahitnya di masa yang hampir semua kalangan pun merasa sulit menghadapi krisis tersebut.

Pertanyaannya, kira-kira bisa dihitung, nggak, besaran damage yang dihasilkan buat jiwa dan raganya?

Kurang lebih begitulah gambaran kebanyakan remaja-otw-dewasa yang sekarang sedang menghadapi Quarter Life Crisis di tahun-ah-entahlah ini. Ke-ba-nya-kan. Bukan semua. Perlu dikasih tanda kutip di situ kayaknya. Karena berarti, ada yang jalannya mulus-mujur-terukur. Paling-paling, di dalam hati kita nanya sendiri, “Loh, kok bisa, sih?”

Begini. Triknya sebenarnya mudah. Pasang muka ceria, bertutur kata sopan-gemulai-aduhai, apabila kalian berjenis kelamin perempuan, cara ini ampuh. Cuma masalahnya, itu semua nggak berlaku kalau kita punya struktur muka yang kalau dilihat sekilas—atau mungkin lebih lama dari itu−bikin pengin membenci saja.

Waktu kecil, mungkin nggak ada masalah mau bagaimanapun ekspresi wajah. Mungkin karena faktor anak kecil yang identik apa adanya, jadi, ya, biasa saja. Namun herannya, ketika sudah beranjak dewasa, entah mengapa seakan wajah apa adanya ini adalah sebuah kesalahan besar.

Di saat banyak media membahas tentang damage tidak good-looking yang merugikan si pemilik, saya malah berpikir kalau itu tidak perlu terlalu ditakutkan. Memang, bisa dikatakan, efeknya nyaris sama. Cuma, saya merasa ini lebih berbahaya, dan biasanya, sering menimbulkan kesalahpahaman. Alih-alih good-looking kurang dianggap atau diprioritaskan keberadaannya, kalau yang satu ini, justru sungguhan diberi jarak menjulang karena saking nggak diinginkan kedatangannya. Ironis bukan main.

Biasanya, kalau kita nggak good-looking, asal kita punya wajah yang ramah nan innocent, orang-orang bakalan respect. Tapi coba kalau dari luar muka kita udah terkesan memuakkan, belum ngomong sepatah kata pun, sekadar melirik saja orang langsung merasa pengin lari. Serba salah kalau sudah posisi ini. Kalau senyum, terkesan cringe. Alih-alih ketawa, malah dikira sok akrab. Diam saja? Berbahaya karena aura judes akan semakin jelas terpampang nyata.

Sebelum semakin jauh, kita bahas dulu, deh, itu ekspresi wajah apa. Pernah mendengar istilah Resting Bitch Face? Ungkapan jadulnya bisa disebut berwajah sinis, judes, sombong, atau sebutan buruk lainnya—faktanya dikenal begitu. Makhluk-makhluk tak beradab yang mengevaluasi mereka demikian, biasanya menilai dari luar tanpa mencari tahu bahwa ada sesuatu yang dinamakan ‘cetakan pabrik’. Hal-hal terkait fisik yang memang sudah ditakdirkan sejak lahir.

Memangnya, damagenya apa saja, sih?

Ada yang gara-gara muka tipe begini dapat nilai B. Sadarnya kapan? Ketika sang dosen bertanya dengan kalimat tanya yang mengherankan, “Kamu, kok, nggak mau senyum?”. Pertanyaan biasa sebenarnya. Tetapi ternyata … Jreng! Wajah kita rupanya yang menjadi penyebab dan sumber masalah, tanpa disadari oleh manusia yang dirinya dititipi oleh Tuhan untuk memiliki wajah ini.

Di dunia pekerjaan, kita juga harus tahan banting dengan kompetitor yang good-lookingnya keterlaluan. Mereka yang memiliki tipe wajah Resting Bitch Face sering jadi korban penolakan karena terkesan nggak menghargai HRD. Padahal, mah, nggak berniat. Nggak ada niat lain selain melamar kerja. Nggak berpikir aneh sama sekali. Eh, ternyata, faktor wajah kita membuat si HRD langsung menolak mentah-mentah dari awal. Cuma, karena menghargai kita yang sudah datang ke ruangannya, mereka tetap bertanya walaupun sudah tahu akan ke mana; ditolak.

Di dunia film, apalagi anime, karakter berwajah tipe ini kerap dianggap cool dan biasanya, paling diutamakan. Namun kenyataannya, di dunia yang memang jelas nyata ini, sama sekali tidak. Di sini, bahkan kita sendiri, tentu lebih senang saat menatap mereka yang terlihat ramah. Tanpa berpikir lebih jauh bahwa, barangkali, mereka memakan bangkai kita di belakang.

Di masa Quarter Life Crisis terlebih masa pandemi, mempunyai wajah tipikal Resting Bitch Face benar-benar musibah. Kita bingung harus melangkah bagaimana lagi, kalau ternyata baru awal berjalan saja sudah tidak diperhitungkan. Memang, tidak bisa dipastikan secara keseluruhan begitu saja. Namun, memang begitulah fakta kebanyakan. Ditambah kita nggak punya banyak relasi berkat faktor muka yang bikin orang malas mendekat karena sudah terkesan memuakkan first impressionnya.

Makanya, ketika beberapa orang meratapi nasib lantaran tidak good-looking, saya justru berharap memiliki wajah bukan bertipe Resting Bitch Face—yang bisa dikatakan, damage meratapi nasibnya lebih berasa.

Tetapi, daripada meratap terus, begini saja, sih. Ubah sudut pandang dancara kita berpikir. Quarter Life Crisis itu semua orang pasti merasakan. Cuma mungkin, berbeda porsi dan bentuk. Kalau merasa masa ini benar-benar menyiksa sampai ke ubun-ubun, ditambah faktor fisik diri yang nggak mumpuni, sampai akhirnya nggak merasa sakit lagi karena jasmani dan rohani sudah terlalu banyak ditempa pedih, pahami saja bahwa Abby Wilner di tahun 1997 bukan tanpa alasan menciptakan kata Quarter Life Crisis ini. Barangkali, beliau merasakannya, dan tercetuslah istilah itu. Bukan hanya dirinya sendiri yang menjadi acuan, mungkin orang di sekitar beliau juga begitu.

Kalau memang kita merasa masa kita adalah worst, ya, terima saja. Dipikirkan terus-menerus pun tidak akan ada habisnya. Melelahkan diri sendiri. Dunia akan terus berjalan, nggak bisa dihentikan sementara. Jadi, nggak berguna kalau hanya menangisi takdir.

Sebagai anak manusia yang lahir di tahun 1997, saya jadi berpikir, Abby Wilner mungkin terinspirasi dari kita—generasi ’97—yang hidup di masa kini. Terkesan seperti time-traveler. Karena, bisa-bisanya beliau mencetuskan kata itu. Seakan tahu kalau remaja—menjelang tua—di masa ini benar-benar yang paling terasa krisis seperempat abadnya. Kayak paket lengkap. Orang-orang di masa lalu ketika mengalami krisis ini masih bisa bergerak bebas. Lah, kita? Sudah yang rasanya pengin mengisolasi diri terus, ditambah ada dukungan dari segi eksternal yaitu PSBB dan segala macamnya agar tetap menjaga jarak, akhirnya tenggelamlah kita di dalam kamar. Semakin saja rasanya.

By the way, tidak perlu iri kalau teman kita sudah melesat jauh karena pintar cari muka—karena sebenarnya, dia sendiri bingung wajahnya bagaimana, makanya sibuk mencari. Kita harus tetap usaha memasang wajah kita sendiri dengan penuh percaya diri, mau bagaimana pun kesannya di mata orang lain. Memangnya, nggak bangga sama muka sendiri? Wajib bangga, lah. Berkat wajah ini, kita menjadi orang yang susah didekati. Orang khawatir salah omong ke kita. (Ini pembelaan aja, sih. Padahal, mah, orang yang nggak mau berkomunikasi ke kita itu karena enek, bukan karena khawatir, apalagi takut.)

Sampai di titik ini, meski sekarang saya memegang prinsipnya, tapi saya khawatir jika ke depannya akan berkurang. Perkataan “Anda tidak akan pernah bisa membedakan buku dari sampulnya” yang dikutip dari novel misteri pembunuhan tahun 1946 oleh Edwin Rolfe dan Lester Fuller dengan judul Murder in the Glass Room, seperti kehilangan esensi. Representasi dari ungkapan terkenal “You Can’t Judge a Book by Its Cover” yang diambil dari sebuah episode pada serial TV Desperate Housewives, nyatanya hanya sekadar kata-kata.

Tentang tipikal Resting Bitch Face, mungkin ada sisi positif yang bisa saya ambil berdasarkan pengalaman pribadi. Ketika duduk di bangku seorang diri, dan teman saya duduk di bangku lain pun sendirian, lucunya, ketika ada segerombolan orang datang, yang lainnya lebih memilih berdampingan dengan teman saya.

Saya? Tetap sendirian.

Kalau begini, bisa-bisa predikat saya sebagai jomblo sejak lahir bakal tetap awet, nih.

Waduh.