Sudah stres karena quarter life of crisis, eh dimanipulasi pula oleh kepentingan korporasi.
Populisme belakangan menjadi terminologi yang terkenal. Tapi istilahnya sudah muncul puluhan tahun yang lalu, bahkan sebelum saya lahir sudah ada tuh kata-kata populisme. Walau sudah berumur lama, namun belum ada definisi tegas mengenai populisme.
Bagi saya, segala sesuatu harus didefinisikan secara utuh sebelum diimplementasi. Misalnya saya memiliki resolusi menurunkan berat badan di setiap tahun baru. Namun selalu gagal, karena saya tidak mendefinisikan kata ‘menurunkan’ secara jelas. Mulai dari metode, target, dan batasan tidak saya perjelas lagi. Hasilnya badan saya malah membengkak.
Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa populisme sulit dijelaskan secara pasti. Berbeda halnya dengan sosialisme, liberalisme, atau kapitalisme, mereka memiliki definisi yang disepakati banyak pihak. Sementara populisme cenderung didefinisikan sesuai dengan gejala yang muncul di setiap wilayah.
Karena saya ogah ribet bingung cari maknanya, saya coba menggunakan landasan yang lebih netral dan gampang dicerna: menggunakan kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan populisme sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi, kearifan, dan hak rakyat kecil. Definisi ini lebih ringan dan membumi, saya tidak harus membaca berkali-kali agar memahami maknanya.
Karena membawa istilah ‘rakyat kecil’, populisme banyak diterima. Paham populis yang lebih membumi ternyata mampu menyentuh ranah emosional masyarakat. Inilah yang menyebabkan paham dan konsep populisme banyak digunakan saat pemilihan umum. Mendulang suara rakyat dengan memahami apa yang mereka mau.
Namun istilah ini kerap memicu tindakan-tindakan berdampak negatif. Misalnya keinginan mendulang suara mayoritas dilakukan dengan praktik-praktik kotor, menggunakan simbol tertentu, hingga menciptakan eksklusivitas kelompok yang menggerus kelompok lain. Hal ini yang kerap kali membuat istilah populisme justru berdampak negatif, walau senetral apapun definisi yang dipilih.
Populisme, Dunia Kerja, dan Quarter Life of Crisis
Saking populernya, populisme ternyata menyentuh banyak aspek lain. Tidak hanya di dunia politik, populisme sudah memasuki area lain, salah satunya dunia kerja.
“Lho, dunia kerja emang bisa menerima paham populisme yang lebih mengarah pada rakyat kecil?”
“Lah, emang orang yang kerja di gedung kantor berlantai sampai 68 itu tidak ada yang rakyat kecil?”
Dunia kerja jadi salah satu bagian yang tidak luput dari popularitas paham populisme itu sendiri. Sadar atau tidak, sudah banyak orang yang maju ke depan mewakili para pekerja atau bahkan yang mereka sedang mencari kerja. Apalagi di era digital, mendulang suara dan mewakili banyak aspirasi jadi jauh lebih mudah.
Mengenali populisme yang ada di dalam dunia kerja itu penting. Terlebih bagi mereka yang baru memasuki fase quarter life of crisis. Sudah nyari kerja susah, terjebak dalam paham populisme lagi, bisa makin mampus nanti.
Orang-orang pada fase ini biasanya cenderung khawatir pada masa depan. Mereka akan merasa parno jika dalam hidupnya tidak ada perubahan apa-apa. Kekhawatiran tersebut akan semakin bertambah jika ada tekanan sosial (re: dipaksa kawin). Fase quarter life of crisis pada beberapa kasus bisa berdampak pada stres dan depresi. Ujung-ujungnya masalah mental health juga yang kena.
Untuk itu memahami populisme menjadi salah satu cara mengurangi kadar stres akibat masuk fase menyebalkan ini. Saya juga termasuk golongan yang ada di fase ini, suka sebel karena sering khawatir dengan masa depan yang tidak pasti. Jadi saya berusaha memahami kenapa orang yang sudah bekerja kerja justru tambah stres. Padahal dapet duit, harusnya kan happy?
Populisme di dunia kerja itu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di ranah politik. Ada orang-orang yang memberi harapan agar bisa masuk kerja, ada juga yang menjanjikan agar bisa naik jabatan. Semakin banyak janji dan harapan yang ditebar, semakin banyak pula orang yang mengikuti dan menurutinya.
Masuk kerja, naik gaji, dan naik jabatan adalah ranah psikologi dan emosional seorang calon pekerja dan pekerja. Mereka yang mampu menyentuh ranah tersebut akan meraih atensi dan mampu memberi kontrol terhadapnya. Jadilah mereka-mereka ini seorang pengekor para populis dalam dunia kerja. Yang tadinya seseorang bekerja karena passion sekarang malah jadi budak korporat karena diiming-imingi sebuah janji.
Cara-cara simpatik dengan janji dan harapan menjadi hal yang harus diperhatikan dengan baik. Ini dunia kerja lho, ada banyak hal buruk yang tersembunyi walau semuanya terlihat baik-baik saja. Dunia kerja itu keras, yang tak mampu bertahan yang dilindas, yang tak mampu beradaptasi yang dieksploitasi. Bukannya menghasilkan rezeki, dapet kerja malah tipes, ya stres.
Utamakan Kesejahteraan Bukan Uang
Quarter life of crisis aja udah ribet, jangan ditambah dengan masuk arus orang-orang populis. Orang-orang populis malah senang karena bisa memanfaatkan kondisi tersebut. Fase ini membuat seseorang menjadi jauh lebih emosional dan cenderung mengambil keputusan secara impulsif, yang memberi solusi temporer rapuh dan berlaku hanya sesaat saja.
Mereka yang dilanda krisis emosional tentu cukup mudah dimasuki janji dan harapan yang manipulatif untuk kepentingan tertentu. Maka tak jarang ditemui beberapa kasus yang membuat seseorang semakin depresi saat memasuki dunia kerja. Sudah stres karena quarter life of crisis eh, dimanipulasi pula oleh kepentingan korporasi.
Kecenderungan orang-orang dengan paham populisme muncul, ya tidak bukan dan tidak lain karena uang. Lewat cara yang kotor atau tidak, memanfaatkan orang lain untuk meraup keuntungan pribadi sudah menjadi hal yang menjijikkan. Namun banyak orang tidak menyadari jika mereka sedang masuk dalam jebakan betmen orang-orang populis tersebut.
Orang populis ketemu orang yang lagi krisis, boom! Ini jadi kombinasi apik nan ampuh dalam mendulang cuan di sebuah perusahaan. Orang-orang yang dalam fase krisis ingin mendapat pekerjaan atau gaji melimpah dimanfaatkan dengan baik oleh mereka yang populis. Yang satu tipes, yang satu lagi sukses. Ambyar wessss!
Cara agar keluar dari kondisi tersebut bisa dilakukan dengan memahami jebakan betmen seperti apa yang ada di tempat kerja. Gampangnya ya lihat saja orang-orang yang mudah menarik perhatian, kemudian pahami motif dan tujuan mereka melakukan itu. Orang-orang populis gampang kok dikenali: mulutnya manis, membuat simpatik, dan menawarkan solusi padahal jebakan.
Nah, setelah tahu seperti apa mereka, ya dihindari saja. Tolak secara halus, bertindak tegas, dan, fokus pada tujuan.
Tapi, orang dalam fase quarter life of crisis kan cenderung sulit melakukan tindakan tegas? Alih-alih fokus pada pekerjaan, orang dalam fase ini justru fokus pada kekhawatiran yang belum pasti terwujud.
Bagi saya yang mengalami fase ini dan berkemungkinan menghadapi populisme dalam dunia kerja, menetapkan tujuan yang pasti adalah solusi. Mengapa saya bekerja, kenapa saya memilih jenis pekerjaan ini, mengapa memilih tempat ini, mengapa menerima gaji segini adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus saya jawab secara pasti dan tegas.
Pertanyaan tersebut harus dijawab sebagai idealisme saya sendiri saat masuk kerja nantinya. Akar dari jawaban atas pertanyaan tersebut adalah: kesejahteraan. Saya bekerja agar sejahtera bukan kaya atau memiliki jabatan tinggi. Sejahtera artinya saya mendapat gaji yang layak atas pekerjaan dan tetap memiliki kesehatan yang baik. Jaman sekarang sehat harganya mahal coy!
Memilih kata sejahtera sebagai idealisme tujuannya sebagai batasan. Orang lain bisa memilih tujuan lain sebagai idealismenya, setidaknya ada batasan saat bekerja nanti. Saya perlu membatasi tindakan dan gerak-gerik saat bekerja. Atau setidak-tidaknya batasan tersebut mampu memenuhi kualifikasi pekerjaan yang saya jalani. Tidak lebih dan tidak kurang, asal memberi kesejahteraan akan saya jalani.
Namun itu adalah jawaban pribadi saya yang sedang berusaha juga keluar dari fase quarter life of crisis. Setidak-tidaknya—walau idealisme saya nantinya tidak tepat—bisa membuat saya berdiri tegak saat mengalami krisis di hadapan orang yang populis. Output-nya saya tetap bisa digaji dengan layak dan mampu lepas dari arus populisme negatif di dunia kerja. Setelah dua tahun bekerja saya belum pernah tipes kok, paling cuma ambeien.