Percaya atau tidak? 3 dari 10 mahasiswa memiliki keinginan gondrong saat kuliah. Hal tersebut bisa terjadi karena beberapa alasan yang tidak masuk akal pula yang paling banyak yakni biar gak bosan dengan gaya rambut yang itu itu aja, biar dikira anak nyeni atau nyastra yang lengkap dengan totebag dengan quotes ala anak anak indie, hingga terinspirasi dari orang yang ia kagumi. Namun yang membuat aneh mengapa kebanyakan para aktivis dikampus juga pada gondrong? padahal tokoh tokoh gerakan revolusioner memiliki rambut cepak dan pendek, seperti Soe Hok Gie, Tan Malaka, atau bahkan Budiman Sudjatmiko juga memiki rambut yang rapi. Jawaban yang paling mungkin adalah gondrong sebagai bentuk perlawanan atau diskriminasi terhadap stigma negatif dari masyarakat.
Saya sendiri termasuk mencoba gondrong selama 2 tahun saat mulai berkuliah, alasanya sederhana karena saat SD sampai SMA setiap siswa diwajibkan untuk berambut rapi dan saya bosan dan peraturan tersebut. Kalau kata anak anak aktivis gondrong itu sebagai perlawanan stigma negatif, namun bagi saya hal yang patut dilawan yakni ketombe yang terus beranak pinak hingga rasa gatal yang tak berkesudahan karena saya cenderung kurang merawat rambut saya biarkan dia tumbuh secara natural dan membentuk ekosistem. Memiliki rambut gondrong itu riweuh nya minta ampun, tiap hari harus keramas dan nunggu keringnya itu yang males, kalau panas dikit gak ada AC langsung keringetan dan rasa gatal gatal itu menggeliat lagi dan terus menyiksa. Saya adalah tipkal gondrongers tanpa kuncir (ikat rambut), karena kuncir membuat jidat saya terlihat seperti bandara yang luas. Namun beberapa kawan saya justru riweuh melihat rambut gondrong yang terurai dan tidak terawat, bahkan rela untuk selalu membawakan karet gelang untuk mengikat rambut saya.
Menjadi gondrong itu saat kuliah ternyata banyak gak enaknya. Salah satunya menjadi pusat perhatian, didalam kelas contohnya saya seringkali disuruh didepan ketika kelas akan dimulai “Ayo mas yang gondrong duduk didepan”. Bahkan saking lusuhnya saya pernah mendapatkan pertanyaan “Mas sudah mandi belum? itu rambutnya tolong diikat” itu sangat nyelekit dan saya cuma bisa mbaten aja. Saya juga kerap kali mendapatkan teguran dari Ibu Kepala program Studi, bahkan beliau dengan rela membawa saya ke ruanganya dan memberi wejangan untuk segera potong “Nak ngapain sih rambutmu kamu panjangin, itu banyak dosen dosen killer yang bakal mberimu nilai C dengan rambutmu itu”, alhasil beliau memberikan uang dengan cuma cuma Rp 100.000 ribu untuk biaya potong rambut, ya walaupun tidak saya gunakan potong juga, namun saya gunakan untuk makan lalapan mak par samping kontrakan.
Hal hal diskriminatif terus bermunculan hingga pada akhirnya saya terpaksa harus memotong rambut saya. Dosen pembimbing magang saya waktu itu mengancam saya “Kamu kalau ngak cukur rambut, laporan tidak akan saya terima dan kamu tidak akan lulus”. Mau mau tidak mau hal tersebut harus saya lakukan
Refleksi dari pengalaman saya ini mengapa stigma negative ini terus bermunculan? Bagaimana orang mendeskripsikan gondrong? Rambut yang seperti apakah yang dapat dikatakan sebagai rambut gondrong? Rambut yang dibiarkan memanjang hingga menutupi daun telinga ataukah rambut yang dibiarkan memanjang hingga menutupi kerah baju? Banyak pula yang mengatakan adanya gondrong sedang dan gondrong yang berlebihan. Tentu saja banyak jawaban dan pandangan masyarakat mengenai manakah yang dapat dikatakan rambut gondrong. Menurut Kamus besar Bahasa indonesia Gondrong adalah rambut yang panjang karena lama tidak dipangkas.
Ada banyak orang yang beranggapan, mereka yang memelihara rambut gondrong sebagai tipikal manusia yang tak mau diatur, bebal, dan sering sekali disebut, tidak mengenal sopan santun. Tidak mengherankan, dalam film-film borjuis para penjahat digambarkan dengan rambut gondrong, memakai kacamata hitam, dan bertatto. Ya memang stigma itulah yang melekat pada seorang yang melihat sesorang yang gondrong. Namun hal itulah yang membuat seorang berambut gondrong memiliki sifat sabar, tabah, bahkan keras kepala dan menolak patuh dan terus melawan melawan gatal dan ketombe.
Menurut beberapa sumber yang saya baca, perkambangnya sitgma negatif ini telah mengakar mempunyai rambut gondrong dimulai dari zaman penjajahan. Dimulai dengan kedatangan bangsa barat ke Nusantara walaupun masih banyak masyarakat di nusantara yang beranggapan rambut gondrong sama saja dengan rambut pendek. Karena di zaman itu masih sangat banyak pahlawan atau panutan masyarakat yang masih memiliki rambut gondrong. Terus kapan mulai nya persepsi kurang baik dari masyarakat terhadap lelaki gondrong? Ya, jawabannya berasal dari zaman orde baru. Dalam Koran Kompas 2 oktober 1973 dengan judul “Semula Kita Senang dengan Situasi Akhir2 Ini” hal itu Bermula dari ungkapan Pangkopkamtib Jenderal Sumitro di TVRI yang mengatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias acuh tak acuh, Wacana tersebut seakan menjadi gong atau tanda bahwa kebijakan pelarangan rambut gondrong telah disahkan. Aparat negara mulai melakukan razia di jalan terhadap pemuda berambut gondrong, Aparat negara mulai melakukan razia di jalan terhadap pemuda berambut gondrong. Hal tersebut menurut saya sangatlah lucu dan menggelikan jika dibayangkan, tentara yang begitu gagah daan garang menyusuri jalan-jalan mencari orang berambut gondrong dengan membawa gunting rambut.
Di pandang dengan persepsi kurang baik dan negatif dari lingkungan sekitar atau masyarakat adalah resiko yang pasti dialami seorang gondrongers, atau bahkan hanya orang lain yang pernah menjadi seorang gondrongers saja yang akan menerima atau memaklumi hal tersebut dan sudah menggapnya menjadikanya hal yang lumrah. Bangku perkuliahan adalah ladang bagi seorang yang memulai memanjangkan rrambutnya. Hal itu disebabkan karena pada saat SD, SMP atau SMA setiap siswa diwajibkan untuk berambut rapi bahkan, sedangkan dibangku kuliah tidak diharuskan rambut pendek walaupun di beberapa fakultas masih tetap menerapkan hal serupa. Peraturan peraturan pedoman mahasiswa yang memperkarakan rambut, pakaian, dan juga aturan yang secara tidak langsung mengatur isi kepala mahasiswa. Aturan dibuat secara tidak demokratis, membatasi ruang gerak dan ekspresi. Apakah Output-nya mencetak sarjana seragam hingga isi kepalanya?
Banyak sekali pengalaman yang bisa diambil, dan perjalanan panjang akhirnya bisa bikin quote sendiri, “Lebih mudah memotong rambut panjang dari pada menumpas idealisme yang telah dirawat dan diruwat”.