Bertambah usia sepertinya menjadi satu hal yang nggak bisa dihindari setiap makhluk yang hidup. Namun seiring naiknya angka pada lilin kue tart tiap tahunnya, permasalahan hidup rasanya juga makin jumbo porsinya. Masalah cinta-cintaan misalnya.
Dulu jaman-jaman remaja, waktu nonton serial komedi Malam Minggu Miko tuh saya hanya bisa ngakak melihat tokoh utamanya. Miko, pemuda tanggung yang selalu gagal buat ngedapetin perempuan gebetannya. Ada saja halangan yang mendera, mulai dari Miko yang canggung berhadapan sama perempuan, gagap komunikasi, salah nge-treat, beda selera, beda ekspektasi yang ujung-ujungnya bikin gagal jadian. Ngenes temen nasibmu Lhe, Lhe. Sepertinya krisis hidup jenis inilah yang mendorong Raditya Dika produktif bikin konten cinta-cintaan mulai dari serial TV, film, stand up semasa lajang dulu.
Naasnya, seperti de javu, sekarang saya merasakan segimana berlikunya perjalanan Miko mencari tambatan hati. Jatuh cinta, patah hati, tumbuh bersemi, jatuh, patah, semi, jatuh lagi. Ah, percintaan duniawi ini sungguh merepotkan. Begini secuil kisah cinta-cintaan saya yang akan saya komparasikan dengan pengalaman kawan untuk menganalisis betapa repotnya percintaan 20+.
Awal perkuliahan saya memiliki hubungan dekat dengan seorang laki-laki. Hubungan cukup adem ayem, berjalan dua tahun. Sudah dikenalkan dengan orang tua, saudara hingga tetangga. Sempat berharap tinggi, bisa langgeng sampai kaki-nini. Nyataannya, berpisah di saat bucin-bucinnya. Haha.
Penyebabnya ? Beda keyakinan. Saya yakin dia orang yang tepat buat melangkah bersama, lhadalah dia sebaliknya. Sebuah kisah patah hati yang biasa saja sebenarnya, tidak menarik untuk dibahas. Skip, next. Pada intinya keluarga tak merestui hubungan kami. Terlalu banyak perbedaan yang susah dijembatani, mulai dari pandangan hidup, prinsip, pandangan agama, hingga cita-cita yang tak sejalan. Halah klise.
Sempat mengalami fase mati rasa atau disebut dengan emotional numbing. Dalam jurnal “Emotional numbing in posttraumatic stress disorder: current and future research directions” karya Brett T. Litz & Matt J. Gray (2001) menyebutkan bahwa emotional numbing ini punya tiga kriteria. Pertama, minat yang sangat berkurang pada aktivitas penting. Kedua, perasaan terasing dari orang lain. Ketiga, punya keterbatasan afektif.
Valid, ketiga gejala tersebut beneran terjadi. Tak ada hasrat cinta-cintaan. Anti baper-baper club hingga malas berbelas kasih kepada lawan jenis. Masa-masa nan menyedihkan.
Beberapa tahun kemudian saya baru bisa berdamai dengan masa lalu itu. Memulai kisah percintaan selanjutnya. Bayangan trauma gagal bercinta masih ramah menghantui. Tak berjalan lama juga, hanya berlangsung dua bulan. Alasan putusnya? Kembali lagi pada permasalahan ‘beda’. Beda pandangan hidup. Waktu itu dia sudah ingin menikah, sementara saya masih betah bermain-main sambil belajar. Lagi-lagi asmara gagal lagi.
Itu mantan terakhir saya, beberapa tahun yang lalu. Sungguh merepotakan jatuh cinta di usia krisis begini. Saya jadi merindukan masa SMP dulu ketika jatuh cinta hanya perlu bilang “aku suka kamu”, cukup. Nggak perlu mikir panjang tentang agama, strata sosial, strata ekonomi, pandangan hidup, prinsip, cita-cita, tingkat pendidikan, bubur diaduk vs bubur tak diaduk.
Sempat saya kira hanya diriku saja yang merasakan. Hingga pada sebuah perkongkowan, kawan saya bercerita kalau PDKT-nya gagal karena perbedaan pandangan politik. Hal yang cukup menggelikan awalnya dalam imaji saya.
Penasaran, saya tanyakan ke teman satu kamar saya yang kebetulan mengambil program studi Ilmu Politik. Seberapa besar sih pengaruh perbedaan pandangan politik dua insan yang kasmaran terhadap kelancaran hubungan asmara (studi kasus pada mahasiswa pembelajar Ilmu Politik) ? And that’s it…jawaban yang tak kusangka bakal kuterima, “penting banget lah”.
Baginya politik adalah salah satu unsur penting dalam hidup, sebuah seni bagaimana mengelola kekuasaan, mulai dari pembentukan hingga pembagian. Pandangan politik yang bertentangan ada kalanya justru jadi penghambat kemaslahatan asmara. Istilah gaulnya nggak se-vibes, nggak sefrekuensi, can’t relate. Jadi bukan hal mengherankan kalau beda pandangan politik bisa bikin hubungan asmara bubar. Hmmmm, studi kasus menarik.
Kisah lain yang tak kalah ngenes adalah kisah kawan saya baru-baru ini. PDKT kandas karena beda pandangan preferensi musik yang ngarah ke ideologi. Ringkasnya gini, gebetan kawan saya ini penggemar musik punk. Tergabung juga pada grup musik dan komunitas punk.
Masalahnya, si mas-mas ini nggak keliatan sama sekali kalau dia anak punk. Berbanding terbalik dengan stereotip tampilan anak punk yang biasanya dandan sangar, rambut mohawk, tatto, dan atribut-atribut simbol perlawanan lainnya.
Mas gebetan ini tampil rapi, dengan rambut selalu tertata. Memakai sneakers branded yang lagi ngetren. Sepertinya punk lebih meresap dalam pemikiran dan selera musiknya daripada tampilan luarnya. Tipe mas-mas yang idealis mampus pada konsep indie, independen, anti kapitalis, rebel.
Perbedaan inilah yang pada akhirnya cukup jadi masalah bagi hubungan kawan saya ini. Kawan saya yang kebetulan bekerja di industri, acapkali mendapat nyinyiran dari sang gebetan. Dicap penjilat korporasi jadi level ketersinggungan tertinggi kawan saya.
“Selera dan prinsipmu punk, rebel, perlawanan, anti kemapanan, anti kapitalis, blah blah blah Mas, tapi sampean sadar gak sih kalo punk-mu itu nanggung? Masak iya, penganut anti kapitalis kerjanya juga di perusahaan? Lha terus bedane karo aku opo, kok isok-isok e ngelokno penjilat?,” curhat kawan saya sambil emosi.
Saya hanya bisa menanggapinya dengan senyum tipis sambil mbatin, “Hoalah, realita percintaan 20+ semerepotkan ini ya? Banyak perbedaan yang harus dengan lapang dada diterima kedua insan. Perlu banyak ego yang dinego.”