Macet dan Jakarta. Seakan sudah menjadi kata yang bersinonim. Saking macetnya Jakarta, bisa dibilang hampir sepertiga umur manusia Jakarta dihabiskan di dalam mobil. Seno Gumira Ajidama pernah mengatakan mobil adalah dunia ketiga bagi manusia Jakarta, setelah rumah sebagai dunia pertama, dan tempat kerja sebagai dunia kedua.
Bahkan saat masa liburan panjang pun sebenarnya mayoritas manusia Jakarta lebih banyak menghabiskan waktunya di mobil. Tak percaya? Lihat saja ketika libur Natal 2015 kemarin. Manusia-manusia Jakarta yang ingin liburan ke Bandung harus rela menghabiskan waktu 18 jamnya di dalam mobil. Tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta-Bandung saat itu terlihat seperti lautan mobil. Luas jalan tak mampu mengimbangi serbuan mobil plat B menuju Bandung.
Hal ini mengundang penasaran saya. Berapa banyak sebenarnya mobil manusia Jakarta itu hingga bisa sampai bikin macet yang Naudzubillah min dzalik.
Rasa penasaran mengantar saya menemukan Statistik Transportasi Darat Tahun 2014 yang dikeluarkan BPS saat iseng-iseng mencari film biru di internet. Berhubung sampulnya juga berwarna biru, iseng-iseng pula saya mengintip isinya. Dan ternyata memang menegangkan, seperti film biru.
Saya tidak tertarik membaca kalimat-kalimat di dalamnya karena angka-angka statistik membuat saya pusing. Lha wong statistik dalam skripsi saja baru setelah 9 bulan 10 hari bisa saya selesaikan. Apalagi statistik keluaran BPS. Dalam laporan, saya hanya melihat warna-warni diagram yang mirip kembang gula itu, terutama yang menjelaskan tentang DKI Jakarta.
Hasilnya mencengangkan! Ternyata pada tahun 2014 itu, di Jakarta terdapat 3.293.938 mobil pribadi dan 13.120.818 sepeda motor. Sedangkan luas daratan di Jakarta adalah 661,5 km2. Itu luas daratan secara keseluruhan, termasuk yang tidak mungkin dilalui mobil dan motor. Lalu seberapa banyakkah kendaraan-kendaraan itu?
Mobil sejuta umat seperti Xenia atau Avanza misalnya, memiliki panjang 4,2 x 1,6 m, luas total satu mobil berarti 6,95m2. Maka jika 3 juta sekian unit mobil itu diparkir berjejer di suatu tanah lapang, membutuhkan lahan setidaknya 22,9 km2.
Sedangkan sepeda motor sejuta umat seperti Supra memiliki dimensi 1,9 x 0,7 m, luas satu unit sepeda motor adalah 1,39m2. Berarti jika seluruh motor di Jakarta yang jumlahnya lebih dari 13 juta unit itu diparkir di suatu tanah lapang, dibutuhkan lahan seluas 17,8 km2.
Sekarang kita total seluruh luas yang lahan yang diperlukan untuk seluruh kendaraan pribadi itu. Ternyata dibutuhkan lahan seluas 40,7 km2 untuk seluruhnya. Tanah lapang seluas itu memenuhi lahan yang dibutuhkan untuk sebuah kota.
Mobil-mobil yang ada di Jakarta dapat menenggelamkan beberapa kota di Indonesia. Karena banyak kota memiliki luas tidak jauh beda dengan lahan kendaraan itu. Misalnya Kota Surakarta memiliki luas 46 km2, Kota Yogyakarta 32 km2, Kota Madiun 65 km2, Kota Pekalongan 45 km2.
Anehnya lagi, bahkan Jakarta Pusat hanya memiliki luas 50 km2. Sedangkan Jakarta Pusat adalah pusat perkantoran yang menjadi tujuan utama kaum urban. Sebagian besar kendaraan-kendaraan itu mengarah ke Jakarta Pusat pada jam kerja. Pantas saja Jakarta semakin macet. Dengan jumlah kendaraan itu, jangankan Ahok, Mahapatih Gajah Mada hingga Soekarno pun belum tentu bisa mengatasi kemacetan Jakarta.
Itu baru dari segi luas. Arus uang yang berputar dari jumlah kendaraan-kendaraan itu ternyata lebih fantastis. Dari mbah google saya peroleh informasi bahwa mobil avanza berharga sekitar 180 juta rupiah. sedangkan motor Supra berharga 16 juta rupiah.
Lalu saya kalikan dengan jumlah masing-masing kendaraan. Hasilnya, motor-motor yang ada di Jakarta bernilai 209 triliun rupiah. Sedangkan mobil-mobilnya bernilai 592 triliun rupiah. Jika dijumlahkan keduanya, ada uang sebesar 801 triliun rupiah untuk seluruh kendaraan pribadi di Jakarta.
Saya tidak bisa membayangkan seberapa banyak uang itu. Karena pengeluaran terbesar yang pernah saya lakukan seumur hidup hanyalah ketika membayar biaya kuliah di bank. Jadi saya mencari pembanding dari sumber lain.
Dari data yang saya peroleh, Anggaran Belanja Indonesia tahun 2016 adalah sekitar 2.000 triliun rupiah. Itu tentunya untuk membiayai negara dari Sabang sampai Merauke. Termasuk membayar cicilan utang luar negeri. Jumlah itu tentunya belum yang termasuk anggaran lain-lain yang masuk ke kantong pribadi pejabat-pejabat. Pejabat tertentu atau oknum maksud saya.
Maka 801 triliun itu sudah sekitar 40 % dari belanja negara. Luar biasa sekali masyarakat Jakarta ini. Membuat saya punya satu ide brilian buat masyarakat Jakarta, terutama kelas menengah-nya yang rewel.
Daripada membeli kendaraan pribadi, akan lebih baik jika kumpulkan uang itu dan kemudian mencari salah satu pulau tak berpenghuni yang ada di belahan bumi. Diamilah pulau itu, lalu gunakan uang triliunan itu untuk membangun insfrastruktur di sana. Lalu pilihlah presiden atau pemimpin apapun di antara kalian. Jadilah kalian berdiri menjadi negara sendiri. Masyarakat Indonesia pasti mengikhlaskan kepergian kalian, bahkan mengakui kedaulatan negara baru kalian.