Barangkali kita bersama masih ingat berita tentang Mas Ustadz yang tafsirnya menuai kontroversi karena menuduh Nabi pernah sesat. Buntutnya seperti yang sudah-sudah, pelaporan kepada polisi. Kerad, sam!
Kemudian saya gumun: kalau tidak suka pendapat blio, kenapa juga kita perlu mendengarkannya lalu membuat luka pada diri sendiri seakan menjadi yang paling dirugikan atas ucapannya? Toh masih banyak sumber berupa kitab-kitab yang ditulis para ahli dan imam-imam sejak ratusan tahun silam.
Jika alasannya karena khawatir terjadi kesalahpahaman pada para pendengarnya, maka sungguh, selemah itukah manusia kala ini menentukan kualitas konten ceramah seseorang; yang saya yakin sebagian besar dari kita baru mendengar namanya karena kasus ini? Terus buat apa abi Quraish Shihab repot-repot menulis lebih dari lima puluh buku tafsir yang tebal-tebal itu? Buat apa juga Sunan Kalijaga menggubah puluhan tembang jawa sarat nilai dan makna?
Bolehlah kalau saya katakan bahwa generasi terkini nan keqiniyan terlalu bergantung pada kemudahan akses teknologi yang instan. Kita lebih suka membuka google translate ketimbang Oxford dictionary. Kita juga lebih suka menonton penjelasan tiga menit a la ustadz youtube, ketimbang membuka ta’lim muta’allim yang sebenarnya dapat dengan mudah kita temui berserakan di etalase toko buku. Ndak salah kok, hanya saja kita tahu sendiri bahwa informasi yang cuma didapat sepotong bisa menimbulkan salah tafsir.
Nyatanya tidak semua hal, terutama hal-hal detil bisa kita dapatkan secara instan. Pernah pakai ojek online terus saat ngecek penjemput anda di map malah ada di tengah sungai? Atau anda pernah misuh saat suara robot mbak-mbak gugelmep tidak menjelaskan bahwa jalan di depan sedang ditutup karena ada nikahan?
Apalagi menyangkut perkara agama yang terkait tafsir Qur’an yang mendalam; yang katanya dapat dimaknai seluas bumi, langit, dan seisinya.
Maka sangat mudahlah kita men-judge orang lain dengan instan pula. Misalnya yang jadi korban adalah desainer, komikus, atawa tukang gambar web misqien macam saya, yang secara tiba-tiba harus rela mendapat stempel penghuni neraka gara-gara hadist larangan menggambar makhluk hidup. Meskipun banyak tafsir yang menyatakan bukan itu maksud ayat tersebut. Kan uasu!
Baca Juga: Wahai Data yang Mahakuasa
Kuasa Internet
Sejak tanggal pertengahan Agustus 2018, setidaknya terdapat 4 milyar pengguna internet dengan pertambahan 10 orang per-detik.
Setiap harinya, 6 milyar pencarian google, 6,5 milyar tayangan video youtube, 75 juta unggahan instagram, dan 700 juta kicau twitter. Dalam penggunaannya, untuk kebutuhan internet saja kita menghabiskan 4 juta megawatt per jam dan menghasilkan lebih dari 3 juta ton emisi karbon dioksida perharinya.
Padahal, dengan 1 megawatt saja kita bisa menyalakan 1 milyar lampu LED sekaligus. Bayangkan kalau lampu itu kita alokasikan ke daerah-daerah yang masih kurang listrik seperti di daerah tempat Ilham Vahlevi berasal. Sehingga kanda Ilham, bisa nonton porenjes dan sepombop di teve.
Harga yang Harus Dibayar Mahal
There ain’t no such thing as a free lunch. Seiring mudahnya akses teknologi, manusia harus membayar mahal: kehilangan waktu-waktu untuk merenung. Berita-berita di portal daring masuk begitu cepatnya. Sehingga belum selesai kita mengetik komentar, semenit kemudian berita berikutnya sudah muncul.
Lantas, apa yang kita dapat? Pada tahun 2017, Keraguan masyarakat dunia terhadap berita hoax mencapai jumlah 79%. Artinya, dari 51% pengguna internet pada 2017, atau sekitar 3 milyar manusia ragu apakah berita yang mereka dapat adalah asli atau hoax.
Konten-konten internet yang seharusnya butuh konfirmasi apakah hoax atau tidak, dan butuh penelusuran lebih jauh tidak dapat kita proses secara optimal. Tentunya kita tidak lupa pada nasib sepasang sendal bertuliskan bahasa arab yamin dan syimal yang langsung bertebaran caci dan pisuhan.
Begitulah. Dunia saat ini adalah dunia instan. Segalanya hanya urusan sekali pencet. Ingin tahu kabar keluarga, tinggal video call. Ingin tahu berita apa hari ini, tinggal buka gawai. Ingin dapat penjelasan hukum fiqih, tinggal klik youtube.
Seperti itu pulalah cara kita belajar agama. Ibarat lapar tengah malam saat lembur, masak saja mie instan. Lalu bodo amat dengan kandungannya. Mau tidak mau, hal ini mempengaruhi pola pikir kita. Sedangkan keyakinan dan cara kita beragama tidak bisa lepas dari pola pikir. Maka begitulah kita beragama: instan.
Hal ini berbahaya. Pola yang ada saat ini adalah segala hal bisa saja dipandang hitam dan putih. Padahal segala hal yang tidak benar bukan berarti salah. Jika anda tidak mengikuti tafsir Ustadz A, berarti anda tidak setuju dengan semua pandangannya. Nope.
Pun logika yang membuat kesimpulan dari hal yang bersifat empiris semata. Penilaian yang berangkat dari pengamatan dangkal sebatas kulit luar. Misalnya orang yang berpeci, bercelana cingkrang, dan berjanggut seleher pastilah sudah hijrah dan agamanya bagus. Yo ndak mesti lah. Lalu apalah arti orang-orang macam saya yang kemana-mana memakai celana jeans butut dengan dengkul buntung pastilah kafir antek asing yang tidak akan didengar kalau sudah bicara betapa pentingnya i’rab dalam tata bahasa nahwu shorof.
Ya mau bagaimana lagi? Kondisi saat ini berbeda. Mereka yang tidak mampu berlari cepat akan tertinggal. Kaum buruh dengan jam kerja 8 jam perhari yang hanya punya waktu makan, istirahat, sholat, mengobrol, dan mengecek ponsel yang semuanya dilakukan dalam enam puluh menit. Lalu kembali ke rutinitas jam kerja. Setelah pulang qerja lembur bagay quda yang melelahkan, hiburan apa yang lebih menyenangkan daripada scrolling berita heboh penuh clickbait lalu berkomentar sesuka hati?
Padahal, nenek moyang kita di masa berburu dulu (yang kapasitas otaknya tidak lebih dari setengah kapasitas manusia modern) hanya menghabiskan 4 jam waktu untuk berburu. Baca: 4 jam kerja perhari. Lalu menghabiskan sisa waktu untuk meletakkan dasar peradaban bagi anak cucu mereka. Yah, setidaknya saat itu belum ada urusan syar’i engga syar’i. Dan juga belum ada agama sekte penyembah ubur-ubur mie instan.