Tiga bahasan mengenai LGBT di sediksi.com, membuat saya tertarik untuk mengungkapkan kegelisahan saya terhadap isu LGBT ini. Awalnya, saya berniat menulis LGBT dari sudut pandang Alan Turing, gay yang menjadi salah satu pelopor revolusi digital. Tapi Alan Turing terlampau sering dijadiin bahan argumen kaum pro LGBT klau lag debat sama kaum fundamentalis, saya gak mau kebawa arus. Akhirnya tulisan ini saya tulis berdasarkan curahan hati mantan arek persma yang kebetulan santri kafir-kufur-fakir.
Curhat saya awali saat saya pulang bersama dengan kakak pertama dari Yogyakarta. Perjalanan kami berakhir di stasiun Kota Karawang. Lantas kami berpisah karena berbeda tujuan, saya turun lebih dulu dengan meloncat saat kereta masih jalan. Jatuh tersungkur dan terguling berputar beberapa kali ke depan, tak membuat saya luka. Saya ‘diselamatkan’ oleh tas berisi pakaian kotor.
Sesampainya di stasiun kereta api Kota Karawang, waktu menunjukan pukul 02.00 WIB pagi. Untuk kedua kalinya saya masih tetap beruntung, sebab masih ada angkot yang beroperasi di sekitaran Kota Karawang. Walaupun sebelumnya, saya harus berjalan kaki dulu dari stasiun menuju jantung Kota Karawang di lorong pertokoan yang sepi dan tampak menyeramkan.
Angkot terus berjalan lambat, tapi pasti. Mulai dari penumpang yang hanya saya seorang, bertambah hingga penuh sesak oleh penumpak yang hendak ke pasar, sampai akhirnya menyisakan dua orang penumpang pria, saya dan seorang bapak-bapak yang nampak dewasa. Kami berdua duduk terpojok di belakang, sejak saat angkot penuh sesak berjejal.
Keadaan mulai lenggang, si bapak mengajak ngobrol saya ngalor-ngidul. Sampai pada akhirnya si bapak bertanya tentang ‘status’ saya. Saya jawab dengan enteng: “saya masih lajang,” sambil terkekeh. Jawaban saya dijawab dengan senyum si bapak. Kemudian, ia kembali mengajukan pertanyaan yang membuat saya tercengang: “seberapa besar alat kelamin saya?”. Karena saya malu, saya hanya menjawab dengan tertawa kecil. Si bapak malah menerka-nerka dengan jarinya, “dua jari, tiga jari, atau lebih?“. Pertanyaan itu saya jawab dengan tersenyum, “itu privasi”. Sontak si bapak tertawa terbahak-bahak, hingga akhirnya ia menyadari lokasi tujuannya sudah terlewat.
Langsung saja ia meminta berhenti pada sang sopir. Sebelum turun ia menawarkan main ke rumahnya, tapi saya menolak dengan tetap mengucapkan terimakasih. Ia hanya tersenyum. Tinggal saya sendiri dengan tujuan akhir Cikampek, saya bergeser pindah dari belakang ke depan angkot. Sang sopir langsung menyahut “asyik banget tadi ngobrolnya”. Kemudian ia menjelaskan kalau si bapak tadi itu adalah seorang yang suka ‘mangkal’ di stasiun.
Sontak saya kaget. Kemudian saya balas percakapan sang sopir: “pantes saja tadi ia menanyakan hal yang tidak wajar kepada saya”. Saya heran saja, tampilannya seperti terlihat seperti orang normal pada umumnya. Kemudian sang sopir hanya memperingatkan saya agar berhati-hati dan bersyukur jika saya tidak diculik. Saya jawab dengan senyum kecil saja.
Jika cerita diatas saya digoda oleh bapak yang ternyata…… Berbeda cerita dengan kakak pertama saya yang bercerita tentang dirinya yang pernah diselamatkan oleh seorang pria gay. Hal itu ia alami ketika dirinya pulang berlibur dari pesantren di Kota Tasikmalaya. Ia bercerita jika dirinya hanya punya uang buat ongkos pulang saja. Di perjalanan pulang, ia tertidur pulas sampai tujuan akhir bus di Bekasi.
Karena waktu itu ia masih berumur belasan, ia hanya bisa melamun dan memelas. Singkat cerita, ia kemudian ditolong oleh seorang pria yang kebetulan adalah gay. Lantas ia dibawa ke rumahnya dan diberi makan serta ongkos keesokan harinya.
Kedua kejadian ini jauh sebelum isu LGBT marak diperbincangkan dimana-mana. Kami memang tahu kisah Nabi Luth dan Kaum Sodom, namun saya pun tak pernah tahu bagaimana gambaran perilaku Kaum Sodom pada jaman itu (pra-jahiliyah). Lagian Kaum Sodom udah musnah diazab juga. Sekarang? Kalau memang ada azab, kenapa kalian yang mesti repot?
Beranjak dari curhatan saya diatas (dan kembali saya bercurhat,haha), akhir-akhir ini sepertinya orang-orang kembali ramai mempergunjing dan memperuncing persoalan LGBT setelah beberapa waktu lalu masyarakat dunia heboh dengan adanya Pekan Olah Raga kaum gay di Rusia. Entah ada angin apa yang membawa kembali perdebatan panjang tentang LGBT ke permukaan. Kalau kata teman saya Yan dalam tulisannya kemarin, sepertinya ada batu dibalik udang dan gerak-gerik koensihsapi atau ngilumakanati. Ah, sudahlah, mungkin mereka LaGiBeTe. Seperti Yan yang LaGiBeTe karena cintanya digantung oleh sekretarisnya sendiri. Sungguh tragis!
Beberapa waktu yang lalu si Fadrin dalam tulisannya juga menyebutkan Aa’ nge-tweet tobat pake akun Line sebab mengorbitkan stiker tentang LGBT. Bagi saya lulusan pesantren hal tersebut sangat menggelitik. Coba apa dalilnya tentang berpantangan memakai akun Line yang mengorbitkan sticker LGBT? Pasti kalian bakalan jawab, “Please deh, loe jangan rese”.
Ya, mungkin begitu pula dengan si Aa’ yang LaGiBeTe denger isu elgebete. Tanpa pikir panjang dan kebetulan tak ada bahan kultweet dakwah, ya kali si Aa’ khilaf nge-tweet. Soalnya, setahu saya, model pesantren yang super alim pun tidak dipungkiri ada anak yang juga mungkin LaGiBeTe. Karena bete, eh, mainin burung temen asramanya yang lagi tidur.
Dulu saja waktu saya di pesantren pernah ada kasus pencabulan, tiga anak kelas satu tsanawiyah yang memaksa satu orang teman sekamarnya ngemut permen kojek ketiga kawannya. Walhasil ketiga tersangka langsung begitu saja di kick dari pesantren karena perbuatannya. Yah, A’ maklumlah di pesantren mah cewek cowok dipisah karena mereka bukan muhrim, tidak diajari edukasi seks pula. Walaupun, sebenarnya mereka belum aqil baligh.
Mereka tahunya cuma dipaksa hafal huruf-huruf hijaiyah sama yang berbau arab. Kalau gak hafal yang dipukulin sampe babak belur. Itu mah cuma pengalaman pribadi saya saja sih A’. Agama memang dari dulu gak pernah bisa harmonis dan humanis A’, dari jaman Qabil sama Habil aja manusia mah udah bunuh-bunuhan berebut cewek. Alhamdulillah, walaupun yang satu mati, untung saja kita masih bisa lahir ke dunia. Coba bayangin kalo saja Qabil sama Habil itu homo, mungkin kita gak beranak pinak kali ya?
Sebenarnya saya juga gak tau, isu LGBT, eh, arah tulisan ini mau dibawa kemana. Tapi, intinya saya berpendapat jika isu LGBT ini cukup kita sudahi saja ya. Saya mah gak pro atau kontra. Sebab, saya sendiri masih banyak dosa. Gak usah ikut campur urusan LGBT lah. Toleran itu cukup acuh saja. Saya bete liat muka bang Ipul disorot tipi terus. Bang Ipul rajin ngaji eh tau nya pedofil, terus Dewi Persik buka-bukaan soal bercintanya Bang Ipul dan tetek bengek lainnya. Kan Kasian, Bang Ipul juga manusia. Salam.