Apakah Kita Harus Percaya Pada Pakar?

Apakah Kita Harus Percaya Pada Pakar?

Apakah Kita Harus Percaya Pada Pakar?
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Apakah memang kita harus sepenuhnya percaya pada pakar? Bagaimana jika ada kondisi di mana para pakar saling memberikan kritik karena tidak menghasilkan kesimpulan yang sama, bahkan saling berkontradiksi?

Dalam buku yang berjudul “The Death of Expertise“, Tom Nichols, seorang profesor di Naval War College dan seorang peneliti di Harvard University, memaparkan fenomena di mana pengetahuan ahli atau kepakaran semakin diabaikan atau dianggap tidak relevan dalam masyarakat modern.

Nichols menjelaskan bahwa terdapat penurunan dalam penghormatan terhadap kepakaran dan otoritas intelektual dalam masyarakat.

Ia juga mengkritisi kecenderungan masyarakat yang memandang remeh pengetahuan ahli dalam berbagai bidang, serta lebih mengutamakan opini pribadi atau pandangan yang tidak didasarkan pada fakta dan bukti yang kuat.

Nichols kemudian menyajikan argumen bahwa kemerosotan rasa hormat terhadap kepakaran dapat membahayakan proses pengambilan keputusan yang berbasis fakta dan dapat mengganggu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ia mengajukan bahwa masyarakat perlu kembali menghargai dan memperhatikan pengetahuan ahli untuk mengatasi tantangan kompleks yang dihadapi oleh dunia saat ini.

Argumen dari Tom Nichols ini sejatinya sudah banyak disampaikan oleh akademisi, peneliti, aktivis dan kaum intelektual di Indonesia.

Mereka menyoroti sikap mayoritas masyarakat Indonesia yang lebih percaya potongan video atau kalimat di media sosial dibanding mendengarkan pakar yang punya keahlian di keilmuan mereka masing-masing.

Baca Juga: Abu Nawas, Baju Ajaib Sang Kaisar, dan Peran Intelektual

Dua Kasus Perdebatan Pakar Hukum

Saya lantas bertanya apakah mereka para akademisi, peneliti, aktivis dan kaum intelektual di Indonesia pernah mempertanyakan apakah memang kita harus sepenuhnya percaya pada pakar?

Bagaimana jika ada kondisi di mana para pakar saling memberikan kritik karena tidak menghasilkan kesimpulan yang sama, bahkan saling berkontradiksi?

Ini kemudian mengingatkan saya dengan satu kejadian pada tahun 2022. Saat itu, terjadi sebuah perdebatan dua pakar hukum pada acara Mata Najwa yang videonya bisa ditonton di Youtube.

Acara Mata Najwa saat itu mengangkat tema yang sangat menarik, yakni RKHUP. Dua ahli hukum yang diundang pada acara itu, yakni Zainal Arifin Mochtar dan Eddy.O.S. Hiariej, punya posisi yang bersebrangan terkait produk hukum ini.

Zainal Arifin Mochtar melihat bahwa keberpihakan RKUHP hanya untuk melindungi kekuasaan negara, bukan untuk masyarakat sipil atau warga negara. Baginya, RKUHP adalah bentuk penundukan warga negara oleh kekuasaan negara.

Di posisi yang bersebrangan, Eddy Hiariej menjelaskan bahwa hukum memang selalu tidak menyejajarkan antara negara dan warga negara. Berangkat dari itu, menurut Eddy, yang harus dilindungi pertama dan utama adalah kepentingan negara lalu warga negara.

Selain itu, terdapat perdebatan menarik lain yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan Almas Tsaqibbiru, seorang mahasiswa Universitas Surakarta.

Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan perubahan syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yaitu pernah atau sedang menjabat kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota. 

Tentu putusan MK ini dinilai janggal oleh para ahli hukum yang merasa bahwa hal tersebut sarat akan konflik kepentingan. Kita tahu bahwa Gibran Rakabuming Raka adalah putra sulung Presiden Joko Widodo sekaligus keponakan dari ketua MK Anwar Usman.

Para ahli hukum, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, kemudian memberikan kritik pedas serta menyoroti berbagai kejanggalan pada putusan tersebut dalam film Dirty Vote.

Tentu, tidak semua pakar hukum menilai putusan MK ini bermasalah secara konstitusional. Misalnya pakar hukum tata negara Muhammad Rullyandi yang menilai bahwa putusan tersebut tidak bermasalah secara etis karena MK secara kewenangan punya otoritas untuk menambahkan norma baru dalam putusannya.

Dilansir dari detiknews, Rullyandi menjelaskan bahwa putusan MK dalam pengujian norma suatu undang-undang bersifat final dan wajib mengikat kepada semua warga negara, badan hukum, organ negara, instansi, dan pemerintah, termasuk presiden.

Semua Pakar Pasti Punya Kepentingan

Perdebatan para pakar hukum dalam dua kasus di atas membawa saya pada pertanyaan yang lain. Mengapa bisa para pakar dalam bidang yang sama dapat memiliki perspektif yang berbeda? Kemudian, bagaimana kita bisa menentukan bahwa pakar yang satu lebih baik dari pakar yang lain?

Beberapa pertanyaan ini saya temukan jawabannya pada sebuah buku berjudul “Materialism and Dialectical Method” yang ditulis oleh tokoh politik asal inggris Maurice Cornforth.

Dalam bukunya, Cornforth menjelaskan alasan logis mengapa bisa ada perbedaan yang kontradiktif antara para filsuf, yang bagi saya subjek filsuf ini bisa disinonimkan dengan pakar.

Cornforth memberikan penjelasan bahwa asal usul pandangan pakar selalu memiliki dasar yang bersifat sosial dan pada hakikatnya selalu mencerminkan hubungan sosial.

Sederhananya, apa yang ada di kepala para pakar ini bukanlah sesuatu yang hadir dengan sendirinya, tetapi hadir dari hubungan sosial tempat di mana para filsuf atau pakar ini berdiri.

Hubungan sosial tempat para filsuf berdiri ini bisa diartikan dengan kepentingan spesifik dari masing-masing pakar dalam bidang mereka.

Bagi Cornforth seluruh periode sejarah, termasuk juga sejarah ilmu pengetahuan dan berbagai pandangan yang ada di dalam masyarakat, selalu mengekspresikan pandangan dari berbagai kelas sosial yang hadir dalam realitas masyarakat.

Oleh sebab itu kita bisa melihat bahwa berbagai paradigma pengetahuan yang diyakini oleh para ahli akan selalu mengekspresikan pandangan suatu kelas dalam masyarakat.

Hal itu hadir karena setiap manusia tidak mungkin berpikir dalam keterasingannya dari masyarakat, dan karena itu juga dari kepentingan kelasnya.

Tidak ada seorangpun di dunia ini, tak terkecuali para filsuf dan pakar, yang dapat hidup dan bertindak dalam keterbelengguan dirinya sendiri pada satu bentuk masyarakat. Mereka selalu tersituasikan dan terkondisikan pada kepentingan spesifik kelas yang mereka dukung.

Berangkat dari penjelasan demikian, Cornforth ingin berpesan bahwa kita harus menemukan paradigma ilmu pengetahuan yang dibawa oleh para ahli yang memiliki kepentingan pada kelas yang tertindas dalam sistem masyarakat hari ini.

Kita tidak boleh meyakini pakar yang bertindak hanya untuk kepentingan para penindas, yang pada akhirnya hanya menginginkan keuntungan semaksimal mungkin bagi dirinya dan kelompoknya sendiri.

Bagi saya, pesan dari Cornforth ini sangat penting dalam melihat perbedaan pandangan dalam dua kasus perdebatan ahli hukum di atas.

Kita tahu bahwa setiap pakar punya paradigma pengetahuan mereka sendiri. Paradigma para pakar itu selalu dijangkarkan untuk kepentingan kelas tertentu. Dalam masyarakat sosial hari ini selalu ada dua kepentingan kelas yang saling bertentangan.

Pertama, kepentingan kelas penindas yang ingin terus melanggengkan kekuasaan mereka dengan cara apapun agar penindasan yang mereka buat tetap terjadi bahkan dinormalisasi.

Kedua, ada kepentingan kelompok tertindas yang selalu punya harapan untuk mengganti atau menghapuskan kekuasaan yang selama ini terus menindas mereka.

Dari sini, kita perlu menganalisis dan memilih apakah kita ingin mempercayai dan meyakini para pakar yang punya kepentingan untuk kelas yang menindas atau yang punya kepentingan untuk kelompok yang tertindas?

Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa kesetaraan hak dan kesejahteraan seluruh masyarakat merupakan tujuan yang harus diperjuangkan oleh siapapun itu.

Berangkat dari hal itu, kita seharusnya selalu berdiri bersama para pakar yang memperjuangkan kepentingan kelas tertindas yang menginginkan kondisi yang lebih adil dan inklusif bagi semua individu.

Mendukung para pakar yang memperjuangkan kepentingan kelas yang tertindas adalah langkah yang sejalan dengan aspirasi kemanusiaan universal yang bertentangan dengan kelas penindas yang hanya mewakili kepentingan segelintir pihak saja.

Sehingga, pertanyaannya bukan lagi “apakah kita harus percaya pada pakar?”, melainkan “pakar seperti apakah yang harus kita dengarkan dan percayai?”

Penulis

Muhammad Ifan Fadillah

Saat ini masih sibuk sebagai penjaga toko dan sesekali ngajar dan menulis
Opini Terkait
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel