Balada Guru Ngaji TPA: Usahanya Mulia, Hidupnya Dipaksa Menderita

Balada Guru Ngaji TPA: Usahanya Mulia, Hidupnya Dipaksa Menderita

Balada Guru Ngaji TPA: Usahanya Mulia, Hidupnya Dipaksa Menderita
Ilustrasi oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Kenapa, sih, sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” seolah-olah hanya melekat pada guru-guru di sekolah formal? Mengapa tak ada satupun pembahasan soal guru ngaji TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang menyisipkan julukan adiluhung itu?

Akhir-akhir ini saya cukup gelisah sehabis membaca banyak tulisan bertajuk guru. Dari beberapa tulisan yang saya baca, kutipan “pahlawan tanpa tanda jasa” nyaris selalu ada, termasuk pada salah satu tulisan di Sediksi. Lalu, apa yang salah dengan kutipan itu?

Tentu saja tidak ada. Cuman yang bikin saya gelisah adalah kenapa, sih, sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” seolah-olah hanya melekat pada guru-guru di sekolah formal? Mengapa tak ada satupun pembahasan soal guru ngaji TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang menyisipkan julukan adiluhung itu?

Ini saya tak tahu. Apakah dari dulu memang begitu, atau hanya keterbatasan saya dalam membaca literatur.

Yang jelas, saya begitu yakin bahwa banyak di antara Anda sekalian yang mengasosiasikan “pahlawan tanpa tanda jasa” ini pada guru pendidikan ilmu alam dan ilmu sosial, bukan ilmu keagamaan, khususnya guru ngaji TPA.

Jika keyakinan saya ada benarnya, maka Anda perlu membaca tulisan ini sampai tuntas. Tenang saja, saya nggak akan menggugat guru sekolah atau melebih-lebihkan guru ngaji TPA, apalagi membanding-bandingkan mana yang lebih sengsara.

Saya hanya ingin menunjukkan bahwa sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” sebenarnya juga pantas diperuntukkan pada guru ngaji TPA.

Kebetulan ibu saya adalah guru, tepatnya guru honorer di TK dan guru ngaji di TPA. Usia kerjanya sendiri sudah menginjak 25 tahun.

Saya jelas paham betul kisah-kisahnya, dari mulai suka hingga duka. Itulah kenapa saya cukup PD mengatakan bahwa guru ngaji TPA ini pantas menyandang julukan adiluhung tadi.

Taman Pendidikan Al-Qur’an adalah Alternatif

Saya akan memulai dengan menjelaskan kondisi TPA di era sekarang. Jadi begini. TPA sekarang itu kebanyakan tidak hanya mengajarkan tata cara membaca ayat-ayat Al-Qur’an saja.

Lebih dari itu lembaga ini juga mengajarkan ilmu dan nilai budaya keislaman. Kegiatan macam ngaji kitab, diba’an, tahlil, qiroah, sholawat al-banjari, bahkan tata cara memaknai kitab pegon pun sudah seperti kurikulum di kebanyakan TPA sekarang.

Jika Anda menganggap kegiatan tersebut atas perintah lembaga pemerintah yang membawahinya, maka tentu saja salah besar.

Lembaga pemerintah tak ada yang begitu peduli. Semua kegiatan di TPA murni berangkat dari keresahan guru ngaji soal minimnya madrasah diniyah, terutama di desa-desa terpelosok.

Memang tidak semuanya TPA sekarang punya kegiatan macam itu. Tapi, saya berani jamin di mana pun TPA berada pastilah ia tidak hanya mengajarkan cara membaca Al-Qur’an saja.

Minimal pasti mengajarkan pengetahuan seputar akhlak. Entah itu lewat cerita para nabi, atau tebak-tebakan tentang apa saja hal baik-buruk dalam berperilaku sebagai manusia.

Namun, terlepas apakah semua TPA di Indonesia punya kurikulum lengkap atau sekadar pengajaran seputar akhlak, saya merasa bahwa TPA ini adalah lembaga alternatif. Maksudnya, alternatif bagi orang tua yang kebetulan “belum mampu” menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren.

Ya, meskipun mata pelajaran agama yang diajarkan di TPA tidak terlalu luas, tapi ia setidaknya tetap bisa hadir sebagai alternatif.

Ia tetap bisa menjadi pelipur lara bagi orang tua yang ingin anaknya tetap soleh meski tidak sempat mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan pengajaran ilmu-ilmu agama secara khusus.

Menjadi Guru Ngaji Bukan Hanya Soal Pintar Mengaji

Dari sini, bisa dilihat bahwa anggapan yang mungkin datang dari sebagian kepala Anda tentang guru ngaji hanya pintar ngaji Al-Qur’an jelas kurang tepat. Ada banyak kompetensi yang harus mereka miliki selain pengetahuan tentang tajwid dan gharib.

Mayoritas dari mereka merupakan lulusan pondok pesantren. Seperti halnya guru-guru di sekolah, guru-guru ngaji juga perlu menempuh pendidikan dulu sebelum akhirnya menjadi tenaga pendidik.

Selain perihal kompetensi keilmuan, guru ngaji TPA juga harus telaten, sabar, dan tahan banting. Mereka harus menghadapi berbagai macam kenakalan santri-santrinya. Mereka tak boleh gampang marah ketika santri-santrinya sulit paham dan sadar atas pentingnya ilmu-ilmu keagamaan.

Para guru ngaji di TPA benar-benar harus menguasai berbagai teknik atau bahkan strategi-strategi khusus agar santrinya sadar bahwa ilmu keagamaan punya dampak di kehidupan dunia.

Kalau semisal mereka bersikap tegas sedikit, para santri biasanya melapor ke orang tuanya. Jika Anda mengira kebanyakan orang tua itu memaklumi, maka salah besar. Teguran orang tua si santri kepada guru ngaji lebih sering terjadi ketimbang pemakluman.

Dan, yah, pada akhirnya guru ngaji harus lebih tahan banting ketimbang santri-santrinya. Kalau tidak, dapat dipastikan si santri tidak akan mengaji lagi di mereka dan guru ngaji serta TPA-nya berpotensi mendapat stigma buruk, baik dari si santri maupun orang tuanya.

Upahnya Tiarap dan Tak Bisa Berharap Banyak

Berbicara persoalan upah, saya rasa antara guru ngaji TPA dan guru di sekolah, terutama yang honorer, juga hampir sama.

Jika gaji guru honorer rata-rata sebesar 200-300 ribu per bulan, maka gaji guru ngaji TPA juga demikian. Bahkan, sewaktu saya KKN di desa terpelosok, saya pernah menemui gaji guru ngaji TPA yang hanya 25 ribu per bulan.

Saya izinkan Anda mengambil waktu sejenak untuk kaget. Karena memang begitulah kenyataannya. Lantas, kenapa bisa sampai segitu?

Sependek pengetahuan saya, selain karena pemerintah yang kurang perhatian, hal utama yang membuat gaji guru ngaji TPA tiarap adalah kurangnya rasa empati orang tua santri kepada guru ngaji.

Jadi, biasanya para santri ini sering tidak membayar infaq (biaya pendidikan dari santri). Entah uangnya dibuat untuk jajan atau apa, saya nggak bisa memastikan.

Yang jelas, orang tua santri seringkali tak memperhatikan anaknya. Kalau sudah memberi jatah uang infaq ke anaknya, ya sudah, lepas tanggung jawab. Kebanyakan dari mereka terlampau segan untuk memverifikasi hal itu ke guru ngaji.

Jangan tanya kenapa guru ngaji tidak menegurnya. Sebab, persoalan uang ini amat sensitif bagi marwah guru ngaji TPA. Jika mereka bersikap tegas sedikit soal uang, besar kemungkinan mereka akan dicap sebagai pihak yang menjual ilmu Tuhan.

Percayalah, anggapan bahwa guru ngaji nggak boleh mengharap imbalan itu masih lekat di kebanyakan orang, khususnya di desa-desa.

“Tapi, kan, guru ngaji TPA dapat insentif setiap tahunnya?”

Betul. Tapi, coba tanyakan ke guru ngaji TPA di daerah Anda. Saya jamin rata-rata insentif yang didapat tidak sampai 1 juta. Itu pun biasanya masih harus dipotong.

Bahkan, bisa jadi tak semua guru ngaji di TPA daerah Anda mendapat insentif karena terhalang berbagai persyaratan serta tetek bengeknya.

Apa Jadinya Jika Indonesia Tak Ada Guru Ngaji TPA?

Jujur, saya sampai sempat membayangkan hal ini. Untuk sementara, saya masih belum punya jawaban. Tapi yang pasti, negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia ini harusnya khawatir jika bayangan saya tadi beneran terjadi.

Malu, dong, jika dikenal sebagai negara agamis, tapi tidak memperhatikan generasinya dan guru ngaji yang mendidiknya.

Tapi, ya sudahlah, semoga saja itu tidak terjadi. Dan seperti di awal tadi, saya tetap teguh pada anggapan bahwa guru ngaji TPA ini setara dengan guru di sekolah.

Paling tidak setara dalam menjalani profesinya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Usaha mereka ini jelas-jelas mulia meski hidupnya seakan-akan dipaksa menderita.

Semoga, beliau semua selalu dikuatkan pikiran dan badannya untuk terus mendidik generasi demi negara tetap punya marwah. Semoga beliau-beliau sekalian selalu tabah demi negara yang kepeduliannya mungkin akan mengemuka di kemudian hari. Amin!!!

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Achmad Fauzan Syaikhoni

Pemuda yang kadang menulis dengan marah, serius, juga ala kadarnya.
Opini Terkait
Pesantren bukan Tempat Pembuangan Anak
Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi
Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?
Patut Dicoba: 8 Pekerjaan untuk Para Caleg yang Gagal di Pemilu 2024
Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel