Purnama memendar di puncak langit. Satu per satu marka jalan terlalui oleh roda-roda yang telah usang. Sedikit berbelok di persimpangan depan, lalu lurus saja ke arah Songgoriti. Sesaat kemudian pendar-pendar lampu menyorot dari bangunan megah di kanan jalan. Balai Kota Batu yang baru.
Balai Kota Among Tani. Begitu Pemkot Batu ingin bangunan itu disebut. Kata Among berasal dari Bahasa Jawa yang artinya pengasuh atau pemelihara. Dengan menggunakan kata Among Tani, setidaknya yang menempati gedung itu akan tampak sebagai orang-orang yang mengasuh atau memelihara para petani.
Padahal melihat sepak terjang pembangunan Batu yang seperti kejar setoran, nama Among Tani rasanya tidak cocok, kecuali jika hendak menipu diri sendiri. Karena pola pembangunan kota adalah wajah para pejabatnya. Dan pola pembangunan Kota Batu lebih cocok diistilahkan dengan Among Pengembang atau apapun, asal bukan Among Ta(n)i.
Ini mungkin sekedar catatan omong kosong. Sama omong kosongnya seperti bangunan megah bernuansa kolonial yang bertajuk balai kota itu. Berjalanlah sedikit ke utara menuju Cangar. Di sana banyak warung-warung kaki lima di tepian hutan dan perkebunan teh. Satu dua cangkir kopi layak dipesan. Dan saksikanlah akrobat lalat-lalat yang berterbangan di atas gorengan. Pertanda satu hal, Batu sudah tak sedingin itu.
Semoga ada Doraemon di lokasi terdekat untuk barang sebentar meminjam mesin waktu. Kembali 20 atau 30 tahun ke belakang, ketika para wisatawan masih belum berani mandi di Batu, apalagi berenang di Selecta. Kebanyakan masih berendam air hangat di Cangar atau Songgoriti. Lalat-lalat itu mustinya malu.
Dengan mesin waktu yang sama kita melintas di sekira lima tahun yang lalu. Ketika Bundaran Universitas Brawijaya yang juga tak kalah angkuh itu menjadi saksi warga Bumiaji berdemo. Mata air dan pencaharian mereka terancam oleh pembangunan hotel. Dan penelitian dari Brawijaya bertentangan dengan kenyataan mata-mata air yang mulai surut. Kampus itu menganggap tidak ada masalah lingkungan dari pembangunan itu. Silakan telusuri sendiri kasusnya. Atau silakan bertanya pada orang-orang di pinggir kali metro.
Pulang dari lorong-lorong waktu, masuk ke dalam kamar kos. Sedikit nostalgia masih menggelayut. Kenangan memang terkadang keparat. Di hadapan laptop dan bungkus rokok yang mulai kosong, satu dua kata terketik di mbah google, lalu klik sana-sini. IDM yang biasanya mengunduh file 3gp dan mp4 itu kali ini agak produktif. Dan lhadalah, ternyata benar.
BPS Kota Batu ternyata merekam lebih detai perubahan-perubahan itu. Kekayaan Kota Batu, yang lampu-lampu Balai Kotanya seperti hendak menyinari hati para sejoli saat hendak ke Songgoriti, ternyata tidak diperoleh dalam satu dua malam dengan bantuan Aladin. Namun memang ada ‘tangan-tangan’ lain di sana.
Bayangkan, dalam kurun waktu tahun 2012 hingga 2015 yang artinya selama tiga tahun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Batu telah melesat 10 kali lipat. Sepuluh kali lipat Bung! Bukan main. Dari yang awalnya sebesar Rp 10 miliar di tahun 2012 menjadi Rp 104 miliar di tahun 2015. Sedangkan dalam kurun waktu yang sama, kekayaan saya tak kunjung berlipat ganda. Puji Tuhan.
Yang lebih menarik dari mbak-mbak di Gang Macan adalah, peningkatan signifikan PAD Kota Batu itu beriringingan dengan peningkatan Retribusi Daerah yang juga signifikan. Dengan kurun waktu yang sama, retribusi daerah yang hanya sebesar Rp 16 miliar di tahun 2012 meningkat menjadi Rp 83 miliar di tahun 2015. Sedangkan retribusi daerah relatif tetap.
Lalu ada apa di Batu dalam kurun waktu 2012 sampai 2015? Yak benar, pembangunan! Mari sejenak nyanyikan Hymne Pramuka. Eh, tidak ada hubungannya.
Tidak perlu memutari Kota Batu yang luasnya secuil itu sampai 20 atau 30 lap. Ingat, Anda bukan Valentino Rossi. Cukup berjalan perlahan saja dari ujung timur ke barat, selatan ke utara. Usahakan lebih melambat jika melewati Alun-alun yang punya toilet berdesain buah itu. Disana banyak cewek cantik yang jika beruntung, Anda bisa dapati mereka mengenakan hot pant (satu lagi bukti Batu tak lagi sedingin itu).
Selama perjalanan Anda itu, resort, tempat wisata, pertokoan, hotel, dan kafe adalah pemandangan biasa. Banyak di antaranya dibangun dalam kurun waktu 2012 sampai 2015 itu. Sebutlah !#!@#!@#$ Waterpark, Eco @!$!@# Park, Museum !@#!@$@#, Batu !$!@#! Square, The !@#!@#! Resort and Convention, dan masih banyak lagi. Semuanya diresmikan dan mulai beroperasi di periode itu. Dan maaf jika harus ada lembaga sensor demi kemaslahatan umat.
Seiring dengan itu adalah perubahan mata pencaharian masyarakat. Masih dari data dari si tukang kumpul angka. Menurut mereka, antara jumlah masyarakat Batu yang bekerja di sektor pertanian dan karyawan menunjukkan angka yang fluktuatif. Namun dalam dua tahun terakhir, jumlah karyawan atau pegawai di Batu meningkat dari 36 ribu menjadi 42 ribu. Sedangkan jumlah petani menurun dari 9 ribu menjadi 6 ribu.
Sedikit menyimpang dari tema tulisan, sekira 20 tahun yang lalu. Arsene Wenger yang namanya belum dikenal di bumi Eropa ditunjuk sebagai manajer Arsenal, klub yang kaya sejarah dan salah satu yang terbesar di Eropa. Salah satu media ternama di Inggris meresponnya dengan singkat, “Arsene who?”
Begitu juga ketika Pemkot Batu mengklaim dirinya sebagai Among Tani. Moment mal! Mungkin kita harus pertanyakan dengan sama sinisnya, “Among who?” atau “Sampean ngemong sinten cak?” Atau mungkin Among adalah salah satu nama pengembang? Lillahi Ta’ala.
Memang tidak ada yang salah dengan perkembangan dari pertanian ke industri. Itu hal yang terjadi di belahan bumi manapun. Apalagi industri pariwisata yang memang lagi nge-hit belakangan ini. Tapi jangan menipu diri sendiri. Karena sesungguhnya seburuk-buruknya kebohongan adalah berbohong pada diri sendiri. Jangan benci bilang cinta, karena itu menyakitkan. Dan data-data tadi menunjukkan kalau itu memang sakit. Hiks.