Biarkan Om Telolet Bergema

Biarkan Om Telolet Bergema

Biarkan om Tolelot om bergema min
Biarkan om Tolelot om bergema min

Om itu berasal dari bahasa bali kuno yang berarti tuhan. Telolet adalah bahasa Swahili yang berarti Yahweh. Om Telolet om maka kalian sedang menyebut Yahweh tuhan orang yahudi.

Belakangan ini, membuka media sosial serasa refreshing. Setelah sekian lama berita-berita hoax bergentayangan. Status maupun komentar kali ini terasa sangat berbeda. Semua karena Om Telolet Om yang semoga saja bukan ulah Buzzer bayaran.

Jika biasanya setiap komentar dan perang kata-kata yang mewarnai persilatan dunia maya (dumay) itu terkesan dangkal, intimidatif, subjektif, dan tidak jarang bersungut-sungut, kali ini berubah 360 derjat. Banyak netizen mendadak humoris dan cenderung menghargai setiap pendapat yang di-posting oleh empunya akun.

Pada saat awan hoax menyelimuti dumay, butuh proses bertapa dan puasa hanya untuk menuliskan status atau komentar. Bagaimana tidak, sekali salah ucap, kejamnya penghakiman netizen siap mengganyang. Tapi sekarang, cukup tuliskan “Om Telolet Om”, dan semua akan tertawa senang. Walaupun komentarnya jadi seragam dan terkesan lucu tapi ini adalah suatu kemajuan bagi kebebasan berpendapat. Setidaknya bisa komentar lah.

Namun ditengah situasi media sosial yang sangat kondusif itu ternyata masih ada saja netizen yang saking kreatifnya, senang berpikir out of the box melawan arus mainstream. Mereka tidak mau mengamini kecerian bocah-bocah yang gemar meminta sopir bus membunyikan klaksonnya. Mereka menafikkan muasal tren ini.

Para ahli bahasa dadakan itu tiba-tiba menghancurkan kondisi damai dan sentosa ini. Mereka ramai-ramai berteori bahwa kalimat pendamai itu berpotensi merusak akidah. Terutama bagi mayoritas muslim tentunya.

Berikut kutipan status yang saya maksud itu :

Om itu berasal dari bahasa bali kuno yang berarti tuhan. Telolet adalah bahasa Swahili yang berarti Yahweh. Om Telolet om maka kalian sedang menyebut Yahweh tuhan orang yahudi.”

Dan tidak lupa statement pamungkasnya :

“Sebarkan pesan ini. Jangan berhenti di kamu. Kalian sedang di Yahudinesia

Pernyataan itu cukup membuat terpingkal orang-orang yang waras. Karena semua orang yang memanggil pria lebih tua dengan sebutan “Om” berarti merusak akidah. Dan apa salahnya jikapun memang niatnya menyebut nama tuhan yang berasal dari agama lainpun? Ahh… maha benar netizen dengan segala statement-nya.

Sejauh ini mungkin Telolet Effect telah berhasil mengkondusifkan dan mendamaikan situasi di zona perang media sosial. Bahkan fenomena ini sempat membuat beberapa selebritis kelas dunia bertanya-tanya bahkan ikut-ikutan latah menuliskan “Om Telolet Om” di tweet mereka. Tidak mau kalah, menteri perhubungan pun angkat bicara. Menurutnya, klakson telolet berpotensi membahayakan masyarakat. Dan beliau menghimbau kepada perusahaan operator bus agar jangan membuat pertunjukan yang membahayakan masyarakat. Hmm… masih peduli rupanya tentang bahaya yang mengancam nyawa masyarakat.

Ini bukti kuatnya Telolet Effect. Membuat “Om Menteri” menghimbau saat dirinya hampir tidak pernah mengeluarkan himbauan serupa mengenai kolam ikan dadakan yang terbentuk secara ajaib di tengah jalan ketika musim hujan. Semoga saja ini hanya bentuk Kelatahan Om Menteri semata.

Telolet Effect ini unik. Karena Telolet dengan kemunculannya yang tiba-tiba, berhasil mengubah cara pandang netizen terhadap endapat orang lain di media sosial. Namun jika ternyata munculnya fenomena ini diawali sebagai hiburan alternatif bocah-bocah miskin perkotaan yang kehilangan tempat bermain karena disapu kuatnya arus pembangunan, itu sungguh miris.

Bukan tanpa alasan. Pada hari ini, jumlah ruang terbuka hijau atau lapangan yang tersedia sebagai tempat bermain dan berekspresi para bocah di kota-kota besar sudah sangat berkurang. Generasi 90-an bisa dibilang sebagai generasi terakhir yang merasakan lumpur di sela-sela jari kaki saat bermain bola di lapangan. Saat itu tidak perlu rumput sintetis, sepatu, bahkan sewa lapangan hanya untuk bermain bola.

Tanah lapang sudah berganti rupa menjadi deretan ruko dan gedung-gedung, sisanya kompleks perumahan. Sungai yang dulu penuh dengan tawa riang dibumbui sedikit isakan tangis sudah tercemar dialiri pipa-pipa pembuangan limbah pabrik. Seiring bertambahnya waktu, harga sebuah kebahagiaan bertambah mahal.

Dan wajar saja rasanya jika hari ini para bocah mulai sedikit berinovasi dan berkembang dalam hal mencari kebahagiaan.Contohnya seperti menjadikan klakson sebagai hiburan pengusir rasa kesal karena hilangnya arena bermain. Oleh karena itu wahai Om Menteri atau siapapun yang peduli, pahamilah kegiatan ini sebagai suatu yang positif. Bukankah dengan menghabiskan waktu dijalanan dan berinteraksi dengan banyak orang itu adalah hal yang lebih baik ketimbang menghabiskan waktu berjam-jam bermain Game Online?

Tapi jika nantinya klakson Telolet memang dilarang pemakaiannya maka itu artinya para bocah harus bersiap sekali lagi menghadapi kehilangan. Oh… Sungguh generasi yang malang kalian ini dek. Tak ada yang peduli dan mau mengerti dengan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh sebuah aktivitas kalian hari ini. Sebab kebahagiaan bagai sebuah komoditi yang harus ditukar dengan uang. Begitu agaknya…

Editor: Mikail Gibran
Penulis
sdk-men-placeholder

Fauzi Faman

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel