Panas Dingin Kehidupan Jakarta

Panas Dingin Kehidupan Jakarta

Panasnya Jakarta sering membuat emosi jadi labil. Sumbu jadi lebih pendek, bikin diri mudah dibuat marah.

Tes…tes…

Bukan, itu bukan bunyi hujan yang kian sulit ditebak datangnya. Tapi itu bunyi tetesan es krim yang sedang kumakan di siang yang terik.

Memang saat ini suhu udara semakin panas dan pengap, kabarnya negara-negara di Asia menghadapi cuaca panas ekstrem. Tidak terbayang kalau tinggal di Thailand yang suhunya sempat mencapai 45 derajat celcius, aku di Jakarta saja sudah merasa seakan dalam sauna. Meski hujan masih sesekali turun, tapi tetap tidak mampu mengenyahkan rasa panas itu.

Udara yang panas ini sering membuat emosi jadi labil. Sumbu jadi lebih pendek, bikin diri mudah dibuat marah. Menurut penelitian, produksi hormon kortisol yang bisa menyebabkan stres meningkat saat suhu lebih tinggi.

Jadi wajar dong kalau marah-marah terus karena kepanasan?

Ya jangan juga keleus, emosi bisa dikendalikan dengan banyak minum air putih dan menghindari paparan sinar matahari kok. Meskipun harus diakui, aku juga masih berjuang untuk tetap adem di tengah pemanasan global ini sih.

Bicara tentang panas dan emosi, baru saja kita melewati bulan Ramadan dan memasuki hari yang fitri. Setelah menahan lapar, haus dan aneka perasaan negatif selama sebulan lamanya, akhirnya tiba juga saat yang ditunggu. Panas di hati pasti berganti menjadi kesejukan karena membayangkan silaturahmi dengan handai tolan.

Pulang ke kampung halaman juga serasa membawa kesegaran bagi warga yang selalu tergilas dengan hiruk pikuk ibu kota. Kehidupan yang serba cepat, selalu memikirkan persaingan dan pemandangan yang gersang memang bikin kita sukses merindukan alam yang tenang. Tidak heran bila video tentang suasana desa di media sosial banyak digemari, apalagi ditambah iringan musik gamelan yang nyesss di telinga.

Mudik membuat Jakarta menjadi lengang dan bisa dinikmati warga yang berdiam di rumah. Kapan lagi bisa lewat di jalan protokol dengan lancar jaya? Atau mungkin berkeliling jalan yang biasanya macet nggak jelas walau tidak banjir dan tidak ada lampu merah, tapi saat Lebaran bikin takjub lancarnya.

Kalau seperti ini terus keadaannya, walaupun panas terik, bisa jadi kita sebagai warga Jakarta lebih adem ayem hidupnya. Sebab siapa yang bisa menyangkal, kepadatan penduduk dan kendaraan pribadi yang tumpah di jalanan setiap hari, itu juga menjadi salah satu pemicu ledakan emosi?

Transportasi publik juga seringkali tersendat karena gilanya kemacetan, membuat dahi para pekerja mengkerut setiap kali jam pulang kantor.

Hati yang sudah menjadi sejuk ini akan menghangat kembali setelah masa lebaran selesai. Tentunya perantau berbondong-bondong kembali ke ibu kota untuk melanjutkan kehidupan. Bagi mereka, masa menyejukkan pun telah selesai dan tiba waktunya kembali mengumpulkan rejeki.

Seperti masa-masa yang lalu, akan ada para perantau baru yang mengadu nasib ke Jakarta. Mungkin meniru teman atau saudaranya yang sudah lebih dulu sukses. Terlepas dari bagaimana ukuran kesuksesan itu menurut diri masing-masing.

Aku berpikir, apakah sebenarnya perantau maupun warga yang tidak mudik sama-sama mulai merasakan ketegangan selepas lebaran? Semua tegang karena sama-sama harus meninggalkan kenyamanan dan merasakan lagi kerasnya hidup di Jakarta.

Dibekali kenangan manis tentang kampung halaman dan harapan yang membuncah, tentu para perantau yang kembali atau masih newbie di Jakarta akan merasakan semangat positif ketika mulai berjuang lagi. Warga di Jakarta yang baru lepas dari kemacetan umumnya juga masih terbawa kegembiraan sehingga jadi lebih sabar dan optimis di tengah kembalinya keramaian Jakarta.

Ditambah dengan sikap ramah dan guyub yang konon dikenal luas sebagai ciri khas orang Indonesia, tidak sulit untuk merasakan suasana yang menyenangkan. Seperti penggalan lirik lagu kondang dari Koes Plus, ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan terjadi. Apa pun yang terjadi, sulit melepaskan hati dari kota Jakarta ini, setidaknya itu yang kurasakan.

Kalau nanti Jakarta sudah tidak jadi ibu kota lagi, apakah kehiruk pikukan ini akan berkurang? Akankah aku kangen dengan keramaiannya nanti jika sudah tidak ada lagi? Atau justru malah semakin betah di Jakarta karena mungkin rasanya lebih harmonis, apalagi jika polusi juga berkurang.

Aku pun seringkali mendambakan nikmatnya hidup ala video suasana desa, lengkap dengan udara sejuk dan pemandangan asri. Tapi entahlah, untuk saat ini kunikmati saja dulu lika-liku hidup di Jakarta. Panas dan dingin Jakarta, semua punya kesannya masing-masing.

Es krimku sudah habis, kebanyakan meleleh gara-gara merenung. Tetiba ada angin dingin dan titik air hujan yang tahu-tahu menderas. Lega karena cuaca sejuk tapi sedikit khawatir kebanjiran.

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis

Lydia Kristiani

Suka nulis dan jalan-jalan keliling Indonesia biar nggak stres
Opini Terkait
FOMO Isu Politik itu Baik, Tapi…
Kalimantan Tidak Melulu Tentang Kuyang!
Membela Gagasan Sistem Zonasi
Problematika Penghilangan Sistem Ranking dalam Agenda PPDB

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel