Daripada Xenophobia, yang Dialami Jisoo Lebih Mendekati Glottophobia

Daripada Xenophobia, yang Dialami Jisoo Lebih Mendekati Glottophobia

Disclaimer: xenophobia dan glottophobia ini nggak kayak fobia laba-laba atau trypophobia. Ini lebih menakutkan dan mematikan!

Tagar #ProtectJisoo dan #XenophobiaIsNotAJoke sempat trending di Twitter. Tagar ini muncul diduga karena adanya cuitan yang menggunakan meme ‘nggak bisa bahasa Enggres’ untuk guyon tentang fakta bahwa Jisoo kurang fasih ngomong bahasa Inggris di antara anggota Blackpink lainnya. Selain itu, tagar ini mungkin menjadi puncak kekesalan fans Jisoo karena orang-orang terus berandai-andai mengenai kemampuannya speaking english.

Menurut saya, label xenophobia kurang cocok untuk disematkan pada kasus Jisoo. Definisi xenophobia menurut MerriamWebster adalah:

Fear and hatred of strangers or foreigners or everything that is strange or foreign

Memang kalau kita lihat definisinya, seakan-akan orang-orang yang terganggu dengan kurangnya skill bahasa Inggris Jisoo ngga suka dengan hal-hal yang berbau asing. Dalam kasus ini adalah bahasa Korea. Tapi, seperti fenomena sosial lainnya, kita nggak bisa cuma mengandalkan kamus, karena ada kompleksitas dan makna yang lebih mendalam di balik istilah-istilah seperti rasisme dan xenophobia. Lebih tepatnya, yang terjadi kepada Jisoo adalah glottophobia atau diskriminasi linguistik.

Disclaimer: xenophobia dan glottophobia ini nggak kayak fobia laba-laba atau trypophobia. Ini lebih menakutkan dan mematikan!

Xenophobia Itu Mengasingkan Sodara Sebangsa

Xenophobia adalah hal yang buruk dan berbahaya. Sebahaya apa, sih? Kalau kita cuma nyomot definisi dari Merriam-Webster, ketakutan akan serangga seperti kecoa atau tamu tak diundang atau malah Cthulhu bisa disebut xenophobia juga, dong?

Konsep xenophobia itu terikat erat dengan konsep negara dan kewarganegaraan. Kita hidup di bawah naungan dan di atas tanah negara kita yang berarti sepaket dengan tradisi, budaya, dan pembeda antara yang “pribumi” dengan yang “asing”. Di negara inilah kita menumbuhkan identitas dan kebanggan nasional kita. Pada saat bertemu dengan pihak yang kita anggap asing, entah kelihatan dari bahasa, fisik, maupun atribut lainnya, kita biasanya otomatis merasa waswas dan takut bahwa tanah air dan segala milik kita bakal direbut oleh orang-orang tersebut.

Xenophobia tentu berhubungan dengan rasisme dan diskriminasi bahasa tapi juga sedikit berbeda. Menurut Sundstorm dan Kim, yang membedakan rasisme dengan xenophobia adalah adanya civic ostracism atau pengasingan dari bagian suatu negara dan bangsa. Hal ini terjadi pada saat Nazi menghapus hak-hak kaum Yahudi atau pada saat AS nggak memberikan hak pilih dan memanusiakan orang berkulit hitam sebelum tahun 1950-an. Kalau rasisme adalah pengasingan atau pengkerdilan berdasarkan etnis dan ras, xenophobia adalah pengasingan seseorang dari rasa memiliki dan solidaritas sebagai warga negara dalam suatu negara. 

Civic ostracism nggak mesti berbentuk pengusiran, pencabutan kewarganegaraan, atau situasi seperti yang dialami refugee. Tapi bisa jadi dalam bentuk yang lebih halus. Contoh, seorang Kongo yang minta tolong sehabis dianiaya mendapat respons: “Kamu ngga ngomong pake bahasa Zulu, kita ngga bisa nolong”. Waktu diantar ke pos polisi, si polisi bilang “Kamu bukan sodara kami dan kami ngga bisa bantu”. Anekdot ini menunjukkan bahwa orang-orang xenophobic menganggap orang asing ngga berhak mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sama dengan “pribumi”, seakan-akan berkata “You don’t belong here”. Xenophobia adalah tentang inklusi dan eksklusi kepada negara dan bangsa tertentu.

Orang yang xenophobic bisa mengeluarkan ide dan tindakan rasis, tapi orang yang rasis belum tentu xenophobic. Hal ini seperti yang terjadi di Bali dengan kasus Kristen Gray. Orang-orang Indonesia nggak membenci Kristen karena kulitnya, tapi karena ketakutan atau kebencian bahwa dia mengakumulasi pendapatan di atas penderitaan warga lokal. Kristen Gray yang merupakan seorang outsider nggak berhak dapat pelayanan dan perlakuan yang sama dengan para penduduk Bali.

Orang yang rasis bisa mengubahnya menjadi prejudice, diskriminasi, dan juga aksi-aksi kekerasan lainnya, tapi belum tentu ada hasrat untuk nggak menganggap mereka sebagai bagian dari negara yang sama. Rasisme itu lebih luas dan menaungi xenophobia. Contoh lagi, warga negara AS kalau melihat orang-orang Asia-Amerika atau Latin bisa menganggap mereka bukan warga negara AS yang seringkali disuruh balik ke negara nenek moyangnya, tapi kalau dengan warga berkulit hitam, kasusnya adalah lebih ke rasisme tapi tetap dianggap sebagai sesama warga negara AS.

Glottophobia Diskriminasi Berdasarkan Bahasa

Pernah nggak kamu ngeluarin unek-unek di sosmed atau secara langsung pake bahasa Inggris terus tiba-tiba ada yang nyeletuk “ah, keminggris”? Atau pernah nggak kamu merantau dari daerah ke ibukota terus aksenmu dibilang “medok banget sih, lu!”. Bagi beberapa orang mungkin itu hal biasa, tapi ini bukan masalah biasa atau nggak, ini masalah yang dinamakan glottophobia.

Glottophobia atau linguicism atau diskriminasi linguistik itu didefinisikan sebagai:

Ideologies, structure, and practices which are used to legitimate, effectuate, regulate, and reproduce an unequal division of power and resources (both material and immaterial) between groups which are defined on the basis of language.

Pendeknya, diskriminasi linguistik terjadi pada saat adanya perlakuan nggak adil yang disebabkan oleh bahasa si penutur. Ibu saya – yang lahir di Jawa Timur – cerita kalau waktu SD dulu beliau pindah dari Irian ke Jawa Timur. Karena waktu kecil biasa di Irian, ya logatnya jelas ngikut. Beliau dulu sempat nggak mau ngomong beberapa hari di sekolah karena diledekin teman-temannya yang berbahasa Indonesia dan Jawa sesuai dengan kebiasaan setempat. Walaupun ibu saya orang Jawa, hanya karena bahasa menjadi terasingkan.

Walaupun begitu, diskriminasi linguistik ini juga bisa berkontribusi terhadap dan berhubungan dengan rasisme, ketimpangan kelas, seksisme, etnisisme, dan lain-lain. Contoh, orang-orang AS dengan aksen bagian selatan akan dicap sebagai orang yang kurang pintar dan open-minded sedangkan bagian utara dianggap orang berpendidikan dan lebih terbuka.

Diskriminasi linguistik datang dalam dua bentuk, yaitu (1) diskriminasi dikarenakan bahasa penutur nggak sesuai ‘standar’ dan (2) diskriminasi karena ada orang yang ngga bisa bahasa tertentu. Contoh dalam kasus pertama biasanya terjadi antara ibukota vs kota pinggiran atau pada saat orang nulis pakai bahasa Indonesia tapi nggak sesuai PUEBI. Contoh dari kasus kedua dialami oleh Jisoo, yaitu mengalami diskriminasi relatif dengan anggota Blackpink lainnya yang pada bisa ngomong bahasa Inggris.

Istilah ‘xenophobia’ menurut saya lebih tepat untuk disematkan kepada beberapa artis Korea berdarah campuran yang mendapati sebutan atau komen rasis dan xenophobic seperti Shannon atau Somi I.O.I. Selama ini, Jisoo sebagai orang Korea asli beruntungnya belum pernah mengalami hal itu. Bahkan, kebanyakan orang-orang yang nyerocos tentang skill Inggris Jisoo adalah pendengar atau yang baru mau mendalami genre K-Pop. Tapi aku setuju dengan BLINK kalau memaksa dan mem-bully seseorang karena masalah bahasa itu udah so last century. Padahal udah ada teknologi penerjemahan. Gara-gara sekumpulan english speaker yang manja jadi rusak susu sebelangga.

Editor: Fajar Dwi Ariffandhi
Penulis
Muhamad Anugrah Pratama

Muhamad Anugrah Pratama

Bakul mie yang pengen kiri tapi ndak kuat hati.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel