Drama Pencarian Osama bin Laden dan Vaksin

Drama Pencarian Osama bin Laden dan Vaksin

Osama bin Laden
Opini vaksin dan osama bin laden min min

Kalau hanya vaksin saja yang anda tolak, itu konyol. Sekali lagi, konyol.

Beberapa saat setelah berita terbunuhnya Osama bin Laden di Pakistan telah menyebar ke seluruh dunia, seorang komedian di atas panggung membawakan materi lawakan yang amat mengena. Begini kira-kira isinya: “Kita menghabiskan 10 tahun untuk mencari Bin Laden. Menjelajah 27 negara untuk mencari Bin Laden. Kita menghabiskan 2 Milliar US dolar untuk mencari Bin Laden. Lalu di mana kita menemukannya? Di rumahnya sendiri!”

Bagi yang mengikuti rekam jejak Osama bin Laden sejak ia memulai ‘karir’nya, pasti tak akan heran kenapa ia begitu pandai bersembunyi dari kejaran negara (yang katanya) paling digdaya di dunia, Amerika Serikat.

Ya jelaslah, wong Bin Laden itu pernah dilatih Amerika Serikat langsung dalam urusan meruntuhkan imperium Uni Soviet kok. Setelah Soviet runtuh, ke mana Bin Laden mengarahkan moncong senjatanya? Ke Amerika Serikat tentunya.

Banyak versi yang menjabarkan alasan kenapa akhirnya Bin Laden memusuhi Amerika Serikat. Menyebutkan satu per satu tak akan cukup di ruang tulisan ini. Selain itu, fokus tulisan lebih kepada tentang bagaimana kematian Bin Laden dan apa korelasinya dengan vaksin. Ah ralat, bukan tentang bagaimana ia mati, tapi bagaimana ia bisa ditemukan di Pakistan.

Abbotabat Pakistan dan Jejak Osama bin Laden

Dari sebuah kota di Pakistan, Abbottabat. Adalah Shakil Afridi, seorang dokter ahli bedah di Pakistan yang menemukan jejak Bin Laden. Ada yang mengatakan ia hanya membantu dengan cara memberikan informasi intelejen kepada CIA dan ada pula yang mengatakan bahwa ia sesungguhnya agen resmi CIA. Seperti biasa, dunia intelejen penuh ketidakjelasan.

Disengaja atau tidak, informasi-informasi banyak didistorsi entah oleh siapa, dengan tujuan untuk menyamarkan fakta yang sebenarnya. Tindakan Afridi menemukan Bin Laden membuat ia harus mendekam di penjara Pakistan atas tuduhan mengkhianati negara. Bulan Mei yang lalu, Pakistan membebaskan Afridi untuk nantinya diekstradisi ke Amerika Serikat.

Konon, Pakistan membebaskan Afridi dengan desakan Amerika Serikat. Semisal Pakistan tidak membebaskannya, Amerika Serikat mengancam akan menggunakan segala cara untuk merebut Afridi dan membawanya ke Amerika.

Lalu bagaimana cara Afridi menemukan Osama bin Laden? Melalui pencarian DNA yang disamarkan dengan kegiatan vaksinasi. Jauh sebelum kegiatan vaksinasi itu dilakukan, Amerika Serikat sudah memiliki sampel DNA keluarga Bin Laden yang didapat dari saudari perempuan Osama bin Laden yang meninggal di sebuah rumah sakit umum Massachussets, Amerika Serikat.

Selain itu, Amerika Serikat sendiri sudah memiliki dugaan tempat persembunyian Osama Bin Laden di kota Abbottabat, Pakistan, yang dilacak melalui pergerakan kurir pribadi Osama bin Laden yang berjuluk Al-Kuwaiti.

Dari mana Amerika Serikat tahu soal kurir ini? Dari seorang tahanan di Guantamo, bernama Khalid Sheikh Mohamed. Tentunya informasi itu didapat dengan cara interogasi.

Tempat persembunyian keluarga Osama bin Laden diawasi secara terus menerus melalui satelit, tapi Amerika Serikat belum berani menyerang rumah itu sebelum memperoleh kepastian bahwa Osama bin Laden benar-benar berada di rumah itu (lebih detailnya silakan menonton film ‘Zero Dark Thirty’).

Di sinilah peran Shakil Afridi dibutuhkan. Konon, Afridi yang bertugas memvaksin anak-anak di kota Abbottabat, memperoleh DNA Osama bin Laden dari salah satu anaknya. Saya kurang mengetahui pasti, apakah vaksin itu berbentuk suntikan atau bagaimana. Yang jelas, Afridi mendapatkan sampel DNA anak Osama Bin Laden dan memastikan alamat anak itu. Setelah itu, ia menyetor sampel itu ke CIA untuk kemudian dicocokkan dengan data mereka.

Kesimpulannya, vaksin digunakan CIA sebagai alat pelacak untuk memata-matai orang. Tak hanya kamera depan gawai anda dan tak melulu kamera laptop anda meskipun anda sedang tidak menyalakannya. CIA, dengan kecanggihan teknologi yang mereka miliki seringkali dituduh atas pelanggaran privasi.

Tongas Probolinggo

Di sebuah Puskesmas Kecamatan Tongas, seorang guru sekolah menengah pertama mengeluh kepada dokter yang menjabat sebagai Kepala Puskesmas. Di acara penyuluhan, di depan guru-guru sekolah lainnya dan juga perangkat desa sekecamatan Tongas, ia bercerita tentang beberapa murid yang menolak untuk divaksin karena alasan agama.

Penolakan beberapa murid itu semakin diperkuat oleh orang tua mereka yang meragukan kehalalan vaksin. Keraguan mereka timbul karena membaca banyak berita soal penolakan vaksin di dunia maya, entah dari situs berita atau media sosial.

Saya yang kebetulan hadir di acara itu, melihat sendiri bagaimana ekspresi dokter kepala puskesmas mendengar curhatan guru SMP itu. Seolah pening tiba-tiba menghantam kepalanya. Ia menjawab dan menjanjikan dirinya akan turun langsung ke sekolah untuk membujuk murid sekaligus orang tua murid.

Saya yakin, kasus penolakan guru di Tongas, Probolinggo itu bukanlah yang satu-satunya. Penolakan kepada vaksin pasti banyak di daerah lainnya.

Lalu apakah penolakan terhadap vaksin seperti si murid dan orang tuanya di Tongas itu sebuah tindakan yang salah? Tidak sepenuhnya. Mereka mungkin salah karena mempercayai begitu saja informasi yang ada di internet. Tapi di mata saya, mereka mungkin hanyalah korban propaganda anti vaksin. Lalu pertanyaan baru timbul di kepala saya, siapa yang di balik propaganda anti vaksin? Saya tak tahu.

Sebenarnya, gerakan dan isu anti vaksin bukanlah gerakan yang baru. Penolakan ini bahkan sudah muncul sejak 1853 di Inggris hingga mengakibatkan kerusuhan di Ipswich, Henley, dan Mitford. Dari tahun ke tahun sejak republik ini berdiri, selalu ada orang-orang yang menolak vaksin dengan berbagai alasan, dari alasan pribadi seperti malas serta menganggap vaksin tak berguna hingga alasan politis yang mengarah ke isu konspirasi.

Kasus ditemukannya Osama bin Laden melalui kegiatan intelejen yang disamarkan melalui kegiatan vaksinasi justru semakin menguatkan alasan konspirasi politis itu. Premis saya, ada korelasi antara ditemukannya Osama bin Laden dengan peningkatan tren penolakan vaksin.

Untuk menguatkan dugaan ini, saya pikir perlu ada penelitian tentang tren isu anti vaksin sejak tahun 2011 (tahun ketika Osama bin Laden ditemukan dan terbunuh). Apakah semakin meningkat atau stagnan atau mungkin menurun. Dan yang paling penting ialah siapa yang menggerakkan propaganda anti vaksin itu sejak 2011? Apakah musuh Amerika Serikat, pihak yang selama ini dilabeli teroris oleh negara adidaya itu ataukah pihak-pihak lainnya?

Sejujurnya, saya pribadi tidak bisa menerima alasan penolak vaksin yang berlandaskan alasan agama. Meragukan vaksin karena mengandung DNA babi itu adalah sebuah kekonyolan.

Penolak vaksin menolak babi hingga tingkat DNA, tapi bagaimana dengan alkohol yang jamak digunakan di dunia medis? Kenapa tidak ada isu penolakan terhadap antiseptik yang mengandung sedikit alkohol? Babi no, alkohol yes, begitu?

Ah teman kuliah saya banyak yang begini. Nolak makan babi, tapi kalau diajak mabuk mau. Sekali lagi, konyol.

Kemudian jika anda menolak vaksin karena belum dilabeli halal oleh MUI, maka saya ingin bertanya kepada anda, pernahkah anda menolak obat-obatan lainnya yang tidak ada label halalnya? Kalau hanya vaksin saja yang anda tolak, itu konyol. Sekali lagi, konyol.

Penulis

Ilham Vahlevi

Penikmat Masa Muda
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel