Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia

Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia

Dua Lagu Satu Cerita Tentang Hukuman Mati di Indonesia
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Penggalan liriknya, “Selamat Jalan Bagimu//Lepas Keluh Kesahmu//Kau Bajingan Tua Korban Jumawa Manusia,” menambah getir perasaan bahwa manusia dapat menjadi serigala pembunuh bagi manusia lainnya atas nama keadilan semu nan jumawa.

Tanggal 10 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia. Proses memorialisasi ini dilakukan pertama kali pada tahun 2003 sebagai sebuah kampanye global untuk menghapuskan praktek hukuman mati.

Pandangan modern tentang penghapusan hukuman mati merupakan sebuah diskursus yang menarik dengan menitikberatkan pada pandangan bahwa hukuman mati merupakan sebuah praktek pembunuhan secara legal yang dilakukan oleh negara sebagai pengejawantahan kuasa absolut negara dalam memelihara ketertiban umum.

Sementara itu, dalam beberapa studi ilmiah dijelaskan bahwa hukuman mati hanya memberikan ilusi efek jera karena ternyata tidak menurunkan tingkat kriminalitas dan malah dilakukan untuk menggambarkan politik kekuasaan absolut negara kepada masyarakatnya.

Keadilan Semu dalam Kisah Kusni Kasdut

Dalam konteks Indonesia, ketika berbicara perihal hukuman mati, satu nama terlintas dan menjadi sebuah legenda. Ignatius Waluyo atau Kusni Kasdut adalah sebuah nama yang familiar dalam sejarah kriminal di Indonesia, yang pada akhirnya dieksekusi mati pada tahun 1980 di Greges, Surabaya, Jawa Timur.

Sosok Kusni Kasdut dikenal luas oleh publik Indonesia sebagai seorang garong atau Bromocorah yang berulang kali melakukan tindakan pencurian.

Namun, sejumlah kronik sejarah juga mencatat sumbangsihnya sebagai pejuang revolusi kemerdekaan Indonesia dengan terlibat dalam perang dan melakukan penjarahan kepada kelompok kaya lalu membagikan hasilnya untuk perjuangan tentara revolusi Indonesia serta kepada masyarakat miskin.

Kontroversi tentang Kusni Kasdut kemudian mengilhami sejumlah musisi untuk mengabadikan namanya dalam memori publik.

Pada tahun 2015, band Sore mengeluarkan album ketiganya, Los Skut Leboys,yang menampilkan wajah Kusni Kasdut pada edisi reguler rilisan fisiknya.

Pemaknaan sampul gambar tersebut sampai saat ini masih belum begitu jelas. Akan tetapi, jika menilik dari makna album dan komposisi lagu yang tersaji di dalamnya, sekilas dapat ditemukan relevansi bahwa ilustrasi wajah Kusni Kasdut menggambarkan sebuah retorika kaum pria yang santai dan lepas.

Mundur lebih jauh pada awal tahun 1980, grup musik legendaris, God Bless, mengeluarkan album keduanya berjudul Cermin. Dalam album fenomenal tersebut, terselip sebuah lagu epik yang menceritakan perihal proses eksekusi mati Kusni Kasdut berjudul Selamat Pagi Indonesia.

Lagu ini sendiri menjadi salah satu hits dalam album dengan nuansa musik prog rock yang luar biasa kental serta lirik yang menggetarkan hati.

Lagu yang ditulis oleh Theodore KS Hutagalung bersama dengan Ian Antono tersebut memang menceritakan secara spesifik tentang peristiwa hukuman mati kepada Kusni yang juga dijuluki sebagai Robin Hood Indonesia itu.

Pada bagian refrain, pendengar diajak mengilustrasikan pengalaman Kusni yang bersiap menghadapi regu tembak sebelum meregang nyawa.

Langkahnya…//Berderap dan pandangannya menatap ke depan//Tegakkan…//Dadanya seakan dia menantang perang//Di bibirnya terlukis senyum//Yang yakin akan kebenaran//Matanya berbinar dalam keredupan//Mulutnya bergerak menyusun doa terakhir baginya//Yang meluncur menembus himpitan sepi//Kemanakah kucari//Kebenaran…//Kedamaian…//Kasih sayang…//Kemana…

Kebenaran tentang kisah hidup Kusni dan juga aksinya selama perang pembebasan dari kolonial Belanda tidak lantas membuat negara memberinya grasi atau pengampunan. Pada tahun 1979, Soeharto, presiden Republik Indonesia saat itu, menolak permohonan grasi Kusni Kasdut.

Selain God Bless, cerita tentang sosok Kusni Kasdut juga diabadikan oleh sebuah grup band asal Bandung bernama Inpres/I/V/80 (atau sering disebut Inpres). Meski band ini hanya mampu mengeluarkan satu buah album, namun album tersebut cukup berpengaruh dan kontroversial.

Pada bulan Mei 1980, atau beberapa bulan setelah eksekusi mati Kusni Kasdut pada 16 Februari 1980, album berjudul Eloi! Lama Sabachthani! (Tuhanku, Kenapa Engkau Meninggalkanku) beredar luas dan diproduksi oleh Musica Studio.

Tapi naas, album dari grup band yang digawangi oleh Cok Rampal ini direspon dengan represif oleh pemerintah. Album tersebut dibredel dan ditarik dari pasaran sehingga penyebarannya menjadi sangat terbatas.

Tema album yang mengangkat penuh liku hidup Kusni dan juga penamaan grup berdasarkan beleid negara, yakni Inpres (Instruksi Presiden), menjadi alasan sensor oleh pemerintah kala itu.

Satu lagu di dalamnya yang berjudul “Greges, Pagi Februari 1980” menggambarkan situasi eksekusi mati Kusni dengan sangat indah. Lagu dengan iringan musik folk yang judulnya mengacu pada lokasi dan waktu eksekusi tersebut merapalkan dengan sangat baik perasaan Kusni yang dicampakkan oleh negara setelah sumbangsihnya pada era revolusi melawan Belanda.

Penggalan liriknya, “Selamat Jalan Bagimu//Lepas Keluh Kesahmu//Kau Bajingan Tua Korban Jumawa Manusia,” menambah getir perasaan bahwa manusia dapat menjadi serigala pembunuh bagi manusia lainnya atas nama keadilan semu nan jumawa.

Refleksi Tentang Hukuman Mati

Pada tahun 2023, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) mengeluarkan sebuah laporan pada peringatan Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia. Di dalamnya disebutkan bahwa hukuman mati adalah sebuah mekanisme penghukuman era kolonial dan merupakan sebuah penghukuman yang populis atau dikenal dengan istilah Penal Populism.

Pada era modern, praktek hukuman mati sendiri sudah mulai ditinggalkan sebagai akibat dari besarnya anggaran yang dibutuhkan beserta fakta bahwa tidak pernah ada efek jera kepada tindak pidana yang terjadi.

Tercatat sampai tahun ini terdapat 112 negara yang telah menghapuskan praktek hukuman mati dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup. Sementara 55 negara masih mempertahankannya, termasuk Indonesia.

Menariknya, pada 2023, Indonesia memperbaharui aturan pidana melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang mengatur perihal waktu tunggu (komutasi) bagi terpidana mati selama 10 tahun dan mengubah hukuman mati menjadi hukuman alternatif akhir.

Dengan pemberlakuan aturan ini, hukuman mati dapat diminimalisir dan menggantikannya dengan hukuman seumur hidup. Di sini, pembinaan kepada narapidana dihadirkan sebagai upaya untuk membentuk manusia yang lebih baik.

Refleksi ini kemudian saya akhiri dengan merenungkan kembali bagaimana sifat-sifat buruk manusia yang perlahan mengalami perubahan menjadi lebih baik.

Seperti Kusni Kasdut yang pada akhirnya tersentuh oleh iman dan Tuhan (Kusni memeluk agama Katolik pada akhir hayatnya dan terlibat banyak proses kebaktian di tempat tahanan sebelum proses eksekusi) serta kemudian menjadi manusia seutuhnya yang dapat mengabarkan kebaikan dan cinta kasih kepada sesamanya setelah menjalani hukuman tanpa perlu “dibunuh” secara legal oleh negara.

Dari kisah Kusni Kasdut, serta mungkin banyak kasus-kasus lainnya di luar sana, kita dapat melihat bahwa hukuman mati hanya menghilangkan nyawa, tapi tidak dengan kejahatan.

Penulis

Dimas Bagus Arya Saputra

Bergelut dalam advokasi soal hak asasi manusia dan menggemari budaya populer
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel