Perasaan khawatir akan melewatkan hal-hal seru, heboh, menggemparkan—singkatnya, hal-hal yang sedang jadi pusat perhatian publik—umum saat ini kita kenal sebagai fear of missing out (FOMO).
Media sosial disebut-sebut menjadi salah satu pemicu utama fenomena ini. Mungkin kita sudah banyak menyaksikan fenomena FOMO pada berbagai bidang. Mulai dari musik, busana, kuliner, hingga politik.
Nah, yang terakhir ini akan saya coba ulas lebih lanjut, terlebih karena semakin maraknya isu-isu politik yang menyeruak belakangan ini.
Seperti yang kita tahu, jagat maya belakangan ramai dengan istilah FOMO politik—atau mungkin lebih tepatnya FOMO isu politik—menyusul seruan peringatan darurat di mana-mana.
Seruan itu bertujuan untuk menyuarakan protes atas praktik kotor politik elektoral oleh “tangan-tangan” rezim yang sedang berkuasa.
Dalam waktu relatif singkat, media sosial dipenuhi gambar garuda berlatar warna biru dengan teks ‘peringatan darurat’. Gambar ini segera menyebar disertai dengan berbagai caption yang menyertainya, yang intinya menjelaskan kenapa peringatan darurat itu muncul.
FOMO (Politik) Itu Tak Selamanya Negatif
Istilah FOMO isu politik lantas mengikuti kemunculan ‘peringatan darurat’. Ada yang menganggap orang-orang yang turut menyebarkan seruan itu hanya ikut-ikutan. Bahwa mereka sebenarnya tidak memahami seberapa darurat peringatan itu, tapi tetap meneruskannya hanya karena di mana-mana orang sedang membicarakannya.
Anggapan tersebut memang jelas terlihat sebagai sebuah upaya untuk melemahkan gerakan protes yang muncul. Upaya untuk membunuh karakter gerakan, memecah fokus protes, serta membuat publik mengalihkan perhatian dari substansi yang sedang diprotes.
Pasalnya, dalam konteks resistensi yang lahir beberapa waktu lalu, tidak ada alasan untuk mengatakan FOMO isu politik sebagai sesuatu yang buruk.
Baca Juga: Stoikisme dan Kecenderungan FOMO Filsafat
Sebagai respons terhadap anggapan “miring” yang mewarnai sebutan FOMO isu politik tadi, narasi tandingan pun bermunculan. Salah satunya yang menegaskan bahwa FOMO isu politik itu baik, dan saya menyepakati hal itu.
Sebab, bahkan dalam bidang-bidang lain pun sebenarnya FOMO tak melulu dimaknai negatif. Kecenderungan untuk mengulik trend justru berpotensi mendorong orang untuk meningkatkan kualitas diri.
Begitu juga FOMO pada isu-isu politik yang sebenarnya sangat baik adanya. Sebab, hal ini menandakan bahwa publik sebenarnya sudah mulai, atau bahkan semakin aware pada situasi politik.
Artinya, publik kian sadar bahwa politik, sedikit-banyak serta cepat atau lambat, sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup mereka.
FOMO Isu Politik dan Warna-Warni Perspektif
Sampai di sini, cukup jelas bahwa FOMO isu politik itu tentu saja baik. Berbagai nyinyiran terhadapnya adalah upaya untuk mengaburkan isu politik yang sedang jadi perhatian alias yang sedang di-FOMO-in itu.
Akan tetapi, kita kemudian tidak boleh berhenti pada debat baik-buruknya FOMO isu politik. Kedaruratan kemarin memang memaksa kita untuk memihak dengan cepat. Hanya ada hitam atau putih. Nyaris tak ada ruang untuk membicarakan warna-warni kompleksitas persoalan.
Meskipun FOMO isu politik itu baik, disadari atau tidak, hal ini juga bisa berdampak buruk bagi gerakan-gerakan kritis di kemudian hari.
Pasalnya, perspektif alternatif dalam menyikapi kedaruratan yang terjadi kemarin sekonyong-konyong bisa dipatahkan dan “disikat rata” sebagai tindakan yang kontra-revolusioner. Wadidaw!
Kekhawatiran ini bukan isapan jempol belaka. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang yang berpendapat berbeda bisa dengan mudah dicap pasif, minim empati, dan sok keren! Vonis seperti ini sendiri malah berbahaya kalau sampai membuat orang benar-benar menjadi antipati.
Baca Juga: Apalah Arti Sebuah Nama Aplikasi Pemerintah?
Maksudnya begini, saya mengasumsikan bahwa setiap dari kita punya cukup nalar kritis untuk membedakan mana “pendapat berbeda” yang bertendensi melemahkan gerakan dan mana yang tidak.
Nah, jika seseorang yang punya pendapat berbeda tanpa tendensi melemahkan gerakan turut dihakimi sebagai upaya melemahkan gerakan, maka besok-besok orang tersebut bakal malas bersuara atau mengkritisi lagi.
Hitam-putih sikap di masa genting nampaknya memang menjadi sebuah keniscayaan. Hanya ada dua pilihan: melawan penindasan atau menjadi bagian dari penindas. Tidak ada dalih lain seperti netral, pasif, dinamis, dan sebagainya.
Namun, dari mana kita bisa mengharapkan kemenangan di masa genting yang hitam-putih itu jika tidak dengan memastikan tetap terjaganya warna-warni perspektif dalam memahami kompleksitas persoalan yang ingin kita selesaikan.
Setelah Aksi
Beragam perspektif yang muncul di sela peringatan darurat kemarin memang sungguhlah perlu. Namun, kita memilih untuk tidak membicarakannya lebih jauh karena tidak mau kehilangan momentum serta kekuatan aksi spontan yang ada.
Sekarang, kita bersyukur karena aksi spontan kemarin berhasil menelanjangi rezim, menunjukkan boroknya pada publik, dan yang terpenting, membendung rezim mewujudkan akal bulusnya.
Kendati demikian, apakah kita akan terus mengandalkan aksi-aksi spontan? Bagi saya, yawabannya, ya! Sebab aksi spontan akan selalu relevan dan kita perlu terus memaksimalkannya untuk mencapai tujuan tiap-tiap gerakan kritis yang kita rawat.
Meskipun demikian, membicarakan lebih lanjut hal-hal yang terlewat di tengah aksi spontan itu pun juga perlu terus kita lakukan. Supaya aksi-aksi semacam ini di kemudian hari bukan sekadar pengulangan aksi spontan sebelumnya, melainkan menjadi aksi spontan yang sudah semakin mengakar dan tumbuh dari bermacam-macam perspektif.
Kini, setelah ‘kedaruratan demokrasi’ itu agaknya melunak dan kita punya ruang untuk membicarakan lebih lanjut perihal resistensi, apakah kita masih mau memberikan waktu dan energi untuk melakukannya? Apakah kesiagaan atas situasi dururat tersebut akan terus terjaga atau kita malah menjadi lengah saat semuanya terlihat baik-baik saja?