Untuk menuju sekolah dulu, Ibu saya menggunakan jasa mobil antar-jemput. Supirnya bernama Pak Heri. Biasanya ia menjemput jam enam pagi. Setelah semua terangkut, mobilnya dipacu melintasi trek lurus dari Karet hingga Pasar Rumput sebelum berbelok menuju kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Shaf tengah diisi oleh kakak kelas dan teman kami yang perempuan. Bersama tiga kawan lainnya, saya menempati kursi belakang secara berhadap-hadapan. Kami menempuh sekitar 45 menit perjalanan. Bukan Jakarta kalau tidak macet.
Di antara cuaca panas dan dengkul yang bertabrakan, membahas PR atau bersenda gurau adalah kebiasaan kami. Kalau tidak ya bengong. Momen itulah yang membuat trek lurus tadi menjadi rute favorit saya. Kebengongan saya diisi dengan menikmati berbagai bangunan tinggi. Lumayan, memanipulasi kesumpekan melihat kemacetan.
Bangunan favorit saya ialah Wisma 46, pencakar langit tertinggi pertama di Jakarta dan Indonesia. Konfigurasinya tampak seperti layar terkembang berbalut kaca biru, beton di kedua sisinya, dan mahkota metalik di atasnya. Teman saya, Wikipedia, mengatakankan kalau gedung Jakarta itu bercokol di kawasan Karet-Sudirman sejak reformasi belum tanak pada tahun 1995. Tingginya 261,9 meter dengan total 48 lantai.
Di poros Sudirman-Thamrin yang dijejali gedung Jakarta bertingkat, bangunan itulah yang paling menjulang sendiri. Rancang bangunnya ditangani oleh Zeidler Partnership dan DP Architects untuk bank nasional berpelat merah BNI. Kalau malam, bangunan ini menampilkan neon biru berlapis-lapis di bawah mahkota metaliknya.
Sekitar dua tahun lalu, pemandangan gedung tinggi pun bertambah dengan datangnya ‘pendatang baru’. Ia adalah bangunan pencakar langit yang diberi nama Gama Tower.
Terletak di distrik bisnis Kuningan, Jakarta Selatan, sekilas bangunan yang beroperasi sejak 2016 ini memadati lanskap ibukota dengan susunan kotak-kotak berbalut kaca satu arah. Namun, tingginya melampaui Wisma 46 yang selama 21 tahun menjadi gedung pencakar langit tertinggi di kawasan ini. Gama Tower memiliki tinggi hingga 288,6 meter. Selisih 20 meter lebih tinggi ketimbang bangunan favorit saya kala SMP dulu. Bahkan media pun meberitakan jika menara ini sebagai pemegang rekor baru bangunan tertinggi di Indonesia.
Gedung-Gedung di Jakarta dan Evolusi Jerapah
Meski tak setinggi Gama Tower, ada baiknya Jakarta belajar pada Jerapah. Mereka dianugerahi lidah, kaki, dan otomatis organ-organ yang lebih panjang dari mamalia manapun di muka bumi. Panjang lehernya sekitar 1,8 meter, konon setara dengan tinggi anak jerapah yang baru dilahirkan. Mereka menggemari dedaunan sebagai santapannya dan lebih banyak hidup liar di benua Afrika.
Tahun 2017, para ilmuwan sempat dibuat geger setelah fosil utuh moyang jerapah berhasil ditemukan tak jauh dari kota Madrid, Spanyol. Fosil itu dijuluki Decennatherium rex dengan tinggi badan yang berkisar antara 2 hingga 2,7 meter. Pakar perjerapahan sekaligus profesor anatomi dari New York Institute of Technology, Dr. Nikos Solounias menyebut moyang jerapah lebih mirip rusa.
Fakta itu memberikan titik terang adanya keterhubungan antara jerapah dan pembangunan di Jakarta. Hal ini dapat diuraikan lewat pendekatan ‘Gathukisme’ kritis a la kawan saya, mas Moddie Alvianto. Bahwasannya, moyang jerapah amat visioner dan tidak pernah ngoyo memiliki tubuh ideal seperti anak-cucunya sekarang. Di samping menjalani kehidupan sehari-hari, mereka hanya konsisten akan dua hal: bercita-cita dan memupuk harapan.
Mengunyah-ngunyah daun dari pohon adalah harapan besar sang moyang pada anak-cucunya. Fakta lain yang mendukung teori ini adalah jerapah punya waktu tidur sedikit, sekira 2 jam saja. Ya, pepatah “semakin tinggi pohon semakin kuat angin yang menerpanya” bisa menjelaskan situasi ini.
Mereka lebih banyak terjaga untuk menghindari serangan pemangsa nokturnal selain untuk terus berlatih karena cita-cita memang “setinggi langit.” Bahkan, setelah mengurangi jatah tidur dan dapat berlari hingga 50 kilometer per jam, mereka sering kecolongan diterkam kucing lapar Afrika.
Nah, berbagai bangunan yang telah dan akan menyundul langit Jakarta saat ini memang masih tergolong kerdil. Akan tetapi, tensi pembangunan gedung Jakarta pencakar langit, bisa menyejajarkan kota ini dengan Dubai, Moskow, Kuala Lumpur, Beijing, Shanghai, atau New York sekalipun. Kenyataan ini patut diberi dua jempol mengingat keterpurukan akibat krisis pernah melanda negeri ini dua dekade silam.
Meski begitu, kota dengan bangunan tinggi bukan berarti tanpa akibat. Masifnya pembangunan pencakar langit membuat London dan New York kerap menerima protes dari warganya. Angin kencang yang berhembus di celah bangunan-bangunan tinggi seringkali mengganggu aktivitas warga. Selain itu, berkurangnya intensitas cahaya matahari ke rumah-rumah warga karena tertutup badan bangunan tinggi menyebabkan mereka kesulitan kopi dan senja-senja tai anjing.
Sudah siapkah Jakarta menghadapi dampak tersebut? Sudah semesetinya pembangunan di negeri ini harus mempertimbangkan banyak hal seperti ketersediaan air tanah, ruang terbuka hijau, atau daerah resapan air. Itu pun belum termasuk dampak sosial macam kesenjangan sosial maupun dampak dari bencana alam. Mengingat jalur lempeng benua melintasi banyak pulau di Indonesia dan siap menggoyang bumi kapan saja. Indonesia, wabil khusus Jakarta, memang tak perlu banyak bercita-cita dan memupuk harapan. Kerjasama jauh lebih diperlukan. Sebab, bagaimana jerapah mencapai bentuk idealnya sekarang harus menempuh proses ribuan tahun evolusi. Setidaknya, evolusi jerapah lebih baik ketimbang evolusi T-Rex yang kini justru menjadi ayam.