Pekan lalu, Pak Joko dan bininya, Bu Riana, menjadi viral berkat kunjungan mereka ke rumah CEO Facebook, Mas Mark Zuckerberg di Silicon Valley, San Fransisco, Amerika Serikat. Kunjungan itu, katanya, dilakukan untuk kemajuan teknologi informasi di Indonesia. Pak Joko yang banyak dicap ‘ndeso’ oleh ketidaksengajaan orang-orang sinis se-Indonesia, justru lebih beruntung karena bisa bertemu langsung dengan Si Bos Besar Dunia Maya.
Seperti anak dengan usia alay memasuki remaja di Indonesia pada umumnya, Mas Mark Zuckerberg langsung update status setelah bertemu dengan Pak Joko. Ia mengapresiasi kunjungan Pak Joko ke kantor Facebook dengan menuliskan rasa bangga atas obrolan hangat mereka tentang perluasan jaringan. Dalam sekejap netizen dari belahan dunia berkomentar di status Mas Mark Zuckerberg. Hampir semua (baca: yang terlihat) akun dengan nama kebarat-baratan memuji Pak Joko dan juga Mas Mark Zuckerberg.
Fantastico De Lavonte Le Ansioto! (pliss, jangan cari tahu artinya di google translate). Orang-orang di belahan dunia sibuk berkomentar positif di status Mas Mark Zuckerberg. Pembaca dari Indonesia dengan nasionalisme tinggi pasti merinding bangga membaca setiap-setiap komentar dari orang-orang di status tersebut. Meski dengan kekayaan Mas Mark Zuckerberg atau Pak Joko menyewa buzzer untuk meningkatkan rating itu hal yang mudah, tapi saya yakin kalau itu tidak akan dilakukan oleh mereka berdua.
Secepat rasa bangga muncul, secepat itu juga ketek saya merasa ‘tertampar” oleh kabar dari Indonesia tentang pertemuan Pak Joko dan Mas Mark. Seorang wanita pengusaha cokelat, berkacamata, yang berasal dari jauh di dalam lubuk hatiku (-eaaa) bercerita tentang apa yang ia dapat dari hasil berselancar di dunia maya. Dari sekian banyak komentar positif orang asing di status Mas Mark, ada komentar orang Indonesia yang ‘lucu’. Salah satunya, komentar sinis untuk Mas Mark yang cuma pakai kaos oblong saat bertemu dengan Pak Joko.
So What? Lu kira Mas Mark harus pake blangkon kalau mau ketemu Pak Joko?
Penasaran, langsung malamnya saya kepo akunnya Mas Mark. Sayangnya, saya tidak menemukan satu komentar tentang kaos oblong itu. Malas juga cari satu di antara 8.000 komen dan ribuan sub-komen lainnya. Sama saja saya mencari kecoa di tumpukan curut.
Menujulah saya ke cara paling ampuh untuk membuktikannya, googling! Yang saya dapati bahkan lebih wah. Bukan netizen yang berkomentar soal kaos oblong Mas Mark. “Nyinyiran” soal kaos oblong Mas Mr Mark justru keluar dari mulut wakil rakyat, ia adalah wakil ketua DPR RI Agus Hermanto. Kasihan, setelah berita keluar dia langsung dapat kritikan dari para netizen.
Mau tidak mau, batin saya membujuk saya untuk bersimpati dengan Pak Agus. Saya jadi mencoba berpikir jernih. Aha! Saya tahu kenapa Pak Agus sampai bilang begitu: dia menjunjung tinggi budaya Indonesia!
Indonesia menjadikan pakaian jadi indikator kesopanan. Tak perlu jauh-jauh melihat sindiran terhadap Mas Mark, di kampus saya saja pakai kaos tanpa kerah atau sandal jepit bisa berisiko ditolak bimbingan skripsi. Wartawan yang mau liputan di sebuah acara resmi, tidak boleh pakai sandal. Mau liputan Jokowi? Tambah harus pakai batik dan rambut dipomade. Mau wisuda harus pakai kebaya dan pakaian resmi. Seragam sekolah harus berdasi dan bajunya dimasukin ke celana. Ke mall, harus pakai baju mentereng biar kelihatan kece. Masuk ke organisasi kampus “itu”, harus pakai celana kain dengan panjang sepertiga dari sepertiga panjang kakinya. Pak Agus adalah orang-orang yang mewakili ini. Jadi, tidak pantas ia dikritik oleh netizen, kasihan.
Di mata Pak Agus, mungkin Mas Mark adalah orang yang sangat-amat-tidak-sopan-sekali, soalnya dia pakai kaos abu-abu itu tidak hanya saat bertemu dengan orang penting sekelas Pak Joko saja. Semua pertemuan penting dengan bos-bos dunia yang lain, Mas Mark lalui bersama kaos oblong kesayangannya.
Pak Agus juga menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Pernyataan soal kaos oblong itu mewakili aspirasi dari masyarakat desa yang tak mengenal Facebook. Bagi masyarakat desa, seorang Mas Mark Zuckenberg hanyalah bule biasa, yang punya kulit putih, rambut pirang dan postur tubuh tinggi.
Mereka tidak peduli, siapa itu Mas Mark. Mau dia pendiri Facebook, wisatawan asing, ataupun pemburu gadis desa sekalipun, komentar yang keluar dari mulut mereka paling cuma “Mau Pak Joko ketemu bule, harga beras tetap mahal”. Sebanyak apa masyarakat desa yang peduli dengan pertemuan presiden dengan pendiri Facebook? Mereka lebih memilih garap sawah dibandingkan harus mengomentari status Mas Mark di portal yang ia buat sendiri.
Karena tak ada suatu yang spesial itulah, ketika orang desa tahu Mas Mark hanya memakai kaos oblong saat bertemu Pak Joko, mereka akan menilai kalau Mas Mark itu tidak sopan. Jokowi kedudukannya sekarang sudah seperti “raja” di negara Indonesia, bertemu dengannya adalah salah satu bentuk kehormatan bagi mereka.
Untungnya bagi orang desa, media sosial semacam Facebook dan informasi yang tak bersinggungan dengan sembako atau harga BBM, bukan kebutuhan primer. Sepanjang saya kerja bakti sama Choirul dan Bli tiga hari setelah pertemuan Jokowi dan Mas Mark di desa tepat kami ngontrak, tak terlihat atau terdengar satu kali saja ada warga yang memegang gadget mereka dan update status “lagi kerja bakti nich”. Apalagi, sampai membicarakan pertemuan Pak Joko dengan Mas Mark. Mereka lebih memilih untuk bercengkerama sambil makan nasi jagung tambah pecel dan dua bakwan. Kelompok orang seperti inilah yang aspirasinya ditampung oleh Pak Agus.
Jadi, janganlah netizen berlagak sok bijak dengan mekritik Pak Agus yang tidak-tidak. Pak Agus cuma ingin kalian-kalian wahai sekalian anak muda, menjunjung tinggi nilai dari “buyut dari buyutnya” kalian yang juga orang desa. Yakinilah, bahwa nada sinis itu ia lontarkan bukan karena Pak Agus baper sama partai moncong putih.
Itu cuma kebetulan, Pak Agus berasal dari Partai Cikeas, di mana ketua umumnya tidak seberuntung Pak Joko. Di kala ketua umum partainya Pak Agus masih pencitraan dengan menjadi pengguna setia Facebook dan Twitter, pencitraan Pak Joko langsung menemui sang pemilik dua Medsos itu.