Awal Maret 2024, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menggelar seleksi akademik (pretest) Pendidikan Profesi Guru (PPG) Kementerian Agama. Seleksi ini dilakukan secara daring berbasis domisili dengan mengikuti standarisasi Uji Pengetahuan (UP) PPG.
Mengacu pada data dari GTK Madrasah dan Plt. Direktur Pendidikan Agama Islam, jumlah kumulatif yang ikut tes diperkirakan mencapai 76.037 peserta. Sebetulnya, kalau tidak ada penetapan limit kuota jumlah peserta tes mungkin bisa lebih banyak lagi.
Sangat logis bila animo peserta membludak mengingat begitu pentingnya sertifikasi pendidikan. Namun demikian, kebahagiaan ini sepertinya hanya dirasakan oleh separuh guru, yakni yang tercatat di dalam Data Pokok Pendidik (Dapodik) atau Sistem Informasi Pendidik dan Tenaga Kependididkan (Simpatika).
Yang dapat mengikuti seleksi akademik ini sendiri hanyalah guru yang berstatus aktif mengajar di sistem pangkalan pendidikan.
Sementara bagi fresh graduate, atau mahasiswa calon guru yang telah wisuda, tidak dimungkinkan karena belum terdaftar secara legal formal.
Fresh graduate yang dimaksud di sini ialah mahasiswa Perguruan Tinggi lulusan Keagamaan; Pendidikan Agama Islam, Bahasa Arab, atau sejenisnya. Intinya program studi yang menginduk langsung ke Kementerian Agama.
Sedangkan fresh graduate non-Kemenag, seperti program studi yang berafiliasi ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tidak termasuk karena terakomodir program PPG Prajabatan Kemendikbudristek.
Hingga kini, PPG Prajabatan Kemendikbudristek telah berjalan 5 gelombang; 2 gelombang tahun 2022, 2 gelombang tahun 2023, dan gelombang 1 di awal tahun 2024.
Penyelenggaraan ini tidak akan berakhir dan pasti terus bergelombang karena komitmennya mencetak generasi guru yang unggul dan profesional.
Modal kuliah keguruan belum jadi jaminan untuk membentuk output berparadigmatik kependidikan dan profesionalisme karena harus ditunjang inkubator keprofesian.
Program PPG Prajabatan yang dicetuskan Kemendikbudristek merupakan suatu cahaya solutif. Sebab, jika dicermati, dunia pendidikan hari ini dihadapkan pada situasi kerunyaman.
Sekolah-sekolah negeri di bawah naungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah dilampu merah, tidak boleh merekrut pegawai (guru) honorer. Pelarangan tersebut didasarkan atas amanat yang termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.
Tentu, ini memunculkan tanda tanya besar. Kenapa sikap Kemenag berbanding terbalik dan seolah apatis? Apakah karena belum adanya regulasi yang jelas ihwal PPG Prajabatan?
Padahal, petunjuk teknis tentang pelaksanaan PPG Prajabatan Kemenag untuk tahun 2023 sudah keluar pada akhir tahun 2022. Namun, sampai saat ini hilal realisasi belum tampak.
Kekhawatiranpun muncul. Kekhawatiran akan penyelenggaraan di tahun ini yang tetap nihil aksi. Sehingga, Kemanag harus segera berbenah menginstruksikan Direktorat terkait untuk menggodok PPG Prajabatan.
Baca Juga: Salah Kaprah Nasionalisme dalam Pendidikan
PPG Prajabatan Semakin Urgen
Jalan terjal masih dirasakan dunia pendidikan. Banyak produk hukum dilahirkan alih-alih mendorong keberpihakan justru menyemai diskriminasi sepihak. Salah satu korbannya ialah para fresh graduate.
Akses mereka tertahan dan terhambat dalam meniti karir sebagai guru. Mendaftar ASN (PPPK) tidak bisa karena mensyaratkan harus masuk sistem pangkalan Dapodik/Simpatika, atau memiliki sertifikat PPG.
Melamar di Sekolah/Madrasah Negeri juga menemui kebuntuan karena telah dilampu merah. Pertanyaannya kemudian, apakah mereka diarahkan hanya untuk mengabdi di sekolah swasta? Padahal jelas, perbandingan perlakuan prioritas guru di negeri dan swasta itu sangat kontras.
Oleh karena itu, program PPG adalah langkah konkret di tengah regulasi ambiguitas. Hanya melalui jalan ini masa depan sebagai pendidik menuai kecerahan.
PPG Prajabatan dirancang untuk menghasilkan guru yang memiliki kompetensi secara utuh. Ia dapat membangun mentalitas anti loyo serta antusiasme menghadapi tantangan masa depan pendidikan di Indonesia dengan penuh semangat dan dedikasi.
Tidak dapat dipungkiri, dalam realitas pendidikan hari ini masih banyak guru yang mengedepankan prinsip “menggugurkan kewajiban”. Para guru enggan mengembangkan diri untuk meningkatkan kompetensinya sesuai perkembangan zaman.
PPG Prajabatan lebih dari sekedar program. Ia merupakan sebuah investasi jangka panjang untuk membangun fondasi bagi masa depan pendidikan Indonesia yang gemilang. Beberapa tahun kedepan para calon guru saat ini akan mengambil alih kemudi dunia pendidikan.
Hal ini terungkap dari data Kemendikbudristek bahwa dalam rentang dua tahun ke depan Indonesia akan mengalami pengurangan guru secara signifikan.
Tahun 2024, sebanyak 64.773 guru memasuki purna tugas. Tahun 2025, naik 19,7% menjadi 77.535 guru pensiun. Tahun 2026, persentase yang pensiun mengalami kenaikan 13,88% menjadi 88.296 guru.
Laporan di atas menggambarkan kondisi pendidikan kita yang dirundung defisit pendidik. Maka dari itu, kebutuhan pengganti merupakan hal mutlak.
Kualifikasi penggantinnya tidak boleh pasif, artinya enggan bertindak sebagai agen perubahan, kontraproduktif, dan minim kreativitas inovasi berkesinambungan. Sebab, kualitas guru menjadi faktor penentu dalam mewujudkan pendidikan yang berkulitas.
Sehingga, PPG Prajabatan menjadi gerbang utama menuju guru profesional. Dalam pandangan F. Lafendry (2020), guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian secara mumpuni.
Sifatnya multidimensional. Ia tidak hanya menguasai materi ajar, tetapi juga mampu mengajar dengan efektif, membimbing dengan penuh kesabaran, dan membangun iklim yang positif dengan murid dan warga sekolah.
Mengharapkan Kepastian
Sempat ramai di media sosial soal infografis rencana pembukaan PPG Prajabatan gelombang 2 tahun 2024. Setelah dicermati, PPG tersebut rupanya adalah PPG Prajabatan yang menginduk ke Kemendikbudristek.
Alhasil, pupus (lagi) harapan para fresh graduate jurusan PAI, Bahasa Arab, dan sejenisnya.
Dari situ, muncul pertanyaan, mengapa PPG Prajabatan Kemenag tidak diintegrasikan ke dalam PPG Prajabtan Kemendikbudristek?
Toh, muaranya sama-sama memproduksi guru profesional, berkualitas, dan adaptif sesuai perkembangan zaman dan tuntutan global.
Sebelum fresh graduate kian menumpuk, para sarjana Pendidikan, dalam hal ini Pendidikan Islam, menanti sinyal positif dari para pemangku kebijakan terkait peluncuran PPG Prajabatan Kemenag.
Bagaimanapun itu, PPG Prajabatan harus ada dan dijalankan dengan penuh kesungguhan. Tidak adanya tindak lanjut sama saja melanggengkan kecemburuan institusional.
Kemenag perlu memahami urgensi dan fungsionalisasi pelaksanaan PPG Prajabatan. Bahwa sertifikasi PPG merupakan eskalator nilai yang memartabatkan kesalingan profesionalisme dan kesejahteraann.
Dengan PPG, kemelut akar rumput pendidikan perihal kesejahteraan finansial agaknya sedikit teratasi karena nantinya bakal ter-cover.
Menjadi guru profesional merupakan harapan untuk hidup lebih sejahtera. Kesejahteraan hadir sebagai konsekuensi logis dari profesionalisme yang melekat pada profesi guru.
Dengan demikian, PPG Prajabatan mewujudkan keseimbangan kebutuhan dan pemenuhan baik secara kuantitas maupun kualitas. Kondisi pendidikan Indonesia butuh guru-guru yang tersertifikasi.
Hal ini, disamping berdampak pada tata nilai ekosistem pendidikan, juga akan mengantarkan ke arah yang lebih maju, bermutu, dan memiliki daya saing di kawasan regional maupun internasional.