Tampan Adalah Koentji. Titik!

Tampan Adalah Koentji. Titik!

Opini ilustrasi tampan min
Opini ilustrasi tampan min

Tidak berarti saya memuja ketampanan. Hanya saja, nyatanya memang ketampanan punya signifikansi logis dengan banyak lini kehidupan. Pekerjaan, media, sampai cinta.

“Usianya baru 25 tahun. Saya memanggilnya bro Saddiq.”

Begitulah akhir caption yang ditulis akun IG Presiden Jokowi. Beliau mengunggah potret bersama Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq Abdul Rahman, 14 Juli 2018 silam.

Seketika, bergerilyalah para cemewew menghadap mbah google sekadar untuk mencari pesona blio. “Tampan, muda, seorang menteri lagi. Kaum hawa mana yang tidak ‘basah’?” bisik salah seorang teman.

Maka tidak heran jumlah kericau dengan tagar dan tautan Syed Saddiq meningkat 170% dari sehari sebelumnya. Jumlah like dan retweet Syed Saddiq melonjak dari 326 pada tanggal 13 Juli menjadi 1.981. Terus bertambah menjadi 4.219, dan 10.976 like dan retweet di hari kedua dan ketiga. Tabik!

Isu ketampanan memang jarang diperbincangkan di ruang-ruang diskusi akademis. Padahal, isu ini tak bisa diremehkan. Contoh saja, berkali-kali saya mengajukan diskusi dengan tema ketampanan semasa aktif di LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) dulu, ditolak terus karena topik tersebut cuma main-main.

Tidak berarti saya memuja ketampanan. Hanya saja, nyatanya memang ketampanan punya signifikansi logis dengan banyak lini kehidupan. Pekerjaan, media, sampai cinta.

Dalam bidang pekerjaan, dapat dilihat bagaimana para pria berjuang mati-matian untuk menjadi tampan dan rapi di mata perusahaan. Alasannya tidak lain karena sampai saat ini, “people judge you by how you look” adalah fakta yang belum bisa dielakan. Betul! Pria dengan penampilan menarik lebih mudah mendapat pekerjaan.

Kuasa ketampanan pun juga berlaku pada panggung hiburan di media-media visual macam televisi. Mereka yang menjadi wayang di panggung hiburan dan media haruslah berpenampilan menarik. Tentu saja untuk menggaet banyak perhatian. Dalam hal ini, semakin besar massa, semakin besar pengaruh, dukungan, dan tentu saja: uang.

Benarlah kata Noam Chomsky, bahwa sebenarnya, media selalu menasbihkan kepentingan para pebisnis di atas apapun. Menurut Lippman, dalam skala kebudayaan setidaknya ada dua golongan: golongan elit, yaitu mereka yang menjalankan segala hal dalam kehidupan bernegara, pemegang kuasa, para eksekutif, pemilik modal, dan pemilik media.

Kedua, “orang lain” selain golongan pertama, yang berarti termasuk juga para talent dan penontonya. Mengamini hal ini, Chomsky mengandaikan para penonton sebagai kawanan ternak pandir yang harus digiring.

Kuasa Tampan dan Cinta pada Pandangan Pertama

Tidak hanya urusan pekerjaan dan panggung hiburan. Tampan juga punya kuasa dalam urusan asmara. Ibarat melamar pekerjaan, ketampanan juga sejatinya membuat pria lebih mudah mendapat pasangan.

Studi tentang atractiveness ini sebenarnya sudah marak di negeri om sam sono. Salah satunya Richard Wiseman, dari Universitas Hertfordshire mengungkapkan bahwa perempuan pengguna internet mempunyai ketepatan intuisi untuk menentukan pria mana yang berkepribadian baik sebesar 77% hanya dengan melihat foto pria yang sedang tersenyum. Firasat perempuan itu ngeri, sam.

Itu mengapa jangan main-main dengan cinta pada pandangan pertama. Earl Naumann dalam penelitiannya mengemukakan bahwa hampir dua pertiga populasi dunia percaya akan adanya cinta pada pandangan pertama. Lebih dari setengahnya pernah mengalaminya.

Dan dari yang pernah mengalaminya, 55% menikahi cinta pada pandangan pertamanya. Jika dihitung kasar, artinya sekitar 1,2 milyar manusia menikahi cinta pada pandangan pertamanya.

Ini semacam politik kuasa ketampanan. Kamu tampan, banyak perempuan yang tertarik denganmu, kemudian mereka jatuh cinta pada pandangan pertama, lalu kamu menjalin hubungannya dan walhasil, kalian menikah. Uyeee!

Tampan Bisa Diciptakan

Bicara budaya, berarti bicara nilai dan persepsi. Dua hal tersebut cenderung berubah dan berbeda. Standar pria ideal dari masa ke masa juga berubah.

Pernah dengar tentang Klub Pria Gemuk pada 1866 di Amerika? Hal itu pernah ada dan menjadi tren yang menyebar ke Eropa dimana para pria yang ingin menjadi anggotanya harus memiiki berat minimal 100 kg. Saat itu tubuh yang subur melambangkan kemakmuran dan kekayaan hidup.

Atau pada 1980-an saat pusat kebugaran dan gym menjadi marak dengan salah satu promotornya adalah Edward Schwarzenegger dalam film Terminator. Sehingga pria-pria yang berbadan kekar, bersuara berat, dan manly menjadi populer.

Ketampanan, selain berbeda di tiap masa, beda pula di tiap kebudayaan. Di Amerika misalnya dengan mengadopsi gagasan American Dream. Sesuai kebutuhan saat itu, pria ideal adalah ia yang mampu hidup di tempat keras, though guy, bisa membuka lahan, dan mampu bertarung dengan indian: alasan kemunculan sosok cowboy yang independen, tegas, kasar, intimidatif, pandai berkuda, dan tidak banyak bicara.

Di inggris, terdapat istilah knigts code of chivalry yang dimulai pada abad ke-12. Dari catatan Song of Roland, setidaknya terdapat 17 poin yang menegaskan bagaimana seorang pria ideal seharusnya bersikap.

Renaissance man di Italia yang mengacu pada sosok Leonardo Da Vinci, ubermensch-nya Nietzsche dimana setiap pria haruslah mempunyai keinginan untuk berkuasa dengan menggunakan kekuatan, kecerdasan, dan keberaniannnya. Adalah dua dari sekian banyak penegasan tentang perbedaan ketampanan dalam setiap budaya.

Di negara kita sendiri, di masa-masa awal kemerdekaan, bisa kita lihat bagaimana Soekarno memunculkan tokoh Gajah Mada untuk meminimalisir munculnya bibit chauvinisme di daerah-daerah. Gajah Mada, yang dulunya dianggap pernah menyatukaan seluruh nusantara dijadikan alat agar mampu memberikan rasa persatuan.

Dengan kata lain, ketampanan dapat diciptakan. Setidaknya hal ini bisa mengurangi keresahan hati para lajang tongkrongers Omah Diksi. Siapa tahu kalian bisa menciptakan standar ketampanan sendiri. Misalnya: barangsiapa ngopi di Omah Diksi sudah menjadi bagian dari pria-pria tampan.

Lumayan. Maka saya, kamu, kalian dan para tongkrongers lainnya tak perlu repot-repot panjat sosial untuk mencari jodoh. Datang saja ke Omah Diksi, kemudian menunggu mereka si pelanggan wanita terpikat pada pandangan pertama, dan 55% kemungkinan kalian akan menikah.

Penulis
Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Ilustrator Sediksi
Opini Terkait
Kenapa, sih, Cancel Culture Sulit Diterapin di Indonesia?
Dear Mental Health Professional…
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel