Krisis Iklim Ada Di Depan Mata dan Mengancam Masa Depan Kita

Krisis Iklim Ada Di Depan Mata dan Mengancam Masa Depan Kita

Memperluas menyediakan akses pada pendidikan lingkungan hidup guna mencegah krisis adalah satu dari sekian solusi.

Beberapa waktu lalu, saat saya mengisi webinar terkait perubahan dan krisis iklim, sejumlah peserta mengeluhkan cuaca panas, terutama yang tinggal di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Peserta yang tinggal di sepanjang pesisir utara Jawa juga mengeluhkan hal serupa. Bahkan, keluhan juga disampaikan oleh beberapa peserta yang tinggal di kota yang terkenal sejuk seperti Malang dan Batu.

Bukan cuma cuaca panas, mereka juga mengeluhkan anomali cuaca. Di beberapa wilayah seperti, hujan tiba-tiba turun setelah cuaca panas. Sesekali, hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan banjir.

Mereka tidak sendirian. Saya, juga mungkin Anda dan banyak orang di dunia, merasakan hal serupa. Jika merujuk kalender musim di Indonesia secara umum, bulan-bulan ini seharusnya sudah mulai memasuki musim penghujan dengan suhu rata-rata seharusnya tidak terlampau tinggi. Siklus itu sepertinya perlu dipertimbangkan ulang mengingat kita sedang dihadapkan dengan situasi saat cuaca jadi sulit diprediksi.

Cuaca panas berlebihan dan anomali cuaca ini bisa bikin kesal. Sama kesalnya saat pengeluaran ikut membengkak. Orang-orang bakal berpikir soal perlunya menyalakan kipas angin ataupun pendingin ruangan saat hawa panas tak lagi bisa ditahan. Itu belum menghitung jika tiba-tiba perubahan cuaca ekstrim membikin kesehatan orang-orang ikutan terancam.

Sekiranya mau menampung sambatan orang-orang, keluhan di atas barangkali cuma remah-remah dari bertumpuk-tumpuk keluhan lainnya.

Anomali Cuaca: Dampak Perubahan Iklim

Catatan di atas merupakan gambaran situasi terkini yang tengah kita hadapi. Anomali cuaca ini pada dasarnya satu dari sekian dampak perubahan iklim. Hujan intensitas tinggi dan kadang tidak dapat diprediksi, kadang juga suhu panas ekstrem, sampai kacaunya tata musim, merupakan pola umum akibat perubahan iklim. Mengapa demikian?

Merujuk pada laporan IPCC dalam ‘Special Report: Global Warming Of 1.5 ºc: Glossary’, perubahan iklim merujuk pada perubahan keadaan iklim yang dapat diidentifikasi (misalnya, memakai uji statistik atau observasi terukur) dengan melihat perubahan rata-rata atau variabilitas sifat-sifat kondisi iklim, terutama dalam jangka waktu yang lama, biasanya beberapa dekade atau lebih. Ia bisa disebabkan oleh proses internal alamiah, maupun eksternal seperti aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung.

Pada laporan IPCC di tahun 2018, perubahan iklim ini mencakup pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang dalam skala besar berdampak pada pola cuaca, seperti aktivitas ekonomi.

Penyebab utama perubahan iklim adalah keberadaan emisi gas efek rumah kaca yang semakin besar dan menumpuk di atmosfer. Sebagian besar adalah jenis karbondioksida dan metana. Gas efek rumah kaca salah satunya disebabkan oleh adanya penggunaan energi berbahan bakar fosil untuk menunjang aktivitas ekonomi. Seperti pertanian skala luas, industri tambang dan pengolahannya, seperti logam bahkan semen. Semua aktivitas tersebut selalu bertalian dengan deforestasi, seperti yang diungkapan IPCC dalam ‘Technical Summary Report 2021.’

Merujuk pada catatan Karen Smith dalam artikelnya di The Conversation berjudul ‘The Unexpected Link Between The Ozone Hole and Arctic Warming,’ situasi perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu permukaan, karena akibat dari menumpuknya gas efek rumah kaca di atmosfer mengganggu lapisan ozon sehingga paparan pantulan sinar matahari langsung mengenai objek tanpa ada proses filterisasi.

Hasilnya, paparan sinar matahari langsung itu menyebabkan melelehnya salju dan es di wilayah kutub. Hal tersebut menyebabkan suhu permukaan bumi meningkat, selain juga menyumbang peningkatan permukaan rata-rata air laut.

Selain faktor tersebut, menurut artikel dari Samantha Jakuboski di Nature.com yang berjudul ‘Deforestation and Global Warming’ fakta soal deforestasi yang mengakibatkan hilangnya hutan juga menjadi faktor penting yang turut menjadi penyebab dari meningkatkannya suhu permukaan.

Hilangnya hutan telah melepaskan karbon yang banyak ke atmosfer, yang berarti bumi kehilangan pengikat karbon alamiahnya dan juga kehilangan produsen oksigen dalam jumlah besar. Dampaknya, tentu saja, perlahan-lahan suhu menjadi meningkat.

Situasi ini telah mendorong perubahan tata iklim, karena semakin besar gas efek rumah kaca di atmosfer mengganggu siklus hidrometeorologi. Maka tidak heran kita mengalami anomali cuaca, seperti musim yang tidak pasti hingga persoalan tiba-tiba hujan dan kadang panasnya keterlaluan.

Saat suhu permukaan bumi telah meningkat sekitar 1,2°C sejak tahun 2020, cukup tinggi dibandingkan sejak masa pra-industri atau jika merujuk pada tahun 80an, jika melihat laporan dari World Meteorological Organization (WMO) yang berjudul ‘New climate predictions increase likelihood of temporarily reaching 1.5 °C in next 5 years,’ WMO pun memprediksi kemungkinan sekitar 20 persen suhu saat ini akan melebihi 1,5 °C pada awal 2024.

Lalu Apa Solusinya?

Mungkin di antara kita akan berpikir bahwa ketika cuaca panas melanda, solusinya adalah membeli kipas angin atau pendingin ruangan. Jika hujan tidak menentu, agar mobilitas tidak terganggu, membeli mobil adalah salah satu cara menghindari berbasah-basah di jalan. Kalau itu tidak cukup, di antara kita barangkali akan meyakini ini sudah memasuki akhir zaman.

Di sinilah pentingnya pendidikan lingkungan hidup, sekaligus dampak perubahan iklim. Pengetahuan itu bakal menjadi bekal mendorong kepekaan dan kesadaran betapa pentingnya melindungi lingkungan hidup.

Remaja seperti Greta Thurnberg dari Swedia menyebarkan semangat pentingnya mulai bersuara untuk bumi terutama terkait perubahan iklim. Suara Greta kemudian diikuti oleh anak-anak muda dari Asia seperti Mitzi Jonelle Tan dari Filipina, lalu Kim Dohyeon dari Korea Selatan dan anak-anak muda lainnya di Asia, seperti dalam warta berjudul ‘Youth climate activists spread Greta Thunberg’s message in Asia.’

Anak-anak muda ini berani bersuara, terutama mengkritik dan mendesak pemerintah di negara mereka bahkan global untuk bertanggung jawab atas situasi perubahan iklim yang kian parah. Mereka tahu, di masa depan, planet ini bakal mereka tinggali, dan mereka tak mau tinggal di tempat mengerikan.

Semua itu tidak terjadi secara instan, dan langkah mereka mendahului banyak orang dewasa. Memperluas menyediakan akses pada pendidikan lingkungan hidup guna mencegah krisis iklim adalah satu dari sekian solusi. Jika anak-anak muda seperti Greta sudah melangkah, mengapa kita mesti menunda?

Penulis
walhi jatim

Wahyu Eka Setyawan

Direktu Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur.
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel