Lulusan S2 dan S3 Sedikit Bukan Hanya Karena Masalah Biaya, Pak

Lulusan S2 dan S3 Sedikit Bukan Hanya Karena Masalah Biaya, Pak

Lulusan S2 dan S3 Sedikit Bukan Hanya Karena Masalah Biaya, Pak
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Solusi yang ditawarkan oleh pak Presiden sebenarnya merupakan salah satu upaya yang baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sayangnya, permasalahan rendahnya rasio S2 dan S3 bukan hanya terletak pada soal pembiayaan saja.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekagetannya perihal rasio lulusan S2 dan S3 Indonesia yang begitu rendah, yaitu 0,45%. Jumlah ini kalah jauh dari negara tetangga kita seperti Vietnam dan Malaysia yang berada pada rasio 2,43% serta dengan negara-negara maju di angka 9,8%.

Hal tersebut tentu menjadi kekhawatiran jika mengingat ambisi pemerintah untuk menyambut Indonesia Emas di 2045. Sehingga, Presiden kemudian mengungkapkan perlunya peningkatan pendanaan beasiswa LPDP hingga 5 kali lipat.

Solusi yang ditawarkan oleh pak Presiden sebenarnya merupakan salah satu upaya yang baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sayangnya, permasalahan rendahnya rasio S2 dan S3 bukan hanya terletak pada soal pembiayaan saja.

Kebutuhan S2 dan S3 dalam Industri Belum Mendesak

Dilansir dari Kompas, pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma, mengatakan bahwa lapangan kerja di Indonesia tidak banyak membutuhkan lulusan S2 dan S3.

Pasalnya, lulusan-lulusan pascasarjana umumnya lebih dikerahkan untuk fokus mengembangkan riset dan pengembangan suatu produk industri.

Masalahnya, lapangan pekerjaan di bagian riset dan pengembangan pada sektor industri Indonesia terbilang masih kurang. Selain itu, Satria juga menambahkan bahwa bagian riset dan pengembangan industri-industri ini umumnya terletak di kantor pusat yang berlokasi di luar negeri.

Belum mendesaknya kebutuhan banyak industri akan tenaga-tenaga lulusan S2 dan S3 membuat menjadi tidak mengherankan apabila rata-rata dari mereka, ya, kalau tidak bekerja sebagai dosen, sebagai peneliti.

Dianggap Over-Qualified

Industri sering kali mencantumkan syarat pendidikan minimal S1 saat membuka lowongan. Akan tetapi, ketika pelamar memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka dianggap over-qualified.

Di satu sisi, perekrut kerap merasa kebingungan untuk merekrut lulusan S2 dikarenakan taraf pendidikan mereka yang dianggap relatif tinggi untuk posisi yang tersedia. Sementara di sisi lain, lulusan-lulusan ini juga tidak mungkin diberikan posisi yang tinggi karena belum tentu memiliki pengalaman kerja yang memadai.

Hal ini sendiri sudah menjadi rahasia umum. Apabila dalam syarat lamaran ditulis minimal S1, artinya memang orang-orang dengan pendidikan S1 lah yang dicari. Tidak kurang, tidak lebih.

Situasi ini lantas mengingatkan saya pada pertanyaan seorang lulusan S2 kepada salah satu cawapres terkait kesulitannya untuk memperoleh pekerjaan. Keresahan tersebut kemudian dijawab dengan singkat, yaitu lulusan S2 tersebut dianjurkan untuk menjadi pengusaha saja.

Sungguh tidak menjawab persoalan karena tidak semua orang memiliki kapasitas untuk menjadi pengusaha.

Industri pekerjaan Indonesia sendiri belum menaruh banyak perhatian akan kebutuhan sumber daya manusia lulusan S2 dan S3, di mana lowongan pekerjaan didominasi oleh syarat pendidikan minimal SMA dan S1.

Diskriminasi Batas Usia

Kebutuhan Industri yang dalam banyak hal masih belum memerlukan lulusan S2 dan S3 kemudian diperburuk dengan permasalahan diskriminasi batas usia. Bayangkan saja, lowongan pekerjaan yang memberikan batas usia maksimal 25 tahun dan minimal memiliki pengalaman 2 tahun diberlakukan pada mahasiswa S2.

Secara kalkulasi sederhana, taruhlah seorang siswa SMA lulus pada usia 18 tahun. Ia kemudian melanjutkan kuliah S1 selama 4 tahun kemudian melanjutkan studi S2 selama 2 tahun.

Jika semua berjalan lancar tanpa jeda sama sekali, maka ia akan lulus pada usia 24 tahun. Belum lagi tidak jarang ditemui mahasiswa yang mengalami berbagai halangan selama masa studi. Sehingga, semakin tua usia seorang lulusan, maka semakin sempit pula pintu kesempatannya untuk memperoleh pekerjaan.

Dianggap over-qualified serta ‘terlalu tua’ sungguh menjadi beban bagi lulusan S2, dan kondisi seperti ini bisa jadi merupakan hal yang membuat banyak orang pikir-pikir dulu sebelum melanjutkan pendidikan dari S1.

Lingkungan Kerja yang Kurang Mendukung

Pun jika ada skenario lain seperti memutuskan untuk bekerja terlebih dulu lalu melanjutkan studi, permasalahan tidak hilang begitu saja. Sebab, lingkungan kerja belum tentu memberi dukungan, salah satunya karena khawatir mereka tidak dapat memprioritaskan antara pekerjaan dengan studi yang dijalani.

Menjadi amat berat memilih untuk melanjutkan S2 dan S3 dalam banyak skenario dikarenakan memiliki peluang gagal yang besar serta belum tentu memperoleh apresiasi yang baik dalam lingkup pekerjaan terhadap tingkat pendidikan yang ada.

Oleh karena itu, lingkungan pekerjaan perlu memiliki kesadaran untuk mengapresiasi lulusan S2 dan S3 sebagai seorang pakar yang memiliki kemampuan riset dan analisis yang lebih mumpuni karena mereka juga dapat memberikan manfaat yang strategis bagi lingkungan pekerjaan.

Berdasarkan uraian permasalahan yang ada, keinginan dari Presiden untuk meningkatan anggaran beasiswa studi lanjut sebenarnya sudah baik. Akan tetapi, permasalahan yang terbesar dari rendahnya rasio lulusan S2 dan S3 tidak hanya terletak pada masalah pembiayaan.

Potensi kesulitan mendapatkan pekerjaan selain sebagai peneliti atau dosen, diskriminasi batas usia, serta kecenderungan tidak memperoleh dukungan yang signifikan dari lingkungan kerja saat melanjutkan studi juga perlu menjadi perhatian serius.

Semoga lulusan S2 dan S3 di Indonesia dapat segera lebih terserap dalam industri. Hal ini tentu saja tidak hanya akan meningkatkan rasio kelulusan S2 dan S3, tetapi dapat memberikan sumbangsih yang besar bagi kemajuan bangsa menyongsong Indonesia Emas 2045 seperti yang dinginkan bukan hanya oleh Presiden, tetapi oleh kita semua.

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Yonatan Vari

Saya berasal dari Kalimantan Tengah dan seorang lulusan pendidikan yang sangat memiliki kepedulian terhadap permasalahan pendidikan yang ada.
Opini Terkait
Pesantren bukan Tempat Pembuangan Anak
Neo Historia, Kejatuhan Sejarah, dan Komodifikasi
Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?
Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel