Berbicara soal makanan, bukan hanya sebatas tentang rasa dan kandungan gizinya. Di balik itu, ada cerita-cerita menarik yang membuat makanan menjadi begitu beringas untuk dibahas. Makanan tidak hanya berada pada dimensi personal, namun juga meliputi dimensi sosial.
Dan kali ini, dari sekian banyak makanan yang mewarnai keberagaman di Indonesia, saya ingin beropini tentang bubur.
Ada satu tradisi menarik di kampung saya, di Madura, yang membuat perhatian saya tertuju kepada bubur. Nasi kelewat lembek itu menjadi hidangan utama untuk diberikan kepada tetangga-tetangga sekitar saat menyelenggarakan slametan. Setidaknya tradisi itu dilakukan dua kali dalam setahun. Satu bubur suro (tahjin sorah), satu lagi bubur safar (tajhin mera pote).
Yang unik adalah tradisi bubur suro (selanjutnya disebut bubur sorah, red). Tradisi ini merupakan inovasi dari tradisi Syiah. Di negeri asalnya tradisi ini adalah tradisi mencambuk diri sendiri untuk memperingati peristiwa Karbalah. Peristiwa dimana Husein bin Ali, cucu Kanjeng Nabi dipenggal kepalanya.
Di Madura, rasa bubur sorah adalah tawar. Sengaja dibuat begitu untuk mengenang peristiwa duka tersebut. Warna hijau pada dedaunan di bubur sorah melambangkan panji Husein dan baju zirah terakhir yang dipakai oleh sang kakek. Di dalam bubur tersebut juga ada bulir-bulir berbentuk bulatan. Melambangkan kepala-kepala keluarga cucu Nabi yang dipenggal dan diarak sepanjang kota.
Setidaknya itu yang saya ketahui mengenai tradisi bubur Sorah di Madura. Karena saya kira tradisi bagi-bagi bubur ini juga ada di hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pun, hadir dengan cerita dan bentuk bubur yang berbeda pula. Hal ini sudah menegaskan bahwa bubur memiliki dimensi sosial yang terwujud dalam bentuk tradisi.
Lakon Bubur Bagi Kemaslahatan Umat
Mengulik lebih jauh mengenai bubur di Indonesia, setiap daerah punya macam buburnya sendiri-sendiri. Garut punya bubur yang selalu menyertakan aneka jenis kacang-kacangan sebagai toping. Beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki hidangan bubur yang dicampur sumsum dan daging yang dilunakkan. Di Papua ada bubur sagu yang dihidangkan bersama kepala ikan dan kuah kuning.
Bubur juga tidak hanya ada di Indonesia. Jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Indonesia berdiri, Tiongkok sudah punya bubur. Flesbek pada 238 SM di Tiongkok. Seorang Shih Huang Ti atau kaisar Cheng yang terkenal dengan megaproyek pembangunan tembok besar Tiongkok itu, berhasil mengatasi kesulitan makanan yang dialami rakyatnya dengan bubur.
Ceritanya begini. Pada saat musim paceklik tiba, banyak rakyatnya yang jatuh miskin dan kekurangan pangan. Kebetulan saat itu sang kaisar menemukan cara membuat bubur. Penggunaan beras pada bubur yang sedikit bisa menghemat penggunaan beras dan memungkinkan dimakan oleh lebih banyak orang. Sang kaisar pun mengenalkan cara pembuatan bubur kepada rakyatnya. Betul, bubur telah menjadi solusi sang kaisar dalam mengatasi kelaparan.
Lain negara, lain cerita. Di Indonesia, bubur juga pernah menjadi solusi atas kesulitan makanan di masa perang. Buyut dan eyang putri saya di Nganjuk selalu bercerita bahwa dulu untuk makan saja susah. Sehingga jalan keluar paling rasional adalah dengan memasak bubur. Beras segenggam bisa buat makan sekeluarga dengan anak delapan orang. Lauknya sebiji telor ayam yang dicampur tepung banyak-banyak lalu dibagi delapan macam pizza.
Rekam jejak dan berbagai jenis bubur di Indonesia, bisa ditelusuri pada Serat Lubdaka karangan Mpu Tanakung dari masa keemasan Kerajaan Kediri sejak abad ke-12 dan pada kitab Serat Centhini sejak tahun 1800-an. Dokumen tersebut menyebut bubur dengan istilah jenang.
Ada catatan-catatan mengenai penggunaan bubur di literatur lawas itu. Beberapa di antaranya adalah nilai-nilai kearifan yang menjadi simbol pada penggunaan bubur di momen-momen tertentu. Bubur, menjadi simbol pemerataan bagi masyarakat karena orang yang bisa makan lebih banyak dan merata.
Jadi, Bubur Solusinya!
Bubur tidak terjebak pada kasta dan lingkup umur tertentu. Mulai dari mahasiswa kere yang punya passion ngutang di angkringan, sampai AHY dan Gibran yang sama-sama anak presiden, bisa makan bubur bareng. Baik itu bayi, dewasa, sampai aki-aki ompong, bubur tetap enak.
Maka dari itu saya pikir sudah saatnya bubur menjadi solusi yang tepat untuk mengentaskan persoalan bangsa Indonesia.
Are Lion Angkara Malam alias Bang Alam pun dengan lagunya Sabu (sarapan bubur), sudah memberikan kode-kode tipis kepada pemerintah untuk menjadikan bubur sebagai solusi permasalahan pangan negeri ini. Sejatinya, semua akan makan bubur pada waktunya
Ingat say, meskipun pada maret 2018 lalu BPS mengumumkan angka kemiskinan di negara kita sudah rendah, 9,8% sejak 1999, tapi kalau dihitung kasar kok ya masih terasa tinggi. Ada sekitar 25 juta lebih penduduk negeri ini harus rela puasa Daud dan hidup dengan biaya Rp 400 ribu perbulan alias hidup dengan biaya Rp 13 ribu perhari. Ya lord.
Dengan bubur, setidaknya persoalan kemiskinan yang disebabkan oleh kekurangan pangan bisa teratasi. Untuk proses produksi dan distribusi bubur kan lumayan bisa menyerap tenaga kerja juga. Sejarah juga sudah membuktikan bahwa bubur adalah solusi. Ya kan? Alangkah baiknya pemerintah bergerak cepat. Sudah saatnya kita berantas kemiskinan dengan mengandalkan bubur.
Eits, tunggu dulu. Tapi yang harus kita berantas kan bukan kemiskinannya ya, yang harus kita berantas itu adalah pemiskinan. Bukan begitu? Hehe