Perdebatan mengenai diburamkannya belahan dada di TV nasional semakin dungu saja. Sebelumnya Sandy Cheeks, Si Tupai berbikini di serial kartun Spongebob Squarepants jadi korban pemburaman. Kini atlet renang yang membela Papua di PON Jawa Barat, Margaretha Herawati, jadi korban pemburaman gatekeeper televisi pada hampir seluruh tubuhnya. Saat ditayangkan, ia sedang memakai pakaian renang dalam rangka persiapan menghadapi PON!
Kejadian itu tentu membuat publik berisik. KPI angkat suara berdalih pemburaman bukan atas dasar perintah KPI, tapi lembaga penyiaran sendiri yang melakukannya. KPI tak mau disalahkan dalam kasus ini mungkin mereka sudah lelah disalahkan terus akibat sensasi belahan dada yang tak kunjung usai.
Sebenarnya asal masalahnya bersumber dari KPI sendiri yang membuat regulasi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Aturan tentang pemburaman belahan dada di televisi merujuk pada salah satu pasal, yang berbunyi: “stasiun televisi dilarang menampilkan tayangan dengan menunjukkan bagian tubuh tertentu yang dinilai terlalu dewasa untuk disiarkan”.
Sungguh lucu. Saya kurang bisa menangkap faedah dari aturan pemburaman belahan dada di televisi. Padahal belahan dada di kehidupan sehari-hari sangat mudah kita lihat. Misalnya di gigs-gigs hipster, di pantai, di karaoke, di panti pijat, di mall, di perkantoran, di kolam renang, di gym, bahkan tak jarang di acara-acara adat tertentu kita dapat menyaksikan belahan dada pria atau wanita dengan gamblang.
Tulisan ini tak berpretensi untuk mengkritik regulasi KPI. Selama KPI dan pengurusnya masih gini-gini aja, sangat susah untuk mengubah wajah industri televisi kita yang semakin gak asik. Tulisan ini justru dimaksudkan untuk memberi arahan bagi anda penikmat belahan dada di televisi, bahwa masih banyak sumber-sumber selain televisi dalam menikmati belahan dada. Berikut adalah lima sumbernya;
Bigo Live
Jika di masa depan Indonesia kekurangan generasi penerus yang berkualitas, maka Bigo Live adalah salah satu penyebabnya. Sudah banyak calon penerus bangsa yang terbuang sia-sia di tisu toilet karena Bigo. Bigo Live adalah salah satu aplikasi live streaming asal Singapura. Ini membuat Anda yang bercita-cita menjadi seorang Youtuber tapi tak punya skill editing video, Bigo Live adalah jawabannya. Tinggal mengarahkan kamera depan HP ke muka anda, ngoceh apapun, dan dengan pakaian yang sedikit terbuka, maka anda akan dapat saweran sticker digital dari orang-orang yang menonton anda. Sticker digital ini bisa diuangkan.
Tampilan para broadcaster Bigo sepintas mengingatkan kita pada acara kuis sms tengah malam yang dipandu Mbak Yeyen yang melegenda itu. “SMS lagi dong bang, yang banyak yaaa,” kira-kira seperti itu kalimat yang sering diucap Mbak Yeyen untuk menggoda pria lajang yang kebetulan sedang begadang di depan televisi. Mbak Yeyen mungkin udah gak aktif di dunia hiburan yang selalu menuntut tampil cantik, muda, dan menarik. tapi berkat Bigo Live muncul Mbak Yeyen-Mbak Yeyen baru, salah satu yang terkenal adalah Olyvia Jouvan. Sok atuh dicari.
Siapa yang bilang Twitter sudah mati. Twitter masih tetap ramai. Ramai sama buzzer-buzzer politik investigatif yang mati-matian dukung Ahok. Sama orang-orang yang pingin ‘curhat nyampah’ tentang mantan tapi nggak pengen ketahuan sama mantannya yang udah gak main twitter lagi. Twitter juga ramai akan hal lain, sebagai tempat baru untuk transaksi jasa ‘ena-ena’.
Tempat ‘ena-ena’ macam Dolly, Suko, Sarkem memang sudah resmi ditutup oleh pemerintah daerah di mana lokasi tadi berada. Bagi kaum moralis selangkangan, jangan senang dulu apalagi sampai mengucapkan takbir sambil bawa-bawa pentungan. Para pelaku ‘ena-ena’ itu tidak benar-benar hilang. Mereka ada dan berlipat ganda.
Twitter membantu mereka menemukan pelanggan-pelanggan baru dan sudah pasti lebih aman dari pantauan Ormas agama karena semuanya terjadi dalam dunia digital. Bukan tak mungkin kader-kader fundamentalis juga diam-diam memperhatikan dan menikmati akun-akun real ava, sebutan untuk akun cewe penyedia jasa ‘ena-ena’ di Twitter.
Hanya saja yang disesali dari kehadiran mereka di aplikasi berlogo burung kecil ini, harga untuk mendapat jasa ‘ena-ena’nya terlalu mahal dibanding ketika Dolly masih ada. Hiks.
Bagi cewe-cewe coba sekali-kali cek gawai pintar milik pacar kalian dan cek pencarian terakhir di akun Instagramnya. Voila! bakal banyak nama akun-akun panas yang muncul. Misalnya saja Cewek IGO, Tante nakal, Bidadari Kampus, JAV, Indoclubbing, dan sejenisnya. Kadang kalau beruntung nama mantan terakhirnya atau nama OL Shop punya si mantan juga bisa muncul di kolom pencarian. Kalau kebetulan kalian mendapati si doi begitu, ikuti nasihat Ustad Felix Siauw, Udah putusin aja.
Majalah Popular
Ini yang paling dewa. Saat majalah-majalah pria dewasa sudah menemui senjakalanya masing-masing, Majalah Popular tetap bertahan. Bahkan bisa dibilang Majalah Popular adalah salah satu majalah dewasa tertua yang masih bertahan sampai sekarang.
Saya nggak habis pikir kenapa dulu FPI hanya mendemo Majalah Playboy, tapi Majalah Popular tetap bebas. Padahal waktu itu Majalah Playboy sudah mau berkompromi dengan FPI, tidak menampilkan wanita-wanita dengan pakaian minim. Majalah Playboy Indonesia menjadi Majalah Playboy yang paling sopan di dunia dibanding dengan Majalah Playboy dari negara lain.
Apa mungkin FPI ingin melindungi wanita-wanita pribumi tidak dijadikan kelincinya Hugh Heffner Si Antek Yahudi itu. FPI mungkin lebih ridho wanita-wanita pribumi berbikini ria di majalah kepunyaan anak negeri. Nasionalis bro!
Satu kekurangan dari Majalah Popular, harganya terlalu mahal untuk ukuran kantong mahasiswa. Tapi tenang saja ada harga ada kualitas. Fisik Majalah Popular sangat awet dan tidak mudah robek kalo sambil dibaca di kamar mandi.
Youtube
Nggak usah dijabarkan penjelasannya. Lagu Young Lex, Rapper-Youtuber Panutan Cabe-cabean dan Terong-terongan Indonesia yang berjudul Ganteng-ganteng SWAG sudah menjelaskan semuanya.
“ Youtube, Youtube, Youtube lebih dari TV #BOOM ”.