Konon katanya, Jakarta itu daerah paling maju dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Di Jakarta, mau cari apa saja ada. Cafe dan restoran nomor wahid, selebriti papan atas, gedung-gedung pencakar langit, sampai politisi ulung pencakar lidah sendiri, ada di Jakarta.
Saking pesatnya kemajuan Jakarta, banyak orang dari kota lain berbondong-bondong mendatangi Jakarta. Tidak lain tidak bukan, tujuannya adalah mencari penghidupan (re: uang). Dari kampung halaman, mereka datang berbekal harapan dan ijazah untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Berharap kelak bertemu dengan kebahagiaan.
Sayangnya, tak semua perantau itu beruntung. Sebagian memang ada yang akhirnya menemukan kebahagiaan. Sebagian lain? Masih terus dirundung pilu lantaran kenyataan tak selalu berjalan sesuai harapan. Ujung-ujungnya, berbagai upaya yang sebelumnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, malah berubah menjadi upaya menerima nasib.
Jangankan bagi perantau, bagi orang-orang ber-KTP Jakarta saja, kebahagiaannya masih butuh peningkatan. Meski untuk urusan kota-perkotaan Jakarta itu nomor satu, untuk urusan bahagia-membahagiakan, Jakarta belum bisa berada di posisi puncak. Boro-boro berada di posisi puncak, lha wong masuk sepuluh besar saja tidak. Dari 34 provinsi di Indonesia, tingkat kebahagiaan Jakarta cuma berada di peringkat 14.
Lagipula, semaju apapun Jakarta di kemudian hari, dalam urusan bahagia-membahagiakan, Jakarta memang tak akan bisa menjadi kota paling bahagia se-Indonesia selama masih ada Yogyakarta. Para leluhur telah membuat warga Yogyakarta agar menjadi lebih bahagia daripada warga Jakarta.
Jadi, seandainya Ahok pernah bilang kalau Jakarta adalah kota paling bahagia se-Indonesia, itu berarti Ahok telah melakukan ‘Penistaan Yogyakarta’. Ayo demo Ahok juga, orang-orang Yogyakarta! Biar peluang ia maju sebagai gubernur DKI Jakarta semakin kecil penegakkan hukum di Indonesia berjalan dengan baik.
Oh iya, untuk sekadar diketahui, sumber yang sama juga menyebut, bahwa indeks kebahagiaan masyarakat Jakarta itu cuma 69,21 dari skala 1-100. Bayangkan, 69. Kalau dihitung pakai standar nilai kuliah, kebahagiaan orang-orang Jakarta itu nilainya “C”. Jadi, bilamana rata-rata nilai mata kuliah C, IPK yang akan didapat oleh Jakarta cuma 2,00. Pertanyaannya, kira-kira perguruan tinggi mana atau perusahaan mana di era serba berpacu pada nilai ini yang akan menerima mahasiswa dengan IPK 2,00?
Uniknya, dengan berbagai ketidakbahagiaannya itu, orang-orang Jakarta menganggap dirinya lebih tinggi dari orang-orang yang hidup di kota lain. Sampai-sampai, di Jakarta muncul istilah populer untuk menyebut orang-orang yang berasal dari luar Jakarta. “Orang daerah”. Begitu katanya. Jadi, mau kamu dari Surabaya yang katanya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, tetap saja kamu akan disebut orang daerah.
Belum lagi orang Jakarta juga punya “istilah keren” untuk menyebut orang-orang dari suku Jawa. Entah hari ini masih berlaku atau tidak, sebab “istilah” itu berlaku saat saya masih SMA, sekitar enam tahun lalu. Istilahnya adalah “Jamet” a.k.a Jawa Metal. Misal ada orang bersuku Jawa datang ke Jakarta. Ketika mereka saling bercengkerama, suaranya keras. Sehingga logat medoknya terdengar hingga ke telinga orang-orang muda Jakarta di sana. Maka, secara otomatis mereka akan dilabeli sebagai Jamet.
Kondisi ini diperparah dengan dukungan tak langsung dari orang-orang di luar Jakarta. Mereka menganggap orang-orang Jakarta sebagai orang-orang urban yang beruntung. Punya kehidupan mapan, uang berkecukupan dan gaya hidup level atas. Padahal sebenarnya, orang-orang Jakarta itu belum tentu memiliki kehidupan yang lebih bahagia daripada mereka.
Hakikat orang-orang Jakarta yang kurang bahagia dengan stereotype yang berlaku dari, oleh, dan untuk orang-orang Jakarta ini malah jadi terkesan kontradiktif. Sama kontradiktifnya dengan Rumah Makan Padang Sederhana yang secara fisik dan harga tak ramah bagi kantong mahasiswa menjelang akhir bulan. Atau, sama pula kontradiktifnya dengan sebuah mall di depan kantor Republika yang menamai dirinya Pejaten Village alias Desa Pejaten.
Untuk itulah, seharusnya kita tak perlu lagi menganggap bahwa Jakarta adalah kota yang pantas untuk diagung-agungkan. Justru saat ini sudah waktunya kita belajar bagaimana caranya mengasihani orang-orang Jakarta.
Mereka, orang-orang Jakarta, adalah orang-orang yang sedang berjalan di luar kodratnya. Mereka, orang-orang Jakarta, adalah orang-orang yang bergelimang harta, namun tak bisa mengimbanginya dengan keharmonisan keluarga, kehidupan sosial, dukungan moral dari lingkungan sekitar, kesehatan dan kesejahteraan psikologis. Dan mereka, orang-orang Jakarta, adalah orang-orang yang lagi sibuk memikirkan bagaimana caranya menjatuhkan Ahok agar tidak bisa jadi gubernur pada tahun 2017 nanti. Lho?