Menikmati Panggung Sandiwara Senikmat-nikmatnya

Menikmati Panggung Sandiwara Senikmat-nikmatnya

Menikmati Panggung Sandiwara Senikmatnya min scaled
Menikmati Panggung Sandiwara Senikmatnya min scaled

Di panggung sandiwara, kita dapat melihat banyak pasangan calon bergerilya menarik simpati masyarakat. Tujuannya hanya satu. Meraih kursi.

Dunia ini Panggung Sandiwara. Begitulah penggalan lirik pertama yang dinyanyikan oleh Achmad Albar Sang Vokalis God Bless. Panggung yang seringkali menyajikan drama bernuansa puitik mau pun bersajak analitik. Ya. Seperti di Indonesia. Khususnya menjelang Pilkada.

Akhir-akhir ini kita dapat melihat banyak pasangan calon bergerilya menarik simpati masyarakat. Tujuannya hanya satu. Meraih kursi. Memang apalagi yang diinginkan selain kursi kehormatan? Kursi kehormatan yang katanya akan memberi kenikmatan dan kenyamanan bagi siapa saja yang mampu merengkuhnya.

Tapi apa iya mereka hanya ingin meraih kursi kehormatan? Siapa tau mereka juga ingin memiliki kekuasaan. Katanya dengan kekuasaan, apapun bisa didapatkan. Seperti Benito Mussolini yang memberi perintah kepada tim nasional Italia juara Piala Dunia pada tahun 1934. Jika hal itu tak terjadi, maka hukuman untuk para pemain dan pelatihnya hanya satu. Mati. Beruntungnya, Italia menjadi juara Piala Dunia pada tahun 1934. Senanglah hati Mussolini.

Tapi, apa benar mereka hanya ingin meraih kekuasaan? Bagaimana jika ingin memperkaya diri? Ya, karena ketika dua hal tersebut dapat diraih maka otomatis mereka akan memperkaya diri. Itu sudah hal lumrah. Sudah menjadi naluri kebinatangan manusia.

Bahkan saking obsesinya, manusia mencoba segala cara untuk mendapatkannya. Seorang teman pernah berkata hal seperti ini, “jadi pemimpin itu enak. Bisa ngatur-ngatur dan bisa kaya. Makanya, saya rela jual ladang, kalau perlu jual rumah biar dapat modal jadi pemimpin. Toh, nanti juga balik modal. Malah untung loh.”

Jadi jangan heran, jika banyak sawah atau ladang mulai berkurang di Indonesia. Salah satunya buat modal (baca:uang) politik demi berlaga di kancah Pilkada. Dan mungkin mereka pula yang akhirnya menjadi penyebab harga pangan naik, kemudia ‘mengharuskan’ negara untuk impor. Hmm.

Jika mereka punya modal politik, apa lantas bisa langsung jadi pemimpin? Oh, tunggu dulu. Mereka harus punya modal sosial. Tanpa modal sosial, mereka tak akan bisa jadi pemimpin. Masalahnya, tak semua calon pemimpin punya modal sosial yang baik. Baik menurut yang akan dipimpin lo ya. Menurut saya, kamu, bahkan pembaca budiman.

Robert Putnam pernah berkata dalam bukunya Bowling Alone, kalau modal sosial adalah bagian dari hidup yang memerlukan jaringan, norma dan kepercayaan, sehingga mengajak kita ikut membangun dan mencapai tujuan bersama-sama.

Sekarang, apa benar mereka yang sedang berlaga itu punya modal sosial? Jangan-jangan sebenarnya mereka tak punya, tapi ‘diciptakan’ seolah punya. Kan mereka punya ‘atasan’.

Emang bisa? Bisa banget. Teknologi informasi coba dimanfaatkan. Banyak buzzer-buzzer politik berkeliaran. Bisa disewa dan dibayar. Wong sekarang zamannya manusia menunduk kok. Tapi beda sama pepatah ya, makin menunduk makin berisi. Itu kan artinya rendah hati.

Kalau sekarang, makin menunduk makin tersaji. Yaps, tersaji di lini masa kalo mereka adalah orang berjiwa sosial, dekat dengan rakyat, dan pokoknya yang baik-baik lah. Kalau sudah begini, jadi benar lirik lanjutan yang dinyanyikan oleh Achmad Albar. Ceritanya mudah berubah.

Wes jaman tambah edan. Manusia banyak berlomba, tapi kok jadi pemimpin. Padahal kan jadi pemimpin harus jujur, mampu menyampaikan, amanah, dan cerdas. Lha kalau sekarang, lihat realitanya yang sering direkam layar kaca bagaimana? Ah, sudahlah silakan kamu simpulkan sendiri.

Lalu, kita harus gimana? Ya mau tak mau tetap memilih supaya jadi warga negara yang baik. Tapi kalau tak mau milih bagaimana? Ya tak apa-apa. Asal jangan jadi pesimis. Setiap orang punya peranan. Mau memilih atau tidak.

Duh, lagi-lagi bener kan lirik lanjutan dari Ahmad Albar. Dunia ini penuh peranan, ada peran wajar dan ada peran berpura-pura. Memang jenius God Bless.

Eh, tapi sejenius-jeniusnya God Bless tetap saja lirik buatannya tak terdengar di telinga mereka. Wong mereka pandai berceloteh dan bersilat lidah. Namanya juga politisi.

Sudah, sudah, biarkan mereka berlaga. Kok kita kerjaannya kritik. Bersyukur saja jika mereka mau bertempur. Biarkan mereka berjuang atas nama rakyat. Ya iyalah berjuang. Masak ya bersandiwara?

Tugas kita cuma satu. Menyiapkan kursi yang lain. Konon katanya, jika mereka tidak bisa merengkuh kursi kehormatan maka mereka mengincar kursi yang lain. Dan sudah menjadi rahasia publik jika mereka akan ‘berlomba’ mendapatkan kursi itu setelah Pilkada usai. Lantas, kursi apakah itu?

Ya. Kursi Pesakitan.

Editor: Redaksi
Penulis
sdk-men-placeholder

Moddie Alvianto Wicaksono

Pagi hari bertafakur dengan kata-kata, Malam hari mendengkur dengan doa-doa.
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel