Menyoal Stigma PNS, Benarkah Realitasnya Demikian?

Menyoal Stigma PNS, Benarkah Realitasnya Demikian?

Menyoal Stigma PNS, Benarkah Realitasnya Demikian?
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Anggapan umum terkait PNS sebagai pekerjaan impian atau menantu idaman tidak bisa dipungkiri salah satunya terjadi karena bias atau distorsi pengetahuan terhadap realitas profesi ini

Tidak dapat dipungkiri profesi PNS tidak terlepas oleh stigma maupun labelling dari masyarakat, baik yang positif maupun negatif. Mulai dari ‘menantu idaman’, ‘makan gaji buta’ hingga ‘cuma main zuma’—yang terakhir cukup mudah dibantah karena PNS sekarang mainnya mobile legends.

Meskipun ada benarnya, bukan berarti hal-hal tersebut realitanya dapat digeneralisir. Oleh sebab itu, tulisan ini akan mencoba untuk berbagi cerita dan pandangan lain berdasarkan pengalaman saya sendiri sebagai seorang PNS mengenai stigma-stigma tersebut.

Tanpa bermaksud untuk membantah ataupun mengafirmasi, di sini saya hanya sekadar berbagi hal-hal yang mungkin masih menjadi blind spots di kalangan masyarakat.

PNS Itu Menantu Idaman, Mosok, sih?

Satu hal yang sangat melekat pada PNS adalah gelar ‘menantu idaman orang tua’ yang disematkan padanya. Banyak orang tua yang menganggap PNS memiliki pride tersendiri serta, tentu saja, berpenghasilan tinggi.

Makanya, tak sedikit orang tua yang mengharapkan anaknya bisa jadi PNS, bahkan sampai mendorong anaknya untuk mengambil sekolah kedinasan agar impian menjadi mantu idaman itu terjamin. Lagipula, siapa, sih, yang nggak mau punya mantu dengan profesi prestisius dan berpenghasilan tinggi?

Selain kuatnya dorongan orang tua, tak sedikit juga orang-orang yang sebenarnya memang ingin jadi PNS atau memiliki cita-cita jadi PNS. Status prestisius yang didapatkan sehingga dapat dibanggakan oleh orang tua maupun warga kampung setempat menjadi salah satu faktor pendorong.

Apalagi dalam kondisi ekonomi di mana semakin sulit mencari pekerjaan dan tingginya risiko lay off. Sehingga, tak heran jumlah pendaftar untuk pembukaan CPNS 2024 ini mencapai lebih dari 3 juta!

Kalau ditelusuri secara historis, stigma terhadap profesi ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Bahkan, keprestisan PNS dapat dibilang merupakan warisan kolonial.

Pada zaman penjajahan hanya golongan tertentu yang bisa jadi abdi negara. Hanya anak golongan yang setara priyayi di Jawa yang bisa bersekolah dan menjadi pegawai negeri kolonial.

Sementara di luar Jawa, kesempatan ini biasanya hanya dimiliki oleh kalangan pemuka masyarakat. Makanya, tidak mengherankan jika profesi PNS akhirnya secara turun temurun mewarisi prestige ini.

Belum lagi, anggapan akan penghasilan yang tinggi dan jaminan uang pensiun membuat masyarakat semakin menaruh pride tersendiri terhadap profesi ini.

Akan tetapi, tingginya penghasilan PNS ini sebenarnya relatif—relatif menurut siapa dan dibandingkan dengan apa—dan jumlahnya bervariasi antar instansi. Instansi seperti Kementerian Keuangan yang memiliki tunjangan kinerja paling tinggi tentunya tidak bisa dijadikan acuan tunggal untuk mengestimasi penghasilan PNS di instansi lainnya.

Sehingga, tak jarang ditemui orang-orang yang menganggap setiap PNS memiliki penghasilan hingga dua digit. Padahal, terutama untuk ukuran lulusan S1, justru mayoritas penghasilan berada di bawah dua digit. Bahkan, ada juga beberapa instansi yang PNS-nya berpenghasilan mepet dengan UMR Jakarta.

Komponen penghasilan PNS sendiri umumnya terdiri dari gaji pokok, tunjangan kinerja, serta uang makan. Gaji pokok PNS, terutama untuk golongan tertentu—termasuk golongan awal PNS yang masuk dari formasi sarjana—, masih berada di bawah UMR.

Lalu untuk tunjangan kinerja jumlahnya bervariasi antar instansi. Ada yang tinggi seperti Kementerian Keuangan, misalnya. Akan tetapi, lebih banyak instansi dengan tunjangan kinerja yang rendah, yang bahkan setelah digabungkan dengan gaji pokok dan uang makan tidak beda jauh dengan UMR Jakarta.

Itulah mengapa sebagian PNS bergantung pada uang perjalanan dinas untuk bisa menabung dan memiliki gaya hidup tertentu. Hal ini dikarenakan komponen penghasilan yang tidak sebegitu cukup, ditambah tidak adanya bonus tahunan sebagaimana swasta—kecuali di Kementerian Keuangan, tentu saja.

Sehingga, anggapan umum terkait PNS sebagai pekerjaan impian atau menantu idaman tidak bisa dipungkiri salah satunya terjadi karena bias atau distorsi pengetahuan terhadap realitas profesi ini.

Makanya, tidak heran jika orang tua yang berprofesi PNS tetapi pernah bekerja di swasta sebelumnya, kadang justru mendambakan anaknya atau calon menantu anaknya bekerja di perusahaan swasta yang bagus. Mereka sudah paham betul terkait penghasilan yang didapat oleh PNS.

Bahkan, tidak jarang juga ada PNS yang ingin resign karena kebutuhan hidup yang semakin mahal tidak dapat diakomodir oleh penghasilannya sebagai ‘mantu idaman’.

Makan Gaji Buta?

Setelah membahas soal stigma positif PNS, saya selanjutnya akan beralih ke beberapa stigma negatifnya. Tidak dapat dipungkiri memang jika anggapan masyarakat soal ini berpangkal dari apa yang mereka lihat dan temui, misalnya saat mengurus KTP.

Lemot-nya pelayanan bahkan ngaret-nya jam pelayanan menjadi salah satu indikasi bahwa PNS terkadang menyepelekan pekerjaannya. Hal tersebut salah satunya datang karena risiko lay-off yang minim bagi PNS. Ini kemudian membuat mereka merasa aman karena kerja lelet pun tidak akan dipecat, kok.

Apalagi, pengaduan dari masyarakat seringkali tidak tergubris dengan baik. Jadi, cukup lumrah jika masyarakat memiliki anggapan soal gaji buta ini. Belum lagi PNS angkatan tua yang sering ditemui sedang bermain Zuma atau Solitaire di layar komputernya.

Meskipun realita seperti itu tidak jarang ditemui, bukan berarti hal itu dapat digeneralisir begitu saja. Banyak PNS yang bekerja dengan sunggguh-sungguh bahkan dengan workload yang tinggi. Mulai dari ditelpon atasan malam-malam, kerja lembur tanpa dapat uang lembur, hingga disposisi pada akhir pekan, merupakan hal-hal yang sering saya jumpai.

Selain itu, anggapan mengenai PNS yang tidak kompeten juga tidak dapat digeneralisir begitu saja. Banyak PNS yang sebenarnya memiliki kapasitas yang lebih dari cukup. Tidak sedikit orang pintar yang ada di lingkungan pemerintahan ini.

Namun, sayangnya, seringkali orang-orang ini bukan berada di posisi yang langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga jadi tidak kelihatan oleh mereka—atau mungkin juga karena kalah jumlah dengan pegawai yang kurang kompeten akibat gemuknya jumlah pegawai pemerintah.

Nah, masih terkait soal kompetensi yang dimilki PNS, saya juga ingin membantah anggapan yang menyebut bahwa bekerja di lingkungan pemerintahan itu tidak baik untuk pengembangan diri dan karir.

Pasalnya tak sedikit, loh, PNS yang kemudian mudah mencari kerja di perusahaan swasta yang bagus ketika resign karena kualitas yang mereka miliki.

PNS Buzzer Pemerintah

Terakhir, dikarenakan statusnya sebagai abdi negara, tak sedikit masyarakat yang menganggap PNS sebagai buzzer pemerintah. Orang-orang yang berada di lingkungan ini sering dianggap selalu membela pemerintah, tidak kritis, serta lain sebagainya.

Memang, PNS punya tugas untuk menyebarluaskan informasi dari kebijakan maupun informasi lain dari instansi tempat mereka bekerja. Namun, hal ini tidak serta-merta membuat PNS otomatis akan membagikan informasi yang menurut mereka keliru, atau menjadi rakyat yang selalu pro terhadap pemerintah.

Tidak sedikit, kok, PNS yang memiliki nalar kritis untuk ikut mengkritisi kebijakan pemerintah. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berani bersuara—misalnya dengan memberi edukasi terhadap masyarakat agar tidak menelan mentah-mentah narasi positif yang selalu dihadirkan pemerintah—di ruang-ruang publik seperti podcast, tulisan di media, dll.

Contoh lainnya juga dapat dilihat seperti saat ramainya tagline peringatan darurat kemarin. Tak sedikit PNS yang ikut membantu bersuara dalam cara yang berbeda-beda.

Ada banyak rekan-rekan PNS yang saya temui ikut mem-posting foto peringatan darurat di akun-akun media sosialnya. Ada juga yang ikut berdonasi terhadap logistik para demonstran aksi peringatan darurat. Bahkan, ada yang merisikokan pekerjaannya dengan ikut turun berdemonstrasi di jalanan.

Meskipun berbagai stigma yang dilayangkan pada PNS nampaknya sudah terlalu melekat di benak masyarakat, saya tentunya masih berharap agar kita mencoba melihat lebih jauh terkait profesi ini dan tidak mudah menyimpulkan mentah-mentah, apalagi dengan hanya bermodalkan data-data permukaan saja.

Semoga dengan apa yang telah saya paparkan di atas, kita jadi bisa lebih memahami bahwa realitas profesi PNS tidak selalu seindah atau seburuk kelihatannya. Jadi, masih mau jadi PNS?

Penulis

Ravi Choirul Anwar

Kadang nulis, kadang ngapus
Opini Terkait
Dear Mental Health Professional…
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel