(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih

(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih

(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

(nyaris) tiada harapan dari Merah Putih. Sekarat sudah mengetuk pintu. Putus asa juga sudah menyapa. Satu tempat di luar nalar antara sekarat dan putus asa adalah harapan memang benar adanya.

Seorang kawan pernah bilang, “satu tempat di luar nalar antara sekarat dan putus asa adalah harapan”. Bahwa ketika sekarat sudah mengadangmu dan putus asa muncul sebagai pilihan, maka harapan akan jadi pendar cahaya yang membantumu bangkit.

Bahwa harapan, tak ayal jadi satu-satunya titik cerah yang akan menuntunmu keluar dari lubang kenestapaan. Tak peduli meski nalarmu belum pernah menjangkaunya.

Namun, harapan itu semacam cerita. Ia bisa menjadi cerita yang benar-benar nyata, dan ia pun juga bisa hanya menjadi fiksi tumpukan kata, menjadi mimpi siang bolong belaka.

Dan harapan itu sepertinya hanya akan menjadi fiksi murahan berisi tumpukan kata serta mimpi siang bolong belaka ketika melihat apa yang ada di tubuh Merah Putih.

Yang saya maksud bukan bendera Merah Putih kebanggaan kita, melainkan Kabinet Merah Putih, kabinet baru bentukan Presiden dan Wapres Prabowo-Gibran.

Ketika kepemimpinan negara berganti, kita sebagai masyarakat hanya bisa menggantungkan harapan kepada pemimpin yang baru.

Harapan agar jajaran pemimpin yang baru bisa lebih baik dari sebelumnya. Harapan agar semua lubang, noda, dan dosa yang pernah terjadi di kepemimpinan sebelumnya bisa diperbaiki. Harapan agar kita sebagai satu kesatuan, tidak terjerembab ke dalam lubang yang sama, semakin dalam.

Namun, angin nyatanya berhembus ke arah yang tidak kita kehendaki. Harapan yang sebenarnya ingin digantungkan terhempas begitu saja. Terlebih setelah melihat jajaran Kabinet Merah Putih ini.

Kabinet yang terlalu gemuk, obesitas, imbas koalisi yang juga terlalu gemuk. Kabinet yang terlalu banyak manusia-manusia problematis. Kabinet yang terlalu banyak titipan—imbas politik balas budi. Kabinet yang bahkan sudah “bermasalah” sejak hari pertama, yang bikin seakan Merah Putih nyaris tiada harapan.

Mandeknya penuntasan kasus-kasus HAM, nepotisme, dwifungsi ABRI, politik jatah preman, influencer, artis, dan sanak famili, sepertinya akan lebih menjamur ketimbang hilang dalam lima tahun ke depan.

Masalah HAM yang Sepertinya Masih Jauh dari Kata Selesai

Baru saja sehari dilantik, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, sudah mengeluarkan pernyataan yang guoblok banget.

Dalam sebuah wawancara, Yusril ditanya apakah peristiwa 98 itu termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak. Yusril menjawab bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

Ini jelas ngaco tingkat iblis. Yusril sebagai ahli hukum, harusnya tahu betul bahwa apa yang terjadi di 98 dan sekitarnya merupakan pelanggaran HAM berat.

Ada Kerusuhan Mei 98, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, juga ada pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan keturunan Tionghoa. Mosok itu bukan pelanggaran HAM berat, sih? Komnas HAM saja sudah bilang bahwa peristiwa 98 itu adalah pelanggaran HAM berat dan pemerintah sudah menyepakatinya, kok.

Kelihatan banget kalau Yusril ini cupet. Entah karena integritasnya sudah terbeli, atau takut karena atasannya (yaitu Presiden) terlibat di peristiwa 98.

Sebab, urusan pelanggaran HAM berat tidak bisa hanya bersandar pada urusan genosida atau ethnic cleansing seperti yang pernah dilakukan oleh Nazi atau yang masih dilakukan oleh Zionis Israel.

Dalam peristiwa 98 dan sekitarnya itu ada banyak extrajudicial killing, dan seorang ahli hukum seperti Yusril Ihza Mahendra harusnya tahu bahwa extrajudicial killing itu termasuk pelanggaran HAM berat.

Masih soal HAM, Menteri Hak Asasi Manusia yang baru beberapa hari dilantik, Natalius Pigai, bilang bahwa anggaran Kementerian HAM yang 64 miliar ini terlalu sedikit. Pigai minta anggaran dinaikkan menjadi 20 triliun untuk membangun HAM di Indonesia, termasuk membangun Universitas HAM.

Sampai sini saja, kepala saya—dan mungkin kepala para aktivis HAM yang lain—rasanya sudah ingin meledak.

Pertama, anggaran 20 triliun itu fantastis banget. Kedua, kalau hanya untuk membangun HAM, membangun Universitas HAM di Indonesia, angka itu terlalu besar. Terlalu rawan disalahgunakan.

Ketiga, minta anggaran 20 triliun tapi sama sekali tidak menyinggung penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu itu sama saja bohong. Intinya, Natalius Pigai ini ngaco banget.

Ya, melihat kelakuan Yusril Ihza Mahendra dan Natalius Pigai ini bikin kita sadar bahwasanya masalah HAM yang ada di Indonesia masih jauh dari kata selesai. Gimana mau selesai, lha wong Presidennya saja pernah terlibat pelanggaran HAM.

Politik Jatah Influencer dan Utusan-utusan Khusus Omong Kosong

Jika kalian sudah mumet ketika melihat jajaran Menteri dan kelakuan beberapa Menteri yang ngaco, coba lihat jabatan lain setingkat Menteri. Jabatan dengan nama utusan-utusan khusus Presiden yang entah apalah itu tujuannya. Nama-nama yang ada pasti bikin kalian mengernyitkan dahi sambil mbatin, “apaan ini?”.

Ada nama Raffi Ahmad sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Ada juga nama Gus Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.

Dua nama ini sendiri adalah orang-orang yang getol banget jualan Prabowo-Gibran di masa kampanye pilpres kemarin. Ya, jatah influencer. Nggak ada yang gratis, kan?

Namun, yang bikin pusing adalah jabatan utusan khusus ini merupakan jabatan yang boleh dibilang setingkat Menteri. Iya, anjing banget, kan?

Duit pajak kita itu yang buat bayar gaji dan tunjangan mereka. Entah apa urgensinya utusan-utusan ini. Entah buat apa juga ada utusan-utusan ini.

Kita juga dibuat bertanya-tanya apakah dua orang ini paling kompeten di bidangnya, dan apa jaminan bahwa tidak ada politik kepentingan di dalamnya. Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus segera ada jawabannya.

Harapan Pada Merah Putih? Ah, Sepertinya Tidak Ada

Contoh-contoh di atas ini hanya sedikit dari banyaknya problem dalam kabinet kita yang baru. Masih banyak nama-nama lama yang tahu gimana caranya jadi bandit dan mengakali rakyat.

Melihat daftar Menteri dan jabatan-jabatan lain setingkat Menteri, melihat kelakuannya di hari-hari pertama dilantik, dan melihat proyeksi kelakuan mereka ke depannya, setidaknya dalam 5 tahun ke depan, sepertinya harapan itu hanya akan menjadi fiksi murahan berisi tumpukan kata. Menjadi mimpi siang bolong belaka.

Silakan kalian anggap saya pesimis. Silakan kalian anggap saya tidak punya harapan. Tapi, begitulah adanya, begitulah kenyataannya.

Kabinet ini sudah problematik sebelum dibentuk, kok. Masih ingat putusan MK, kan? Masih ingat juga gimana cawe-cawe Jokowi di pilpres kemarin? Itulah.

Apa-apa yang dimulai dengan tidak baik, cenderung tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan berakhir dengan baik pula.

Ya, (nyaris) tiada harapan dari Merah Putih. Sekarat sudah mengetuk pintu. Putus asa juga sudah menyapa. Satu tempat di luar nalar antara sekarat dan putus asa adalah harapan memang benar adanya. Tapi sekarang, harapan sepertinya tidak mendapatkan satupun tempat antara sekarat dan putus asa, bahkan di luar nalar sekalipun.

Penulis

Iqbal AR

Penulis lepas alias pengangguran. Kontributor lepas di beberapa media daring seperti Mojok.co., dan KumparanPlus. Rutin makan es krim.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel