Saya masih ingat bagaimana mama saya mengingatkan saya agar selalu hati-hati kalau naik Bus. Jangan beli jajan sembarangan apalagi menerima minuman dari orang tidak dikenal. Barang-barang kalau bisa dibawa saja, jangan masuk bagasi bus, nanti dimaling. Ya begitulah mamaku, memandang Bus dan terminalnya sebagai lingkungan jahat dan tak bersahabat.
Tapi mama tak pernah menuntut saya selalu waspada seperti di bus kalau saya bepergian naik pesawat. Mama saya cuma berpesan berdoa ya sebelum pesawatnya lepas landas. Padahal kalau mau dipikir-pikir bahaya diracun makan dan kehilangan barang di pesawat kemungkinan ada. Lihat saja, Munir meninggal dalam pesawat karena kopinya diracun arsenic. Barang-barang dalam bagasi pesawat seringkali dibobol sama petugas bandara.
Jadi bisa dibilang, naik Bus atau pesawat sama bahayanya kan ya? Tapi kenapa mama saya tidak pernah menyuruh saya berdoa sebelum naik Bus? Kecelakaan Bus paling sering terjadi di Indonesia, korbannya lebih banyak dari Korban jatuhnya pesawat. Pemberitaan kecelakaan bus, hanya masuk di kolom berita daerah, kalau di TV mungkin hanya di running text saja. Coba kalau pesawat mengalami musibah, sebulan lebih menghiasi headline surat kabar. Semua dibahas sedetilnya. Keseharian korban kecelakaan dan baju apa yang terakhir dipakai korban jadi bahan pemberitaan.
Bus adalah anomali sistem tranportasi publik di Indonesia. Ketika Hampir semua mode transportasi publik di Indonesia sudah mengalami reformasi besar-besaran, bahasa kerennya modernisasi, bus masih setia dengan cara-cara kunonya. Contoh paling gampang bisa kita lihat dalam dalam hal pemesanan tiket. Pesawat paling awal menerapkan pemesanan tiket secara daring. Demikian halnya dengan kapal laut, penumpang bisa memesan lewat situs resmi Pelni. Kereta Api, anda bisa memesan langsung ke mbak-mbak Indomaret terdekat. Bahkan ojek pun sudah bisa dipesan lewat Smartphone macam ojek baper (layanan ojek yang lagi hits di kampusku), Grab, atau Gojek.
Maaf saya terlalu menggeneralisir. Tidak semua Perusahaan Otobus yang ketinggalan jaman kok. Beberapa perusahaan otobus besar sudah memberlakukan booking tiket secara online, khususnya Bus-bus malam yang mengambil rute perjalanan jarak jauh. Tapi sepertinya saya jarang atau bisa dibilang tidak pernah menemukan teman-teman dekat saya yang memesan tiket bus secara online.
Anomali semacam ini memaksa manusia modern kelas menengah macam saya untuk menanggalkan smartphone sejenak. Kita tak bisa mengecek ketersedian bus lewat smartphone. Kita dipaksa untuk langsung datang ke terminal dan bertanya ke petugas. Bagaimana jika kehabisan tiket di loket? Jangan khawatir selalu ada jasa pihak ketiga (calo tiket) yang tersedia di sekitar terminal, harganya sedikit lebih mahal dari harga loket. Ya, Bus masih mempertahankan cara-cara tradisionalnya. Kita masih bisa mendapati pedagang asongan, pengamen yang masuk ke dalam bus, penjual stiker Arema, dan juga penumpang-penumpang yang berdiri dan merokok dengan bebas.
Hal-hal macam tadi tak akan kita temui di mode transportasi lain dan cuma menjadi romantisme masa lalu. Kereta Api sebelum era Jonan, keadaannya mirip dengan Bus zaman sekarang. Romantisme kereta sebelum zaman Jonan digambarkan dengan apik oleh Rusdi Mathari dalam laporannya di Pindai. Proyek modernisasi Kereta Api menyingkirkan pihak-pihak kecil. Atas nama modernisasi dan estetika, segala hal yang menyebabkan kekumuhan disingkirkan dari kereta dan stasiunnya.
Wajah mode tranportasi bus sepertinya mengamini betul konsep against modern football yang dibawa oleh kelompok suporter sepakbola fanatik di Eropa. Suporter yang sudah lelah akan segala bentuk kemodernan yang dihadirkan dalam stadion. Kemodernan membuat suporter garis keras macam Hooligan di Inggris semakin terpinggirkan. Era Sepakbola modern bukan hanya mengubah permainan di atas lapangan, tetapi juga memaksa yang di luar lapang ikut berubah. Suporter garis keras dipaksa untuk tidak menyulut flare, membawa giant flag, membayar lebih mahal untuk tiket, dan paling parah mereka disediakan kursi penonton.
Saya jadi berpikir berapa lama anomali bus ini akan bertahan. Pak Jonan masih ada waktu kurang lebih empat tahun lagi menjabat sebagai menteri perhubungan (itupun kalau tidak direshuffle sama Jokowi). Bukan tak mungkin Pak Jonan bakal melakukan modernisasi mode transportasi bus di Indonesia. Jika memang harus dimodernisasikan, saya harap Pak Jonan selalu ingat apa yang diucapkan Pak Jokowi dalam twitternya; “ Jangan karena aturan rakyat jadi susah, harusnya ditata.”