Perlunya Aturan Legal untuk “Work Life Balance” Pekerja

Perlunya Aturan Legal untuk “Work Life Balance” Pekerja

Work life balance
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Perusahaan maupun pekerja harus berkomitmen dan saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Urusan kantor dan kehidupan pribadi pekerja tidak semestinya saling tumpang tindih.

Kita pasti sering mengetahui konten-konten di media sosial, khususnya Tiktok yang membahas tentang work life balance.

Baik itu yang just info apa itu work life balance, konten kegiatan sepulang kerja agar meraih work life yang balance, sampai konten golongan karyawan yang teng-Go alias pulang tepat waktu, yang mana juga merupakan bagian dari work life balance: datang tepat waktu, pulang juga harus tepat waktu!

Mengutip Forbes “The Evolving Definition Of Work-Life Balance” bahwa work life balance bukan istilah yang baru. Ini sudah hadir sejak tahun 1970an dan 80an. Masa yang dihuni generasi baby boomer. Generasi yang lahir antara tahun 1945 dan 1960 atau sekitar masa Perang Dunia II.

Generasi tersebut mengalami banyak kesulitan di usia yang sangat muda. Mencari nafkah yang layak bukanlah tugas yang mudah dan penuh dengan stres. Sehingga berusaha untuk mencapai keseimbangan antara karir, keluarga, dan area lain dalam hidup mereka. Namun pergeseran pengalaman generasi telah mendorong para pemimpin SDM untuk mengevaluasi kembali istilah tersebut

Teknologi digital dan keharusan online setiap saat

Kemajuan teknologi digital yang pesat telah membawa kita semua ke era Revolusi Industri 4.0. Era yang ditandai dengan semakin menguatnya digitisasi, digitalisasi, dan transformasi digital, merambah ke berbagai bidang dam membuat terjadinya disrupsi di sejumlah sektor kehidupan.

Di sisi lain, kemajuan teknologi digital membuat kita semakin kreatif dan produktif serta menerima informasi dengan cepat. Meski begitu, kita tidak boleh menutup mata bahwa kemajuan teknologi digital memiliki sejumlah dampak negatif.

Misalnya dalam konteks dunia kerja. Teknologi digital telah membuat kita mampu bekerja secara lebih fleksibel sekarang ini. Kita bisa bekerja di mana dan kapan saja. Dengan luwesnya kita bekerja, tak jarang batas-batas antara ranah untuk pekerjaan dan ranah untuk kehidupan pribadi menjadi kabur. Tak jarang atasan meminta kita untuk tetap online saat hari libur.

Keharusan untuk terus online menjadikan kita sekarang kian sulit untuk benar-benar mengalokasikan mana porsi waktu untuk pekerjaan dan mana porsi waktu untuk kehidupan pribadi.

Pada hakikatnya, pekerjaan dan kehidupan pribadi sama pentingnya. Karenanya, keduanya harus mampu kita seimbangkan. Itulah sebabnya kemudian kita mengenal istilah work-life balance, yakni sebuah kondisi keseimbangan yang berhasil dicapai antara kehidupan di kantor dan kehidupan pribadi di luar kantor.

Menurut Chris Chancey, pakar karir dan CEO Amplio Recruiting, seperti dikutip Marisa Sanfilippo (2022) dalam artikel “How to Improve Your Work-Life Balance Today”, bahwa work-life balance memiliki efek positif. Antara lain mengurangi risiko stres, risiko kelelahan yang lebih rendah, dan peningkatan rasa nyaman yang lebih besar bagi para pekerja. Hal ini tidak hanya menguntungkan bagi pekerja, tetapi juga bagi perusahaan.

Pertanyaannya adalah: bagaimana kita mampu menggapai work-life balance di era digital sekarang ini ketika semuanya nyaris serba online dan terkoneksi?

Berkomitmen dengan durasi kerja

Hingga saat ini, sistem kerja yang banyak diterapkan di berbagai perusahaan dan instansi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, adalah lima hari kerja dalam seminggu. Bagi pekerja yang ngantor dari hari Senin hingga Jumat, Sabtu dan Minggu merupakan hari libur. Durasi kerja yang paling banyak diadopsi adalah dari pukul 08.00-16.00 atau dari pukul 09.00-17.00. Total, para karyawan bekerja selama 40 jam per minggu. Mereka mungkin saja bekerja lebih dari itu tatkala mereka perlu melakukan lembur.

Secara teori, untuk menggapai work-life balance, diupayakan mengikuti aturan sistem kerja yang berlaku. Terlepas apakah bekerja dari kantor atau bekerja dari rumah atau dari tempat lainnya, berkomitmenlah dengan durasi kerja yang telah ditetapkan. Di luar jam kerja, itulah waktu bagi pekerja untuk fokus pada hal-hal yang menyangkut kehidupan pribadi.

Di luar jam kerja, hindari memikirkan tugas-tugas pekerjaan, baik yang masih sedang diselesaikan atau yang akan harus diselesaikan, termasuk, misalnya, keharusan menjawab e-mail atau panggilan telepon dari perusahaan.

Namun, pada praktiknya, tak sedikit pekerja yang masih harus bekerja melebihi durasi kerja yang telah ditetapkan, memikirkan tugas-tugas kantor, menjawab e-mail maupun panggilan telepon padahal di luar jam kerja.

Di beberapa negara, kini ada aturan bahwa pihak perusahaan dilarang menghubungi pekerja di luar jam kerja. Contohnya, di Portugal. Negara ini telah mengesahkan undang-undang yang melarang perusahaan menghubungi pekerja di luar jam kerja.

Begitu juga di Prancis. Di Negara Menara Eiffel ini, sejak tahun 2017 lalu, telah diberlakukan aturan bahwa pekerja memiliki hak untuk tidak merespons pesan atau panggilan dari kantor setelah jam kerja berakhir. Aturan ini diberlakukan untuk menghormati privasi dan untuk membantu para pekerja menggapai work-life balance.

Di era digital ini, melakukan tugas-tugas pekerjaan memang semakin mudah dan semakin luwes. Meski demikian, pekerja tetap perlu ketegasan dalam memastikan kapan waktunya fokus pada urusan pekerjaan dan kapan waktunya fokus pada urusan kehidupan pribadi.

Perusahaan maupun pekerja harus sama-sama berkomitmen dan saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Dengan demikian, urusan kantor dan kehidupan pribadi pekerja tidak saling tumpang tindih atau overlap yang akhirnya dapat mengganggu aspek work-life balance para pekerja. Oleh sebab itu, penting ada aturan legal formal dan diadopsi secara nasional yang mengatur soal ini.

Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis

Djoko st

Bloger yang lebih banyak main sepeda untuk melihat lanskap Bumi.
Opini Terkait
Topik
notix-opini-retargeting-pixel