Baru-baru ini, saya semakin yakin bahwa tanpa bukti-bukti sejarah atau budaya sekali pun, pembangunan Kayutangan ini adalah bentuk peniruan saja dari Malioboro.
Gimana engga, pasalnya, kalau kita lihat RPJMD Kota Malang 2018—2023, jelas disebut bahwa salah satu pengembangan destinasi dan paket wisata heritage adalah Kayutangan “Malioboronya Malang”.
Lihat saja dari pemasangan lampu-lampu yang desain, warna, dan motifnya mirip dengan di Yogyakarta. Ini menunjukkan bahwa selain jauh dari kreatif, Pemkot Malang terpapar oleh cara berpikir latah dan norak, yang hanya bisa meniru dan mereplikasi kekhasan wilayah lain.
Memang, Kayutangan berbeda dengan Malioboro. Tapi tendensi dan niatnya untuk menyamai Malioboro itu yang menurut saya wajib ditentang.
Sialnya, pemkot Malang tidak bisa menahan diri untuk tidak makin latah. Pada 2023 misalnya, pemasangan lampu-lampu diperbanyak di Kawasan Ijen, dari rumah dinas wali kota sampai Gereja Ijen. Lampu-lampu itu mentereng di kanan-kiri jalan dan tengah. Ini adalah penataan kota yang cenderung sinting menurut saya.
Coba, deh, sesekali kalau Anda berkesempatan ke Malang, lewatlah di Jalan Ijen sore hari. Yang ada, jalan itu jadi terkesan norak karena lampu-lampu yang rame.
Akibat Glorifikasi Romantik
Oke, jadi begini. Apa yang dilakukan oleh pemkot Malang di atas, bukanlah barang tunggal yang terlepas dari konteks yang lebih luas. Ada banyak hal yang membuat pemkot bertendensi untuk “memalioborokan” dirinya sendiri.
Konteks yang saya maksud adalah Malioboro, Yogyakarta. Sejak lama, dan saya yakin sebagian besar dari pembaca, tahu Malioboro. Kawasan yang memanjang dari stasiun Tugu sampai Titik 0 KM ini dikenal sebagai tempat wisata.
Wisata belanja, wisata nongkrong, ngopi, kuliner, dan semacamnya. Malioboro, bagi banyak wisatawan adalah “rukun wisata” kalau berkunjung ke Yogya. Kalau enggak, wisata mereka batal dan nggak sah.
Malioboro yang rame, dengan cahaya lampu-lampu yang berpendar, dinikmati secara kolektif dengan keluarga, teman, pacar ataupun secara individual sebagai jomblo. Dalam konsep pariwisata yang saya pikir masih konvensional, mereka inilah “penyambung lidah” Malioboro.
Mereka, entah sadar atau tidak, turut mempromosikan dan mengenalkan kawasan ini ke orang lain. Maka jadilah Malioboro itu lekat dalam angan-angan, harapan, dan ingatan orang.
Kesenian juga turut mengglorifikasi—mengagung-agungkan—Malioboro sebagai kawasan yang romantik. Lagu “Yogyakarta”-nya KLA Project dan “Sesuatu di Jogja”-nya Adhitia Sofyan adalah contoh nyata bagaimana Malioboro (dan Yogyakarta secara umum) terus menerus ditempatkan sebagai kota yang romantik, yang meninggalkan bekas ingatan yang begitu dalam dan mengharukan siapa pun yang pernah berkunjung.
Kota yang romantik ini akhirnya jadi wacana. Citra romantik itu diupayakan tertanam pada benak banyak orang.
Overdosis Menuju Romantik
Dalam ilmu sosial, ada konsep ruang yang digagas Henri Lefebvre. Sederhananya, dalam ruang, orang, lembaga, pemerintah, atau kelompok melakukan praktik keruangan.
Kembali ke soal Kayutangan, pembangunan kawasan Kayutangan adalah satu bentuk praktik keruangan tersebut. Praktik ini dilakukan untuk menjadi kota yang romantik.
Tidak ada yang salah dengan tujuan menjadi kota romantik itu. Tapi, yang salah adalah jika tujuan itu ditempuh tanpa memahami kota itu sendiri. For your information aja nih ya, pemkot Malang yang terhormat, Malioboro itu berkembang dalam jangka waktu yang lama. Dari jalan kerajaan sampai kawasan perekonomian.
Sepertinya pemkot Malang ini juga nggak paham bahwa Malioboro sekarang terbentuk dalam proses yang panjang, akhirnya pemkot terburu-buru dalam membangun kota.
Karena ngebet ingin segera menjadi romantik ala Jogja, bagi saya, pemkot Malang tidak memahami esensi dari Kayutangan itu sendiri.
Kawasan apakah itu sebetulnya, bagaimana corak bangunan dan masyarakat di sekitarnya, apa yang bisa ditawarkan di situ, apa yang bisa ditampilkan sehingga orang akan mendapat kekhasan Malang, dan sebagainya.
Jika diibaratkan orang membangun rumah, pemkot Malang mendesain atapnya duluan, padahal pondasinya belum ada. Pemkot hanya melihat Malioboro sebagai “atap” yang seakan-akan bisa ditiru begitu aja.
Maka, bagi saya, penataan Kayutangan dan pemasangan lampu-lampu di sejumlah titik, terkesan dilakukan tanpa perancangan dan perencanaan yang pas dan berdasar. Buru-buru banget, lah.
Oh ya, satu hal yang alpa dalam cara berpikir pemkot adalah bahwa ada media dan kesenian yang turut meromantisasi Malioboro. Dua hal ini sebetulnya punya kekuatan untuk membentuk cara berpikir dan cara melihat seseorang atau masyarakat kepada suatu hal.
Dalam istilah kebudayaan dan sosial, dia punya kekuatan diskursif untuk mengontrol masyarakat. Ya seperti yang saya sebutkan di atas, misalnya lagu terus membangun imaji Jogja yang romantik.
Nah, Malang tidak atau belum punya hal ini, terutama kesenian. Sejauh yang saya tahu dan lewat penelusuran, hanya ada satu lagu yang menunjukkan romantisme Malang.
Judulnya: “Malang yang Dingin” oleh Tommy Pamungkas. Liriknya: “Di Malang yang dingin, kutinggalkan semua mimpi-mimpi itu”.
Dan, karena lagu itu tidak terkenal, lagu itu tidak bisa mendukung romantisasi Malang sebagai bagian dari proyek penataan kawasan oleh pemerintah ini.
Tanpa kesenian atau lagu semacam ini, Malang kalah dalam hal soft power-nya di bidang pembangunan kota. Dengan tanpa mempertimbangkan pentingnya proses dan soft power ini, yang keburu-buru itulah, Malang terjebak dalam apa yang saya sebut overdosis menuju romantik.
Terlalu ambis. Semua ditelan mentah-mentah tanpa memikirkan kadar dan waktu, tanpa dasar dan rencana yang jelas dan terukur.
Akibatnya, meski kawasan itu sudah dibuka, masalah yang mengikuti tidak diantisipasi, seperti pembongkaran kawasan yang berulang, kemacetan, kesemrawutan parkir dan tukang parkirnya, dan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat yang melihat bahwa pemkot Malang hanya perhatian pada Kayutangan.
Kesannya, dunia Malang hanya antara pemkot Malang dan Kayutangan. Yang lain, mah, numpang doang. Padahal, banyak persoalan di kawasan-kawasan lain yang jauh lebih membutuhkan urun serta pemerintah.
Banjir, gorong-gorong, jalan rusak, penerangan jalan, dan sebagainya, jauh krusial. Masak pemkot nggak tahu, sih, kalau musim hujan begini, Malang jadi waterboom? Nggak ngerti juga, ya, kalau masalah parkir liar jadi keresahan mahasiswa dan banyak orang? Astaghfirullah, kota sendiri aja nggak paham.