Kisah bermula pada September 2017, saat Eddy Rumpoko ditangkap oleh KPK atas dugaan suap pengadaan mesin meubelair dan belanja modal senilai Rp 5.260.000.000. Udah bener belum jumlah nolnya?
Jelas kasus ini bikin publik geger. Kota Batu yang selama ini dianggap ‘maju’ dan berprestasi ternyata menyimpan borok korupsi. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun 2017 untuk kota Batu ternyata tak menandakan kota Batu bersih dari dosa korupsi.
Melompat ke Maret 2018. Giliran Abah Anton yang tertangkap. Lebih miris, ia tertangkap ketika sedang bersiap untuk mencalonkan diri lagi sebagai wali kota periode ke dua. Setelah ditahan dan resmi jadi tersangka, tentunya ia kesulitan untuk berkampanye. Walaupun hasil rekapitulasi menunjukkan masih ada 135.710 suara warga kota Malang yang mendukung Abah Anton.
Cerita belum selesai, kita memasuki klimaks. Masih di tahun yang sama, 6 bulan pasca tertangkapnya Anton, KPK menangkap 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang dengan dugaan suap. Roda administrasi kota Malang terancam lumpuh, sebab beberapa pencairan anggaran membutuhkan persetujuan dewan.
Yang heboh tak hanya warga Malang Raya saja, tapi warganet seluruh Indonesia juga turut ramai membahas korupsi berjamaah ini. Meme-meme pun bermunculan. Kartun sarkas dibagikan dan boom! Viral !
Bukan meme kalau gak ganas. Salah satu meme yang saya lihat mempelesetkan nama kota Malang menjadi kota Maling. Pencemaran nama baikkah? Lah faktanya memang gitu kok.
Memasuki akhir cerita, anti-klimakslah bisa dibilang. Oktober 2018, Rendra Kresna, Bupati Malang tertangkap KPK. Dugaannya, lagi-lagi soal suap dengan nilai Rp 7.000.000.000—angka yang sekali lagi saya kesulitan menghitung jumlah nol-nya.
Dan lengkap sudah 3 pemimpin daerah di Malang Raya yang menjadi tahanan KPK. Apakah ini yang dinamakan cinta takdir, eh, hattrick?
Terpaksa Ambil Sisi Positifnya
Apa yang positif dari sebuah kasus korupsi? Ustad di kampus saya mungkin juga akan sulit menjelaskan mana sisi positif dari sebuah tindakan pencurian uang rakyat. Ya, selain mengingatkan pada yang mencuri agar tak mengulangi lagi dan yang belum mencuri atau lebih tepatnya yang belum ketahui supaya berhenti mencuri. Selain itu? Yasudah kita kembali bersama-sama hijrah menjadi insan Al-Insan Al-Kamil Insan. Masyallah.
Tapi kita butuh proyek bersama untuk kembali mengharumkan kembali nama publik AREMA. Kita butuh simbol pemersatu yang menunjukkan bahwa Malang tidak mentolerir perbuatan keji macam korupsi.
Tidak usah jauh-jauh. Kita optimal potensi yang ada, di mana Malang dikenal sebagai kota pendidikan sekaligus kota wisata. Dari sini saya mengusulkan: Malang perlu bikin tempat wisata edukatif yang baru.
Jadi ini usulan pribadi saya kepada pemilik modal atau pemangku kepentingan lainnya, bikinlah MUSEUM KORUPSI. Pakai nama MUSEUM KORUPTOR juga bisa. Apa isinya? Ya terserah. Saya cuma bisa mengusulkan dan berbicara tok. Tubuh aja ada museumnya, kenapa soal korupsi tidak?
Tapi bukan tanpa dasar saya usul begini. Ada manfaat yang bisa diraih pemerintah daerah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang dan kota Batu), yakni rehabilitasi reputasi, pengingat pada generasi di masa depan (utamanya calon-calon pejabat dan pegawai negeri) dan tentu saja duit.
Mari saya bedah satu-satu. Pertama, rehabilitasi reputasi. Sederhananya, memperbaiki nama baik. Plesetan kata ‘Malang’ menjadi ‘Maling’ itu tak main-main lho, Bapak-bapak Ibu-ibu. Malang yang selama ini memiliki sebutan kota apel, kota bunga, kota pendidikan, kota wisata dan banyak lagi lainnya, masa mau ditambahin lagi sebagai kota korupsi atau kota maling? Malang punya sentra keramik dan sentra keripik buah, masa mau ditambahin sentra koruptor? Terus wisatawan ke Malang beli oleh-oleh koruptor gitu?
Ya ya ya, saya tahu di antara pembaca sekalian akan ada yang berpikir, “Bukannya kalau ada Museum Korupsi di Malang, malah makin menguatkan kesan Malang sebagai kota Korupsi?”
Nah sebelum anda ngomel ke situ, saya alihkan ke poin nomor dua, yakni sebagai pengingat kepada generasi selanjutnya. Kasus tertangkapnya koruptor di Malang Raya secara berturut-turut dalam kurun waktu 1 tahun adalah hal yang memalukan tentu saja. Sejarah akan mencatatnya. Tak perlu malu untuk diakui. Kesalahan di masa lalu terjadi untuk pembelajaran di masa depan bukan?
Jadi ide museum korupsi bukan untuk menegaskan predikat Malang sebagai daerah korupsi. Bukan! Tapi, untuk mengingatkan kepada generasi selanjutnya agar tidak mengulangi sejarah masa lalu yang memalukan. Mengakui masa lalu yang memalukan bukan hal yang buruk, tapi mengulangi kejadian memalukan adalah hal konyol. Sama seperti Jerman yang mengakui masa lalu kelamnya soal NAZI dengan mendirikan monumen dan museum sebagai pengingat untuk generasi penerus. Bukan begitu Bang Mikail Gibran yang saat ini sedang ada di Jerman kebingungan mencari rokok Surya 12?
Yang terakhir, duit. Ya. Saya oportunis saja. Ide museum korupsi bisa menghasilkan duit untuk Pendapatan Asli Daerah. Agar wisatawan tertarik datang, maka bikinlah museumnya dengan konsep menarik. Bagaimana cara agar menarik? Tentu saja dengan menyediakan spot foto yang instagramable.
Misal dengan membuat area foto dengan set penjara ala penjara KPK, menyewakan kostum ala penyidik KPK atau tahanan KPK dan lain sebagainya. Pokoknya instagramable aja. Bukankah semua tempat wisata di Malang Raya pada dasarnya adalah tempat swafoto berbayar?
Sudah. Saya capek ngetik. Yang penting saya usul. Teknis penerapan ide museum korupsi bisa didiskusikan lebih lanjut. Ide ini saya serahkan pada publik Malang atau publik di luar Malang Raya. Tak perlu bayar royalti. Gratis. Monggo, investor yang berminat! Segera tanam modalnya. Tapi tolong, tak perlu “suap-suapan” untuk memuluskan jalannya proyek ini!