Beberapa waktu lalu, masyarakat media sosial, terutama X, diributkan dengan fenomena “Kamisan Date”. Fenomena ini sendiri ditujukan pada pasangan kekasih yang mengikuti serangkaian acara Aksi Kamisan dan mempublikasikan kegiatannya tersebut di media sosial.
Fenomena ini pun kemudian menjadi kontroversi. Ada yang pro dan kontra. Sekali lagi, ini menunjukkan sikap sebagian besar masyarakat Indonesia yang selalu aktif dalam kehidupan dunia maya.
Semuanya dikomentarin, baik itu isu besar maupun isu remah-remah roti, seolah tiada hari tanpa berkomentar. Maka dari itu, peringatan ‘jagalah lidah ketikan anda’ menjadi semakin relevan.
Akan tetapi, saya di sini tidak akan terlalu mengomentari kehidupan masyarakat Indonesia di dunia maya yang sangat ganas dan tidak segan terhadap siapapun. Saya lebih tertarik untuk mengomentari kontroversi dalam ‘Aksi Kamisan Date’ yang lagi ramai ini.
Apakah Salah Melakukan ‘Aksi Kamisan Date’?
Sebagaimana yang saya sebutkan di awal bahwasanya ‘Kamisan Date’ ditujukan pada sepasang kekasih yang mengikuti rangkaian acara Aksi Kamisan, yang mana biasanya diikuti dengan mempublikasikan kegiatan itu di media sosial.
Beberapa orang mengomentari aksi tersebut sebagai hal yang tidak etis dan menyimpang dari agenda utama Aksi Kamisan yang sudah berjalan sejak tahun 2007 itu.
Ada pula yang berkomentar lebih nguawor, bahwasanya urusan romantis tidak usah dibawa-bawa ke aksi yang menuntut penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu.
Menurut saya, hal ini menjadi kepanjangan tangan dari isu-isu sebelumnya, terutama aksi-aksi demonstrasi yang terjadi beberapa kali, seperti Reformasi Dikorupsi, Adili Jokowi, dan lain-lain.
Saat aksi demonstrasi akbar itu digelar, ada beberapa orang yang sinis bahwasanya aksi tersebut hanyalah aksi yang bersifat angin lalu. Bagi mereka, aksi itu lebih banyak didominasi oleh orang-orang yang reformis dan hanya ikut-ikutan. Sehingga, jika misalnya tuntutan dalam suatu aksi dipenuhi, ya, sudah. Tidak kelanjutan setelahnya.
Baca Juga: (Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Sinisme semacam itu harusnya disimpan untuk sementara demi mencapai kepentingan bersama. Bagi saya, FOMO yang baik harus dipertahankan bagaimana pun juga, karena hal semacam itu bagaikan sekam yang siap dibakar.
Nah, kembali ke soal ‘Kamisan Date’, saya sendiri bersikap pro terhadap fenomena ini. Salah satu hal paling positif dari ‘Kamisan Date’ ialah ia dapat menjadi pintu masuk bagi mereka yang tidak mengetahui soal Aksi Kamisan.
Mereka yang melakukan ‘Kamisan Date’ setidaknya sudah mengajak pacar atau kawan terdekatnya untuk lebih memahami mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu, serta bagaimana negara melakukan kekerasan terhadap bangsanya sendiri.
Saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Veronica Koman melalui akun X-nya. Dalam menanggapi fenomena ‘Kamisan Date’, aktivis HAM tersebut mengatakan, “para aktivis seringkali kehabisan ide untuk menjaring orang baru. Maka gw suka sekali dengan ide ‘Kamisan date’—dengan catatan ikut secara khidmat dan serius ya.”
Biar Gak Kalah Ama Buzzer?
Sampai di sini, ‘Kamisan Date’ bisa kita lihat sebagai salah satu cara yang efektif dan cenderung mudah (sulit bagi yang gak punya pasangan, hadeh) untuk menanamkan kesadaran terkait HAM atau isu-isu sosial lainnya, utamanya dalam pertarungan wacana melawan mereka yang berbeda kepentingan (para buzzer, misalnya).
Saya sendiri awalnya agak geli ketika membicarakan perbandingan antara gerakan sosial dengan pergerakan para buzzer bersama kawan saya karena kedua hal ini, bagi saya, kurang apple to apple.
Akan tetapi, ada satu ucapan kawan saya yang tampaknya ada benarnya, yaitu ketika ia membicarakan soal urusan mempengaruhi atau bisa disebut sebagai propaganda.
Baik saya maupun kawan saya bersepakat jika para buzzer secara aktif mempropagandakan suatu kepentingan dalam bentuk yang paling mudah dimengerti, bahkan oleh kaum awam sekalipun.
Nah, di sinilah letak perbedaan antara gerakan sosial dengan para buzzer yang tampaknya sangat mencolok.
Masih seturut dengan ucapan Veronica Koman di atas, agaknya para aktivis masih sering bersikap elitis. Mulai dari kecenderungan untuk menggunakan bahasa yang susah dimengerti (bisa dibaca: ndakik-ndakik), hingga penggunaan lembaran tulisan maupun berjajar slide infografis untuk menyebarkan pengetahuan.
Tak dapat dipungkiri bahwasanya masyarakat kita (mungkin) masih belum berada dalam tahapan masyarakat yang melek literasi—bahkan untuk sekelas mahasiswa sekalipun.
Sebagai contoh, aksi nir-kemanusiaan yang terjadi di Aceh sebagai reaksi atas kedatangan masyarakat Rohingya di penghujung tahun 2023. Di sini, buzzer seperti Ali Hamza berhasil memenangkan pertarungan wacana di media sosial.
Yap, para buzzer sukses menanamkan bibit xenofobia dalam pikiran masyarakat—dan lagi-lagi ada beberapa mahasiswa yang ikut terpapar penyakit tersebut.
Padahal, jika dibandingkan dengan para buzzer,gerakan sosial sebenarnya memiliki keunggulan, terutama dalam hal solidaritas, pertemanan, dan konsistensi.
Bagaimanapun cecaran dan ancaman yang dihadapi, gerakan sosial, seperti Aksi Kamisan, misalnya, akan terus ada dan berlipat ganda hingga tuntutan yang mereka ajukan tercapai.
Maka dari itu, saya akan tetap mendukung berbagai bentuk solidaritas demi kepentingan perjuangan, termasuk ‘Kamisan Date’. Mengingat dalam iklim gerakan saat ini, solidaritas dan konsistensi perjuangan juga perlu dibarengi dengan inisiatif untuk terus mengikuti zaman dan membuat gerakan sosial itu terus relevan.
Di penghujung tulisan ini, saya sebagai seorang yang terus bersimpati kepada mereka yang terus memperjuangkan haknya, hanya ingin mengucapkan rasa hormat setinggi-tingginya kepada kawan yang terus menghidupi Aksi Kamisan maupun gerakan sosial lainnya di tengah gempuran masyarakat yang semakin apatis terhadap isu-isu ekonomi, politik, dan sosial.
Tak lupa, saya juga berharap agar kawan-kawan tidak terpancing serta berlarut-larut dengan kontroversi-kontroversi yang tidak bermanfaat bagi gerakan, atau bahkan bisa membuat gerakan sosial itu terpecah-belah.