Kita pasti sudah merasakan sendiri betapa kurang geregetnya debat capres-cawapres yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari 4 edisi debat yang sudah diselenggarakan, hampir semuanya cenderung terasa kaku, kurang menyentuh beberapa persoalan substansial, serta terkesan terlalu satu arah.
Tentu saja, hal-hal semacam ini disebabkan karena berbagai keterbatasan pada mekanisme debat KPU itu sendiri. Mulai dari terbatasnya waktu, terbatasnya jumlah pertanyaan pada tema debat yang sangat luas sehingga akhirnya harus dipilih melalui undian, hingga terbatasnya partisipan aktif langsung dalam debat tersebut.
Hal terakhir itu yang bagi saya cukup perlu untuk digarisbawahi. Kita dapat melihat bagaimana para capres atau cawapres menjawab pertanyaan yang diberikan, lalu kemudian saling memberi tanggapan serta saling melempar pertanyaan satu sama lain.
Sementara pihak yang berada di balik beberapa pertanyaan, yaitu panelis, justru tidak dilibatkan secara langsung dalam sesi debat. Jangankan dikasi kesempatan untuk menanggapi jawaban tiap-tiap paslon, yang bacain pertanyaan aja juga bukan mereka. Mereka tugasnya cuman milih-milih bola undian. Kalo gitu doang mah bocah SD juga bisa kali.
Sebagai calon pemilih, kita tentunya perlu mengetahui secara jelas kualitas para calon pemimpin ini, baik dari visi-misi yang mereka bawa maupun pandangan mereka terkait berbagai persoalan.
Debat capres-cawapres yang dilihat sebagai sarana untuk melakukan penilaian, bagi saya, masih jauh dari kata cukup. Diperlukan juga kehadiran ruang-ruang diskusi dua arah agar rakyat bisa menguji langsung kualitas para calon pemimpinnya.
Baca Juga: Capres-Cawapres 2024, Yuk Naikin Level Debat
Alternatif dari Debat KPU
Keterbatasan pada debat KPU seperti yang sudah disinggung di atas mendorong kita untuk menggali lebih dalam terkait seberapa siap para capres dan cawapres untuk memimpin Indonesia 5 tahun ke depan.
Saya sejauh ini belum memutuskan akan memilih siapa, tapi saya mengapresiasi adanya program Desak Anis dan Tabrak Mahfud sebagai alternatif dari debat KPU yang gitu-gitu aja. Secara konsep, acara Desak Anis atau pun Tabrak Mahfud lebih mengarah kepada uji publik.
Dari ruang tersebut, kita bisa melihat sejauh mana jalan pikiran dan problem solving dari pertanyaan yang diajukan oleh para peserta, di mana pertanyaan yang dilempar bersifat spontan.
Kehadiran ruang seperti ini penting agar masyarakat tidak hanya mengandalkan debat KPU jika ingin menggali lebih dalam lagi terkait visi misi ataupun terkait berbagai persoalan yang tengah dialami. Maksudnya, kalau cuman mau ngandelin debat KPU, lah wong panelis-panelis berkualitas yang udah diseleksi itu aja gak terlalu dilibatkan, apalagi kita-kita ini.
Jadi, saya rasa, KPU juga mestinya membuat konsep acara seperti Desak Anies atau Tabrak Mahfud. Jika KPU ternyata terlalu sibuk untuk menambah agenda selain debat, mereka mungkin bisa menunjuk organisasi terpercaya untuk penyelenggaraannya. Saya yakin, LSM, Ormas, ataupun Aliansi BEM mampu diamanahi tugas tersebut.
Penyelenggaraannya nanti bisa dilakukan di tempat terbuka seperti alun-alun kota, misalnya, di mana semua kalangan masyarakat yang hadir bisa memberikan pertanyaan kepada semua capres dan cawapres.
Metode pendekatan ini dapat menarik banyak perhatian, terutama di kalangan anak muda yang mungkin ingin menanyakan atau menyampaikan berbagai keresahan, mulai dari yang serius sampai pada yang receh.
Oase dari Gersangnya Iklim Demokrasi Kita
Desak Anis atau Tabrak Mahfud setidaknya memberikan optimisme terhadap demokrasi kita. Sebagai negara berkedaulatan rakyat sudah seharusnya kita memiliki forum-forum publik seperti ini.
Selain itu, forum diskusi langsung antara rakyat dan para calon pemegang kekuasaan dapat menjadi oase di tengah gersangnya iklim demokrasi kita, di mana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih menjadi momok menakutkan dalam masyarakat.
Selain melalui UU ITE, pemerintah juga biasanya bersembunyi dari kritik lewat semboyan ajaib ‘sopan santun’. Pemerintah selalu berkilah bahwa mengkritik boleh-boleh saja, asal memperhatikan sopan santun. Padahal jelas, kata Rocky Gerung, “kalau sopan santun itu bahasa tubuh, sedangkan pikiran tidak memerlukan sopan santun.”
Rasa ketakutan untuk menyuarakan pendapat dan opini terhadap pemerintah harus dihilangkan oleh semua paslon pada pilpres kali ini. Jangan sampai malah ikut memproduksi rasa ketakutan bahkan sejak masih kampanye.
Fenomena penyebutan wakanda atau konoha menjadi bukti nyata ketakutan masyarakat kita untuk mengkritik pemerintahannya sendiri. Menyampaikan kritik secara langsung seolah menjadi barang mewah. Kebebasan dibelenggu dengan berbagai pembenaran seenak jidat penguasa.
Jadi, kehadiran forum-forum yang dapat menghilangkan batasan antara rakyat dan para calon pemimpin atau wakil rakyat perlu lebih dimasifkan, dan kalau perlu jangan pas lagi musim kampanye doang, tapi tetap dilanjutkan jika sudah berkuasa.
Yaa, daripada agenda-agenda kampanyenya cuman itu-itu aja kan, seperti senam, jalan sehat, dangdutan, atau blusukan yang hanya sekedar bagi-bagi kaos atau susu.
Forum-forum terbuka seperti ini akan jauh lebih menarik dan memberikan pendidikan politik yang sangat luar biasa bagi masyarakat. Sudah saatnya level demokrasi demokrasi kita yang sampai sekarang masih jalan di tempat ini ditingkatkan.