Jangan Salahkan Pemerintah, Tapi Salahkan Diri Kita atas Disahkanya UU Cipta Kerja

Jangan Salahkan Pemerintah, Tapi Salahkan Diri Kita atas Disahkanya UU Cipta Kerja

Salahkan Diri Kita Atas UU Cipta Kerja
Ilustrasi: Ahmad Yani Ali R.

Kalian yang protas-protes ini apa ya tidak melihat upaya keras pemerintah untuk "memberdayakan" masyarakat luas?

Ada sebuah nilai baik yang kita dapatkan dari disahkannya UU Cipta Kerja oleh yang mulia Presiden dan Tuan Legislatif terhormat. Sebuah prestasi yang turut membanggakan kita semua; keberhasilan menurunkan angka rata-rata kasus positif Covid-19 dan membuat undang-undang sapu jagat yang sangat ketje parah.

Turunnya positive rate dengan cara mengurangi jumlah tes di masyarakat dan UU Cipta Kerja dikebut seperti anak semester akhir mengerjakan tugas akhir. Luar biasa. Betapa pemerintah kita ini sangat multitasking. Sekali rapat kilat, dua urusan terlampaui.

Semangat baik ini merupakan sebuah energi positif yang menunjukan betapa professionalnya wakil rakyat kita. Demi rakyat, semua dipercepat. Di tengah gencarnya program mengatasi pandemi, pemerintah bersama dewan mengorbankan waktu bersenang-senang.

Kerja dari pagi sampai malam, seperti dangdutan lengkap dengan mabok-mabokan. Semua itu demi terwujudnya undang-undang messiah, Cipta Kerja. Undang-undang yang diharapkan menyelamatkan Indonesia dari badai resesi akibat pandemi.

Hebatnya, formula mengatasi pandemi tetap dicari. Buktinya wakil rakyat kita sedang mendorong adanya obat-obatan anti-Covid dan mempercepat pembuatan vaksin yang dengan pede mampu melampaui lembaga-lembaga dunia.

Aneka cara dilakukan, sampai mengerahkan lintas Kementerian untuk membuat rakyat tidak was-was. Mulai dari menyewa influencer, buzzer, hingga membuat kalung anti-Covid. Terpantau, pemerintah pun sampai mengerahkan intelejen untuk memata-matai keseharian Covid yang informasinya nanti akan diolah oleh salah satu kampus besar. Informasi ini mungkin diextrak menjadi ramuan canggih anti-Covid.

Tak tanggung-tanggung pemerintah juga melakukan kontrol ketat kepada rakyat. Tilangan masker, razia keramaian ada di mana-mana, pemberlakuan denda bagi pelanggar yang melebihi jumlah upah harian; bagi yang kerja. Semua demi mewujudkan rakyat disiplin agar terhindar Covid.

Meski banyak juga rakyat kelas elite parlente yang melanggar, tapi ya beda perlakuan. Sambutan bejibun pada Riziq Sihab sampai menunda penerbangan masyarakat lain, adalah pengecualian. Dangdutan untuk Pilkada juga pengecualian.

Banyak pengecualian, terutama untuk wakil rakyat. Betapa pemerintah saking sayang rakyat. Kemauan mayoritas rakyat penyambut Riziq Sihab dan calon kepala daerah maunya begitu, ya dibiarin begitu. Eh, tapi kok beda dengan kemauan mayoritas masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja ya? Malah dipentungi.

Mungkin saja, beda perlakukan ini karena yang satu dianggap tumpuan negeri. Satunya lagi, kelompok anarki yang tidak paham sama sekali dengan nilai filosofis UU Cipta Kerja. Ya, tafsir penguasa di atas segalanya, meski ada yang bilang: Tai Kuda.

Sekali lagi, pemerintah dan dewan harus dipuji. Mereka kerja keras selain melawan dahsyatnya Covid, juga sudah putar otak menggodok UU Cipta Kerja demi menyediakan tenaga kerja murah untuk mempermudah investor. UU sapujagat ini untuk rakyat yang tak berdaya, juga rakyat lain genk oligark yang sudah kaya raya

UU Cipta Kerja itu digenjot hanya dalam waktu dua sampai tiga bulan. Diketok diam-diam hingga lembur tengah malam. Jargon ‘kerja-kerja-kerja’ berhasil diterapkan dalam berbagai kondisi. Ini prestasi.

Adapun penolakan dari koalisi masyarakat hanya dianggap suara bising demokrasi dan mereka tetap fokus pada terwujudnya UU sapu jagad ini. Saking kerja kerasnya sampai terjadi revisi berkali-kali, draft yang beredar pun banyak versi. Ini menunjukan kalau mereka tidak main-main dalam urusan rakyat, betapa gigih dan militannya mereka dalam urusan UU ini.

Kepada Kalian yang Protes UU Cipta Kerja

Kalian yang protas-protes ini apa ya tidak melihat upaya keras pemerintah untuk mengeksploitasi pemberdayaan masyarakat luas, baik buruh, mahasiswa, maupun pengusaha. UU Cipta Kerja itu untuk rakyat Indonesia; proletar pencari kerja dan oligarki penopang modal negara.

UU itu untuk menjamin masa depan para milenial yang hidupnya rentan. Millennial yang sudah terlampau dimanja oleh presiden, kata Ibu kita Megawati. Saking dimanjanya, pemerintah sampai-sampai mengangkat staf khusus milenial presiden.

Itu bukti sebuah bukti bahwa pemerintah kita yang agung terlalu memanjakan milenial. Mbok milenial itu belajar yang benar, meski UKT susah dibayar. Kalian itu aset tenaga kerja murah masa depan bangsa, sudah seyogyanya mendukung pemerintah.

Banyak-banyaklah belajar dari kinerja pemerintah. Kerja keras pemerintah menghasilkan UU Cipta Kerja berhasil karena fokus kerja lembur dan mengabaikan demonstran penolak. Itu yang Namanya perstasi kerja, kerja demi rakyat.

Teruntuk para buruh, jangan minta gaji naik terus. Fokus kerja saja meski dieksploitasi majikan dengan gaji pas-pasan. Di tengah pandemi, gak mati sudah bagus. Kerja yang baik biar keuntungan bos bertambah, nanti dapat bonus. Ngapain tolak-tolak Cipta Kerja.

Pemerintah itu mencoba memberikan buruh solusi. Tanah di masa depan banyak yang akan beralih fungsi. UU Cipta Kerja dibuat sebagai solusi masa depan manusia Indonesia. Kemudahan usaha yang didalilkan lewat UU Cipta Kerja, tentu butuh cadangan angkatan kerja akan meningkat. Buruh nanti akan easy hiring easy firing. Gampang direkrut dan gampang dirumahkan. Tenang saja, kalau dirumahkan lapangan kerja kan banyak karena sudah ada UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja sangat memanjakan rakyat berlatar pengusaha. Dipikir itu pengusaha besar bukan rakyat, mereka juga rakyat lurqueh. Kalau semua untuk buruh, pemerintah tebang pilih dong. Gini ya, pengusaha juga berhak mendapatkan kekayaan yang konstan. Kalau pekerja protes terus, keuntungan pengusaha akan berkurang, setorang pajak untuk pembuat kebijakan ya akan berkurang. Pengusaha untung, pekerja juga untung.

Pokoknya Cipta Kerja itu untuk rakyat. Titik. Kalau tidak mau jadi pekerja ya jadilah pengusaha, lalu semua rakyat Indonesia adalah pengusaha, berarti tidak ada pekerja? Lalu alah ruwet!!!! Berarti kalau semua pengusaha tidak ada pekerja, berarti tidak ada pemilik modal artinya dikelola bersama-sama alias swa kelola. Dasar kalian komunis, anarkis. Pantas saja dibilang anti-pancasila oleh pemerintah. Pemerintah.

Itu bagi kelompok yang juga protes soal dampak lingkungan, Amdal itu masih ada meski dikurangi, kan semua demi investasi dan adanya usaha baru. Alam ada itu untuk dikelola, pencemaran bisa diatasi dengan senyum manis korporasi, doa bersama, dan tentu tetap sabar dan ikhlas.

Soal zonasi wilayah, itu semua kan agar semua orang bisa kerja. Kalau ada bencana seperti yang dituduhkan akan merampas ruang hidup, semua itu Hoax, kata pemerintah. Kalau ada bencana ya santai saja, kan sudah ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang siap sedia mengatasi bencana kita.

Para pegiat lingkungan sukanya kok menghambat investasi. Mau apa sebenarnya? Jangan-jangan pegiat lingkungan ini antek asing, komunis dan kroco-kroconya yah, dasar penghambat investasi. UU Cipta Kerja diamini baik oleh World Bank, Lembaga pemberi hutang ke negara-negara medioker seperti Indonesia. Diam saja, kalau nurut akan baik-baik saja.

Mari Berkaca Pada Diri

Orde baru sudah tumbang bos, reformasi sudah berjalan dengan lancar. Semua orang bisa terpilih menjadi wakil rakyat dan dapat dipilih serta memilih. Mungkin nyinyiran Burhanudin Muhtadi soal politik uang harus diabaikan. Ya namanya dipilih memilih itu butuh uang untuk beli suara. Wakil rakyat sudah memberikan teladan pada kita di berbagai helatan Pemilu dan Pilkada.

Orde baru itu sudah tidak ada bos, adanya residu-residu yang sekarang jadi pemimpin kita dan berubah menuju orde orang baik. Jangan kalian dengarkan itu yang bilang HAM HIM HAM itu produk barat asing!!!

Reformasi telah mengubah semuanya, hak berpendapat hanya ada di ruang tertutup anggota Dewan. Kebebasan berpendapat di UUD 1945 itu ada. Sekali lagi, kebebasan itu punya wakil rakyat. Rakyat diam saja, sudah ada wakilnya.

Demi tuhan yang maha kuasa, semua ini bagaikan sebuah sinetron di mana sudah tahu siapa yang jahat dan siapa yang baik. Tapi masih saja kita membatin dan berbicara dalam hari sambil mata mencicil, “oh aku sudah tahu kalian jahat.” Anehnya hanya membatin tanpa pernah melakukan tindakan apa-apa.

Sudah jelas-jelas saking baiknya pemerintah kepada oligarki, sampai-sampai kita lupa bahwa hak-hak kita sudah banyak yang dipereteli. Negara ini sebenarnya diproklamasikan untuk siapa?

Kalau untuk kita, kok jadi kita yang susah, sengsara, dan nestapa. Beli rumah saja harus cicil seumur hidup. Negara seolah hanya diprogram untuk Oligarki berdasi. Sekali buka lahan konsesi, bisa buat kota sendiri.

Kalau negara ini adalah rumah kita, desain bangun harusnya kita yang menentukan. Rakyat Indonesia, dengan sistem perwakilan yang sudah berprestasi menghasilkan UU Cipta kerja. Tugas kita kita adalah pergi ke TPS untuk memilih wakil yang ‘baik’ pemberi uang gratis waktu fajar!!!

Yang bener saja bos. Kalau negara milik kita ya mari kita akuisisi lagi, agar kebaikan kepada oligarki seperti UU Cipta kerja itu bisa dienyahkan selamanya. Agar ampas Orde Baru hilang dan tak berbau seperti kentut. Sudah di depan mata, sudah pada paham, sudah pada ngerti, kok masih diam? Kalian masokis ya, yang suka disiksa-sika oligarki.

Editor: M. Erza Wansyah
Penulis
walhi jatim

Wahyu Eka Setyawan

Direktu Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur.
Opini Terkait
Dear Mental Health Professional…
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel